Ketahanan pangan rumah tangga sudah mulai tergerus akibat penurunan penghasilan. Jaring pengaman sosial, pengendalian harga dan ketersediaan stop pangan, dan lapangan pekerjaan sangat dibutuhkan.
Oleh
hendriyo widi
·6 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sejumlah warga membawa bahan pangan dari program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) di Kantor Lurah Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (25/5/2021). Penerima BPNT dapat mencairkan bantuan melalui pedagang bahan makanan atau e-warong yang telah ditunjuk. Bantuan senilai Rp 200.000 dapat ditukarkan bahan pangan berupa beras 10 kilogram, daging ayam atau ikan, 1 kilogram telur dan buah.
Ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga merupakan kebutuhan vital untuk menopang daya tahan tubuh selama pandemi Covid-19 berlangsung. Namun, pengeluaran masyarakat untuk konsumsi makanan justru turun seiring dengan penurunan pendapatan.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik pada 25 Juni 2021 menunjukkan, pandemi Covid-19 memengaruhi kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, sosial, dan pangan. Pada masa pandemi, masyarakat jadi lebih berhati-hati berbelanja dan cenderung mengurangi pengeluaran.
Dalam periode pandemi pada Maret-September 2020, rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat, baik di perdesaan maupun perkotaan, untuk komoditas makanan turun 3,96 persen dari Rp 613.025 pada Maret 2020 menjadi Rp 588.773 pada September 2020. Penurunan pengeluaran pangan terjadi pada penduduk dalam kelompok pengeluaran 40 persen bawah dan 40 persen menengah, sedangkan pada kelompok 20 persen atas justru meningkat.
Pada kelompok 40 persen bawah, misalnya, pengeluaran untuk konsumsi makanan turun dari Rp 344.917 per kapita per bulan pada Maret 2020 menjadi Rp 314.521 per kapita per bulan. Adapun dalam periode sama, pengeluaran kelompok 20 persen atas untuk konsumsi makanan naik 7,38 persen dari Rp 1,072 juta per kapita per bulan menjadi Rp 1,152 juta per kapita per bulan.
Penurunan pengeluaran ini seiring dengan penurunan pendapatan masyarakat selama pandemi Covid-19. Pendapatan tersebut berkurang antara lain karena pemutusan hubungan kerja, pengurangan jam kerja, dan sepinya usaha. Per Februari 2021, jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 8,75 juta orang atau bertambah sebanyak 1,82 juta dibandingkan Februari 2020 yang sebanyak 6,93 juta orang.
BPS menyebutkan, upah atau gaji buruh, karyawan, dan pegawai, serta pekerja bebas di sektor pertanian dan nonpertanian pada Februari 2021 dibandingkan Februari 2020 turun. Rata-rata upah buruh, karyawan, dan pegawai pada Februari 2021 sebesar Rp 2,86 juta per bulan atau turun dari Februari 2020 yang sebesar Rp 2,911 juta per bulan. Dalam periode yang sama, rata-rata upah pekerja bebas di sektor pertanian juga turun dari Rp 1,070 juta menjadi Rp 1,031 juta.
Pada kelompok 40 persen bawah, pengeluaran untuk konsumsi makanan turun sebesar 8,81 persen dari Rp 344.917 per kapita per bulan pada Maret 2020 menjadi Rp 314.521 per kapita per bulan.
Tak mengherankan jika Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM-FEB UI) memberikan perhatian besar terhadap persoalan ini. Dalam laporannya bertajuk ”How Covid-19 Affects Food Security in Indonesia” yang dirilis pada 1 Juli 2021, ketahanan pangan masyarakat, baik konsumen maupun produsen pangan, terancam guncangan pendapatan dan penurunan daya beli akibat dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian.
Selain sejumlah indikator yang ditunjukkan BPS, LPEM-FEB UI juga memaparkan sejumlah survei dari beberapa lembaga lain. Survei daring Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) pada Oktober 2020 memperlihatkan, hanya 24 persen rumah tangga yang mengaku makan sesuai porsi seharusnya dalam seminggu terakhir. Sementara Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef) pada 2021 menyebutkan, 12,6 persen dari 12.000 keluarga yang disurvei berjuang untuk memberi makan keluarga mereka.
Perjuangan masyarakat menyediakan pangan bagi keluarga akan semakin berat jika harga pangan turut naik. Pada Juni 2021, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan ada kenaikan harga pangan global, terutama minyak nabati, daging, gula, dan serealia. Hal itu tidak lepas dari imbas pandemi Covid-19, La Nina, biaya pengapalan, dan lonjakan permintaan bahan pangan dari negara-negara importir pangan sepanjang 2020-2021.
FAO menunjukkan Indeks Harga Pangan pada Mei 2021 sebesar 127,1 atau tumbuh 4,8 persen dari April 2021 dan 39,7 persen dibandingkan dengan Mei 2020. Kenaikan tersebut menempatkan indeks harga pangan dunia pada posisi tertingginya sejak September 2011. FAO juga menyebutkan, nilai impor pangan dunia, termasuk biaya pengiriman, diproyeksikan mencapai 1,715 triliun dollar AS pada 2021, naik 12 persen dari 1,53 triliun dollar AS pada 2020.
Adapun IMF melaporkan, rata-rata harga pangan global telah meningkat sebesar 47,2 persen pada Mei 2021 atau telah mencapai level tertingginya sejak 2014. Khusus untuk kedelai dan jagung antara Mei 2020 dan Mei 2021, harganya masing-masing naik sekitar 86 persen dan 111 persen. IMF memperkirakan rata-rata harga pangan global akan meningkat 25 persen sepanjang tahun ini.
Sejumlah warga berbelanja di Pasar Grogol, Jakarta Barat, Kamis (1/7/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi pada Juni 2021 sebesar 0,16 persen. Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh penurunan harga sejumlah kelompok pengeluaran pasca-Ramadhan dan Idul Fitri pada bulan Mei. Beberapa komoditas pangan yang mengalami penurunan harga antara lain cabai merah, daging ayam ras, cabai rawit, dan bawang merah.
Kenaikan harga pangan global ini telah menyebab sejumlah harga pangan di dalam negeri meningkat di atas harga eceran tertinggi (HET) atau acuan yang telah ditetapkan pemerintah. Harga eceran kedelai, bahan baku tempe dan tahu, secara nasional per 2 Juli 2021 sebesar Rp 12.375 per kilogram (kg).
Harga jagung bahan baku pakan ternak, sudah mencapai Rp 5.000-Rp 6.000 per kg atau di atas harga acuan tertinggi yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 4.500 per kg. Kenaikan harga jagung ini dapat berimbas ke kenaikan harga daging dan telur ayam ras.
Indonesia cukup beruntung, di tengah kenaikan harga beras dunia, stok beras di Indonesia masih sangat berlimpah, meskipun harga beras domestik di atas HET. Kementerian Perdagangan mencatat, stok beras di Perum Bulog per 2 Juli 2021, sebanyak 1,39 juta ton atau cukup untuk 18 bulan ke depan. Adapun harga beras medium di dalam negeri Rp 10.532 per kg atau di atas HET yang sebesar Rp 9.450 per kg.
Bantalan ekonomi
Menghadapi dua tantangan itu, tergerusnya ketahanan pangan rumah tangga dan kenaikan harga pangan di dalam negeri, program perlindungan sosial dan pengelolaan pangan perlu terus dilanjutkan di tengah pandemi Covid-19. Program perlindungan ini mencakup Bantuan Sosial Tunai (BST), Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan pangan nontunai, Kartu Prakerja, dan padat karya tunai.
Menghadapi dua tantangan itu, tergerusnya ketahanan pangan rumah tangga dan kenaikan harga pangan di dalam negeri, program perlindungan sosial dan pengelolaan pangan perlu terus dilanjutkan di tengah pandemi Covid-19.
Pada tahun ini, pemerintah telah menambah dana perlindungan sosial sebesar Rp 810 miliar dari Rp 148,27 triliun menjadi Rp 149,08 triliun. Tambahan dana perlindungan sosial ini ditujukan untuk perpanjangan program BST selama dua bulan, Juli-Agustus, bagi 10 juta keluarga penerima manfaat non-program Sembako dan non-PKH.
Pemerintah juga telah menambah dana insentif usaha sebesar Rp 6,7 triliun menjadi Rp 62,83 triliun. Kenaikan anggaran insentif usaha ini guna menopang penambahan 2,8 juta peserta program Kartu Prakerja dengan manfaat pelatihan Rp 1 juta, insentif pelatihan Rp 600.000 per bulan selama empat bulan, dan insentif survei Rp 150.000.
Untuk dukungan bagi UMKM dan korporasi, pemerintah mengalokasikan Rp 178,47 triliun. Dukungan ini antara lain akan digunakan untuk subsidi bunga UMKM, bantuan presiden produktif usaha mikro (BPUM), penjaminan kredit UMKM dan korporasi, serta penyertaan modal negara kepada badan usaha milik negara.
Seiring dengan itu, janji pemerintah menciptakan lapangan kerja sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga perlu direalisasikan secara bertahap.
Di sektor ketahanan pangan, Kementerian Keuangan mengalokasikan Rp 62,8 triliun bagi Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Selain itu, dialokasikan juga dana transfer ke daerah bentuk dana alokasi khusus (DAK) untuk irigasi, pertanian, serta kelautan dan perikanan, senilai total Rp 5,6 triliun.
Pemerintah juga perlu memastikan produksi dan distribusi pangan tidak terganggu atau terhambat. Hal ini penting dalam rangka menjamin ketersediaan stok dan pengendalian harga pangan, terutama di daerah-daerah yang harga pangannya tinggi.
Seiring dengan itu, janji pemerintah menciptakan lapangan kerja sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga perlu direalisasikan secara bertahap. Realisasi janji ini sangat penting mengingat tidak selamanya masyarakat terus bertumpu menerima bantalan sosial dari pemerintah, apalagi nanti setelah pandemi usai.