Penggantian cantrang dengan jaring tarik berkantong dinilai tidak akan efektif untuk mendorong penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Pemerintah terkesan melonggarkan penggunaan alat tangkap yang merusak.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah melarang alat tangkap cantrang, tetapi memperbolehkan jaring tarik berkantong dinilai tetap bertentangan dengan semangat mendorong penggunaan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Jaring tarik berkantong juga cenderung eksploitatif terhadap sumber daya perikanan.
Ketentuan terkait larangan penggunaan alat tangkap cantrang, dogol, arad, dan sejenisnya diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan yang diundangkan 4 Juni 2021.
Permen ini merevisi sejumlah regulasi sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 26 Tahun 2014 tentang Rumpon, Permen KP No 25/2020 tentang Andon Penangkapan Ikan, serta Permen KP No 59/2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas. Selain itu, Keputusan Menteri No 6/2010 tentang Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Penggunaan cantrang selama ini menuai penolakan dari berbagai elemen pelaku perikanan karena terbukti tidak ramah lingkungan dan merusak keberlanjutan sumber daya perikanan di perairan Indonesia.
Kendati demikian, pemerintah mengizinkan penggunaan alat tangkap jaring tarik berkantong. Jarik taring berkantong diizinkan untuk digunakan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711, yaitu Perairan Laut Kepulauan Riau hingga Laut Natuna pada zona di atas 30 mil, dan WPPNRI 712 yaitu Laut Utara Pulau Jawa.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menilai peraturan tersebut tidak akan efektif mendorong penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.
”Alih-alih mendorong transisi ke alat tangkap yang ramah lingkungan, permen ini malah terlihat melanjutkan watak ekstraktif dan eksploitatif cantrang pada alat tangkap ikan yang lain,” ujar Susan, akhir pekan lalu.
Susan menambahkan, Permen KP No 18/2021 cenderung mengabaikan temuan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri yang dipublikasikan dalam dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir tahun 2018. Dokumen itu menyebut alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dapat menyebabkan tiga hal, yaitu penangkapan ikan yang tidak efektif dan eksploitatif, menghancurkan terumbu karang yang menjadi rumah ikan, dan memicu konflik sosial-ekonomi nelayan di tingkat akar rumput.
Pihaknya menilai cara kerja alat tangkap jaring tarik berkantong memiliki kesamaan dengan cantrang yang terbukti merusak sumber daya laut. Pihaknya juga mendesak KKP untuk mendata kapal-kapal pengguna cantrang dan alat tangkap merusak lainnya lalu mendorong pemiliknya untuk mengganti dengan alat tangkap ramah lingkungan yang disesuaikan dengan kondisi perairan masing-masing. ”Kami menilai alat tangkap ikan jaring tarik berkantong ini adalah cantrang yang diganti namanya,” katanya.
Aturan itu juga tidak mempertimbangkan keberadaan 7.066 nelayan skala kecil di Kepulauan Natuna dan 470.020 nelayan skala kecil yang berada di sepanjang pantai utara Pulau Jawa yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya ikan. ”Menteri Kelautan dan Perikanan harus memastikan transisi menuju penggunaan alat tangkap ramah lingkungan dapat berjalan cepat supaya tidak ada lagi konflik antarnelayan yang terjadi,” kata Susan.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Muhammad Abdi Suhufan menilai, perubahan dalam peraturan itu tidak berdampak signifikan terhadap jargon keberlanjutan sumber daya kelautan yang selama ini diusung Menteri Kelautan dan Perikanan. Laut dan sumber daya ikan tetap terancam oleh izin penggunaan alat tangkap yang eksploitatif.
Ia juga menyoroti perubahan istilah pukat hela udang menjadi jaring hela udang. Esensi alat tangkap dan wilayah operasionalnya sama. Ketentuan itu justru terkesan melonggarkan alat penangkapan ikan yang merusak.
Di sisi lain, ketentuan itu juga tidak tegas mengatur batas waktu transisi penggantian alat tangkap cantrang sehingga dikhawatirkan memicu polemik berkepanjangan. ”Transisi perlu jelas guna memberikan kepastian usaha,” kata Abdi.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini Hanafi mengatakan, jaring tarik berkantong berbeda dengan cantrang dalam hal ukuran dan bentuk mata jaring, alat pemberat, serta panjang tali selambar. Selain itu, cara kerja jaring tarik berkantong juga berbeda dengan cantrang yang tergolong pukat hela.
”Kalau pukat hela, kapal jalan sambil menyeret alat tangkap sehingga menyapu (dasar perairan), sedangkan kalau jaring tarik posisi kapal diam, alat tangkap sudah dilingkari dan ditarik,” katanya beberapa waktu lalu.
Zaini mengakui, jaring tarik berkantong masih tergolong alat tangkap aktif, tetapi dapat menekan dampak kerusakan terhadap lingkungan. Penggunaan jaring tarik berkantong sebagai pengganti cantrang hanya diizinkan untuk kapal-kapal cantrang yang sudah ada. Pemerintah tidak akan menambah izin baru.
”Kalau menghilangkan dan melarang sama sekali, kan, susah. Mereka (nelayan) musti tetap berusaha. Sekarang dampaknya dieliminir, kerusakan terhadap lingkungan kita kurangi,” katanya.