Remuk lantaran Salah Angkut
Jangan heran jika mendapati kelengkeng yang dikirim dari Jawa Timur sebagian remuk saat dijual. Sebaliknya, buah yang sama dari luar negeri masih utuh. Padahal, jarak pengiriman lebih jauh dan kompleks.
Pengangkutan buah-buahan yang tak apik menyisakan persoalan sesampainya di tujuan. Komoditas itu rusak lantaran muatan berlebih semata-mata demi mengejar trip sekali jalan. Beragam persoalan lawas rantai pasok perlu dibenahi mengingat buah-buahan termasuk pangan dengan kerusakan paling besar.
Mari kita tengok Pasar Induk Kramatjati, Jakarta. Kamis (10/6/2021) sore, sejumlah kuli panggul membawa peti berisi buah dengan tergesa-gesa. Beberapa rekan mereka mengantar buah-buahan menggunakan papan yang dipasangi roda.
Truk, pikap, hingga mobil pribadi yang terparkir tak hanya berasal dari Jakarta. Berdasarkan nomor polisinya, kendaraan-kendaraan itu juga datang dari Semarang, Yogyakarta, Bandung, Serang, Malang, bahkan Bali. Para pekerja sibuk membongkar dan memasukkan muatan dari atau ke dalam kendaraan-kendaraan itu.
Ferdi (45) dengan santai melempar semangka kepada rekannya yang menaruh buah itu di dalam pikap. Pisang, pepaya, mangga, pir, dan salak juga diangkut dalam peti kayu, kardus, bahkan tanpa kemasan. Pedagang buah di kaki lima itu hendak membawa muatannya ke Pasar Cempaka Putih, Jakarta.
”Sudah siap. Tinggal tunggu melon dan nanas. Sekardus seharusnya berisi maksimal 10 kilogram (kg) kalau enggak mau rusak,” katanya. Kenyataannya, setiap kardus bisa diisi hingga 50 kg. Ferdi hanya ingin mengangkut buah-buahan sebanyak mungkin. Tak pelak, risiko muatan rusak harus ia tanggung.
”Kalau sudah lebih dari 30 kg atau 40 kg, jarang yang mulus. Setiap 50 kg, rata-rata buah yang rusak sekitar 3 kg,” ujarnya. Setiap tiga hari, ia mengambil buah-buahan dengan total kuantitas sekitar 2 ton yang dipesan lima pedagang. Mereka patungan untuk menyewa pikap.
”Kalau sudah di dalam mobil, enggak tahu buahnya utuh atau rusak. Salak, misalnya, pasti pecah kalau tergencet,” ujarnya. Konsumen tak mau membeli buah lecet dengan harga normal. Jika tersisa buah-buahan yang rusak, Ferdi terpaksa mengobralnya.
”Kalau harus bolak-balik sewa pikap lagi, berat. Tambah biaya transportasi. Saya beli buah-buahan, petinya bayar Rp 5.000,” katanya. Ia juga harus membayar biaya mengikat setiap peti sebesar Rp 2.000. Ferdi mengeluarkan Rp 300.000 untuk menyewa pikap.
”Saya mahalkan sedikit dagangan, konsumen protes. Kalau mereka minta dua atau tiga kantong plastik, gratis. Sementara saya nimbang buah-buahan pun mesti bayar,” katanya. Ferdi juga tak sanggup menyewa lapak. Ia berjualan di luar Pasar Cempaka Putih.
”Kontraknya mahal. Enggak keuber kalau harus belanja berkali-kali. Sekarang saja, konsumen yang pergi ke pasar-pasar jauh lebih sedikit karena pandemi,” ucapnya. Ia bersyukur, jalan ke Pasar Cempaka Putih cukup mulus karena melewati tol sehingga tak menambah kerusakan buah-buahan.
Dijual murah
Di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Ani (50) menunjukkan buah-buahan yang rusak karena tertindih saat diangkut dari Pasar Induk Kramatjati. ”Baru dibongkar sudah rusak. Mangga biasanya saya jual seharga Rp 30.000 per kg, kalau rusak Rp 15.000 saja,” kata pedagang tersebut.
Beberapa mangga yang setengah remuk tersebut dikumpulkan di wadah aluminium dan ditaruh di sisi lapak. Gurat-gurat buah itu terlihat karena kulitnya yang sedikit terbuka. Bagian itu penyok dan menghitam di sela warna hijau kekuningan. Di baskom lain, Ani meletakkan buah naga, pir, dan jeruk.
Buah-buahan itu pun sudah tak mulus. Buah naga umpamanya, dipotong dua karena bagian-bagian yang rusak sudah dibuang. Pir pun sudah lecet dan jeruk bebercak hitam. ”Kalau ditotal semua buah yang rusak, sekitar 5 kg. Belum lagi, saya harus membuang salak yang sudah busuk karena tak laku,” katanya.
Di sisi lain Pasar Kebayoran Lama, Sumijo (68) mengamati buah-buahan yang diturunkan. Sopir pikap tersebut mengantar pesanan lima pedagang yang dikirim dari Pasar Induk Kramatjati. Pisang, jeruk, melon, semangka, apel, alpukat, dan jambu itu lalu dibawa lima kuli panggul.
”Kalau pikap penuh, saya bisa bawa 40 boks seberat 2 ton. Hari ini agak sepi. Hanya 25 boks. Kalau yang rusak, enggak bisa saya pastikan jumlahnya, tapi ada saja,” ucapnya. Jika harus diangkut dua kali untuk menghindari kerusakan, tenaga, waktu, dan biayanya lebih besar.
Kerusakan buah-buahan yang tertindih lantaran muatan berlebih saat diangkut masih menimpa rantai pasok, terutama perkebunan rakyat, pergudangan konvensional, hingga pasar tradisional. Perlengkapan mereka untuk menjaga kesegaran komoditasnya juga kerap tak memadai.
”Buah-buahan sering ditumpuk dalam bak kendaraan sampai tinggi. Lihat saja di tol-tol,” ujar Chief Operating Officer TaniHub Group Sariyo. Ia terheran-heran saat mendapati kelengkeng yang remuk dari Jawa Timur. Sebaliknya, buah yang sama kiriman dari Thailand dan Filipina masih utuh.
”Jarak pengiriman dari negara-negara itu tentu lebih jauh dengan prosedur kompleks. Usut punya usut, petani masih mengirimkan komoditasnya secara tradisional,” ucap Sariyo. Mutu buah-buahan sangat tergantung rantai pasoknya. Pengiriman dari mancanegara, termasuk truk-truknya, dilengkapi ruang pendingin.
Empat puluh persen
Setijadi, Chairman Supply Chain Indonesia, lembaga independen bidang logistik dan rantai pasok, menjelaskan, tiga komoditas yang kerusakannya paling tinggi adalah daging, ikan, serta buah-buahan dan sayuran. Penurunan kualitas itu terjadi sepanjang proses mulai produksi hingga diterima konsumen.
”Sejak pertanian atau peternakan, diambil hasilnya, distribusi ke retail, sampai di tangan pembeli terjadi akumulasi kerusakan,” kata Setijadi. Di antara komoditas-komoditas itu, kerusakan buah-buahan dan sayuran paling tinggi atau 40 persen.
”Disusul ikan sekitar 30 persen dan daging 20 persen. Kelompok-kelompok itu termasuk perishable product (produk yang mudah rusak),” katanya. Buah-buahan sering dijatuhkan dari pohon lalu dimasukkan dan dipadatkan dalam karung. Saat diangkut dengan kendaraan, kantong itu tak jarang dilempar.
”Kalau pakai karung tentu kian riskan. Masuk truk, rusak. Di perjalanan ditumpuk. Tidak ada standar penataan, kekuatan kemasan, dan tinggi maksimum tumpukan,” katanya. Upaya menahan laju pembusukan pun belum banyak dilakukan. Di lahan pertanian, rantai dingin hendaknya sudah dipikirkan.
”Setelah buah-buahan dipetik, pembusukan dimulai. Kalau perishable product, tentu bicara cold storage (ruang pendingin),” ucapnya. Demikian pula truk hingga pengecer yang seharusnya dilengkapi fasilitas itu. Idealnya, rak bersuhu tertentu yang sesuai dengan buah-buahan ditempatkan di toko.
Setijadi menyebutkan tiga persoalan klasik pengangkutan komoditas. Proses, pelaku, dan teknologi sepatutnya didorong agar semakin baik. ”Standar proses belum diterapkan. Pemetikan, pengepakan, pengantaran, dan penumpukan yang terstandardisasi hingga retail perlu dipahami,” katanya.
Kompetensi pelaku juga penting untuk ditingkatkan. Mereka harus mengetahui penanganan dan karakteristik buah-buahan. Teknologi diterapkan dengan rantai dingin. ”Kalau mau ekspor, harus pakai kontainer pendingin. Semua tahap itu harus diperbaiki,” ucapnya.