Petani Muda di Sektor Perbuahan
Sejumlah petani muda tak patah semangat meski dirundung pandemi. Mereka antara lain tetap giat memuliakan tanaman, menyuarakan konstituen, bahkan menciptakan lapangan kerja.
Sejumlah petani muda tak patah semangat meski dirundung pandemi. Mereka antara lain tetap giat memuliakan tanaman, menyuarakan konstituen, bahkan menciptakan lapangan kerja. Cemoohan yang kerap terdengar tak memadamkan asa para pembudidaya buah-buahan tersebut.
Reza Mulyana (26) menyipitkan mata untuk melihat avokad lantaran teriknya matahari di Kampung Sindangreret, Desa Karangpawitan, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Beberapa pohon indukan avokad sindangreret masih berdiri kokoh di kebun kakek Reza, Sabtu (22/5/2021).
Di beberapa dahan pohon setinggi lebih dari 5 meter ini, tumbuh avokad sekepalan orang dewasa. ”Belum ada yang matang. Mungkin beberapa minggu lagi,” ujarnya sambil mengecek lebih dari lima avokad.
Bukan buah sembarangan. Sindangreret termasuk 23 varietas avokad unggulan di Indonesia. Buah ini legit, berwarna kuning mentega, dan bertekstur halus tanpa serat dengan ketebalan hingga 4,1 sentimeter. ”Enak dimakan langsung, bijinya kecil, dan bergizi tinggi dibandingkan dengan avokad biasa,” ujarnya.
Keistimewaan avokad ini diakui Kementerian Pertanian (Kementan) pada 2010. Kakek Reza, Dede Rustandi (73), memiliki pohon induk tunggal yang mendaftarkan varietas ini bersama Pemerintah Kabupaten Garut. Namun, gaung avokad sindangreret perlahan hilang. Saat itu, pemda lebih fokus menangani pelestarian jeruk garut.
”Beberapa bibit label putih yang diberikan kakek pun sebagian entah ke mana. Sekarang, saya fokus budidaya dari pohon induk label putih di kebun ini saja,” ujarnya.
Label putih atau benih dasar ini mengacu pada sertifikasi benih resmi untuk budidaya tanaman. Pelabelan ini dibagi menjadi kuning (benih penjenis), putih (benih dasar), ungu (benih pokok), dan biru (benih sebar).
Beberapa bibit label putih yang diberikan kakek pun sebagian entah ke mana. Sekarang, saya fokus budidaya dari pohon induk label putih di kebun ini saja.
Reza menganggap pohon induk label putih yang tersisa adalah harta yang harus dilindungi. Apalagi, pohon induk berlabel kuning telah lama tumbang. Tak mau membiarkan avokad sindangreret hilang, Reza membudidayakannya setelah lulus kuliah pada akhir tahun 2019.
”Ini bahkan harta Garut. Tak akan ada lagi pohon label putih selain di kebun ini. Padahal, bisa menjadi buah kebanggaan,” ujarnya. Dalam setahun, Reza memperbanyak bibit label ungu dengan indukan yang tersisa. Setidaknya, Reza telah membudidayakan 60 bibit ini. Semua itu untuk memastikan kemurnian varietas avokad sindangreret.
”Awalnya, orang bertanya, bahkan meremehkan. Apalagi, setahun ini, saya belum bisa mendapatkan profit maksimal karena fokus budidaya dan berjualan bibit. Bahkan, saya pernah beberapa bulan tak berpenghasilan karena tak ada yang beli bibit,” ujarnya.
Baca Juga: Perubahan Melalui Buah
Di tengah kegetiran, Ketua Asosiasi Produsen Benih Tanaman Buah Kabupaten Garut ini bertahan. Jika fondasi kesinambungan produksi dari hulu ke hilir tercapai, avokad ini bisa menjadi salah satu varietas superior yang menambah keanekaragaman buah Nusantara.
Dianggap ”ngawur”
Di Desa Sedong Lor, Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon, Jabar, sekelompok pemuda membuat kebun mangga gedong gincu menjadi kedai dan tempat bermain. Konsumen ramai menikmati produk olahan mangga di bawah pohonnya.
Terik matahari tak menyurutkan keriangan Sahira Putri Cahyani (12). Setelah dua jam bermain, ia melahap es mangga dan lemon. Setelah itu, Sahira kembali bermain, sedangkan keluarganya bersantai di tenda dan berbaring di tempat tidur gantung.
Beginilah suasana Kopi Gincu, kedai yang berjarak 24 kilometer dari pusat Kota Cirebon. Sedong merupakan salah satu sentra mangga gedong. Buah ini pada tingkat kematangan 80 persen ke atas dikenal dengan mangga gedong gincu. Sebab, warnanya kemerahan seperti orang bergincu. Pada 2019, diperkirakan 30 persen dari total produksi mangga di Jabar yang mencapai 4,1 juta kuintal merupakan mangga gedong.
Untuk menuju Desa Sedong, pengunjung melintasi jalur turun naik di antara kebun tebu dan mangga. ”Saya baru pertama ke sini. Enak untuk main. Banyak pohon mangga,” ucap Sahira.
Pengunjung lain sibuk berswafoto hingga siaran langsung di medsos. Dari rooftop (atap), tampak rimbun pohon mangga dan hijau rerumputan sejauh mata memandang. Alunan musik dan semilir angin ikut menemani.
Dahulu, area itu hanya kebun sunyi. Pada 2019, Hendrik Nurwanto (36) menyulap kebun mangga keluarganya seluas 3.000 meter persegi menjadi kedai. ”Dari 10 orang yang dimintai pendapat, termasuk keluarga, tujuh orang negatif (menolak),” kenangnya.
Baca Juga: Jeli Membidik Potensi Penjualan Buah-buahan Saat Pandemi
Ia dianggap ngawur. ”Mau jual apa di kebun? Siapa yang beli? Siapa mau datang? Kan, jauh dari kota,” kata Hendrik menirukan ungkapan pesimistis orang dekatnya.
Lulusan Jurusan Bahasa Inggris IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini bergeming. Sejumlah upaya dilakukan Ketua Kelompok Tani Sukamulya ini, salah satunya memasok eksportir.
”Selama tahun 2010-2019, kami ekspor ke Timur Tengah. Kirim 20 sampai 40 ton per tahun. Tahun lalu, enggak ekspor karena pandemi,” ujar Hendrik yang mengelola lahan 12 hektar bersama 10 petani lain.
Band, penyelenggara acara, kreator konten, dan komunitas kopi juga mendukungnya. Kopi dianggap dekat dengan anak muda dan komunitas, sedangkan gincu merupakan identitas Sedong. Sekitar 40 pohon mangga gedong di area itu pantang ditebang.
Sebagian modal pembangunan kedai yang lebih dari Rp 500 juta berasal dari temannya. ”Ada teman ikut nguli. Padahal, saya bayar per dua pekan atau utang dulu,” ucap Hendrik.
Ketika diluncurkan pada 26 Agustus 2020, kedai ini bahkan belum punya mesin kopi. ”Waktu buka, tiga kedai teman tutup karena alatnya dipakai di sini,” ucapnya diiringi tawa. Meski pandemi melanda, kedainya dikunjungi banyak orang dengan menerapkan protokol kesehatan.
Jika akhir pekan atau Jumat-Minggu, kebutuhan mangga di kedainya bisa mencapai 1 kuintal. Selain petani, mangga berasal dari warga. ”Kami beli di atas harga pasar. Misalnya, di tengkulak Rp 12.500 per kilogram (kg), kami beli Rp 15.000-Rp 20.000 per kg tergantung kualitas,” ujarnya.
Menyelamatkan ekonomi
Karyawan yang tadinya hanya enam orang kini melonjak hingga 35 orang, sebagian besar merupakan anak muda yang tinggal di Sedong. Pekarangan warga juga dijadikan tempat parkir.
Kopi Gincu turut menyelamatkan napas ekonomi beberapa orang. Yuli Nur Apliani (31), misalnya, menjadi korban PHK restoran di Jakarta. Setelah 10 tahun bekerja, supervisor itu harus pulang kampung pada pertengahan 2020. Mendengar kedai Kopi Gincu mencari karyawan, ibu dua anak ini melamar dan diterima.
”Kalau ada panggilan ke Jakarta, sepertinya saya di sini saja,” ucap Kepala Kitchen Kopi Gincu itu.
Kopi Gincu juga menjadi wadah band dan sineas setempat berekspresi. Ia berharap mangga gedong berjaya seperti masa lampau ketika Pelabuhan Cirebon jadi sentra perdagangan antarnegara pada abad ke-15. ”Dulu, mangga dinamakan gedong karena orang yang makan dikenal gedongan,” ucapnya.
Baca Juga: Menyambung Napas Wisata Petik Buah
Sementara itu, Nur Agis Aulia (32) memperjuangkan petani, termasuk buah-buahan, lewat kiprahnya sebagai anggota Komisi II DPRD Kota Serang, Banten. Sebelumnya, ia malang melintang menggeluti agrobisnis lewat usahanya, Jawara Banten Farm, yang dirintis pada 2013.
Agis menanam antara lain pepaya, melon, dan jeruk di lahan dengan luas sekitar 3 hektar. Ia juga beternak domba, kambing, dan sapi. Tak hanya Banten, Jawara Banten Farm bermitra dengan 180 petani di Jabar, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Lampung.
”Saya sedang mendorong BUMD Agro Kota Serang bisa didirikan. Semoga terealisasi pada akhir tahun 2021,” kata Agis. Begitu lolos Pemilu tahun 2019, ia tancap gas mewujudkan rencananya agar petani, tak terkecuali buah-buahan, bisa mengakses pinjaman.
”Harapannya, hasil panen juga bisa ditampung BUMD itu. Pasar buah-buahan seharusnya sudah tersedia sebelum panen,” katanya. Tantangan budidaya hortikultura tergolong paling besar karena hasil panen harus disimpan dengan baik untuk menjaga kualitasnya.
Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Prihasto Setyanto menganggap para petani muda dengan asa yang terus menyala saat pandemi sebagai pahlawan perbuahan. ”Mereka tetap menebar beragam faedah. Kami dukung sebagian petani muda dengan transportasi, pengemasan, dan pengolahan,” ujarnya.