Kerja Keras di Balik Ekspor Buah
Peluang yang besar untuk menyuplai komoditas hingga mancanegara membuka gerbang bagi perusahaan bermitra dengan petani.
Peluang yang besar untuk menyuplai komoditas hingga mancanegara membuka gerbang bagi perusahaan bermitra dengan petani. Di balik kilau pasar ekspor, terbentang jalan berliku dengan kompleksitas regulasi dan etos kerja pembudidaya buah untuk memenuhi standar.
Gudang di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, itu terlihat modern dengan ban berjalan, mesin pengering, dan timbangan elektronik. Salak-salak ranum dibongkar dari truk lalu disortir berdasarkan ukuran dan kualitasnya.
”Dipilih yang bagus. Kalau berjamur, busuk, atau lecet, maka tidak memenuhi standar,” kata Kepala Cabang Java Fresh Yogyakarta Khoirudin, Senin (31/5/2021). Betapa tidak, seleksi demikian ketat lantaran salak-salak itu akan dieskpor ke Belanda.
Buah-buah itu diamati, diputar, dan diraba tujuh pekerja yang mengenakan masker. Mereka dengan cekatan juga memeriksa tingkat kematangan, ukuran, dan bobot buah. ”Kami beli dari kelompok tani. Lubang kecil pun diperiksa. Ditekan sedikit, kalau mulai busuk, keluar cairan,” katanya.
Buah-buah yang sesuai standar dimasukkan ke dalam keranjang dengan isi seberat lebih kurang 8 kilogram (kg). Setelah diikat, keranjang itu dikirim untuk melewati karantina. ”Pakai truk berpendingin. Pengiriman rata-rata seminggu sekali sebanyak 3 kuintal,” ujarnya.
Semua salak tersebut berasal dari Kabupaten Sleman. Setiap salak diberi label agar, saat dijual di toko-toko, asal buah itu bisa diketahui. ”Setelah ditempeli stiker itu baru keranjang ditutup dan siap dikirim. Jenis salaknya pondoh super,” kata Khoirudin.
Wakimin (50), petani di Desa Merdikorejo, gembira menyikapi terbukanya peluang ekspor meski aral melintang masih saja didapati. ”Lalat buah, misalnya, masih dirisaukan. Beberapa hari ini sempat banyak lalu berkurang lagi. Bisa gawat kalau ditemukan telur lalat dalam buah. Bakal ditolak,” katanya.
Kendala lain, ukuran buah yang bervariasi sehingga tak semua salak yang ia panen memenuhi keinginan pengekspor. Jika kuantitas salak Wakimin yang memenuhi standar ekspor sedang minimal, proporsi itu hanya sekitar 50 persen dari total setoran.
”Kalau maksimal, sekitar 75 persen, tetapi sebenarnya saya masih kurang puas karena munculnya kendala-kendala itu,” ujarnya. Sekali panen, Wakimin menghasilkan total sekitar 2 ton salak pondoh super. Panen berlangsung dua hingga tiga kali per tahun.
Harga salak kualitas ekspor memotivasi Wakimin. Salak tersebut bisa dihargai hingga Rp 7.000 per kg. Jika dibeli pengepul, harga itu hanya Rp 4.000 per kg. ”Eskpor sangat perlu dan dinanti karena meningkatkan harga,” kata petani yang sudah sekitar 30 tahun menanam salak itu.
Di Desa Kutadalom, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus, Lampung, Syarifudin (62) pun mengaku masih kurang puas terhadap produksi kebunnya. ”Masih ada pisang reject (tak memenuhi standar) untuk diekspor. Ukurannya kecil atau banyak totol-totolnya. Jadi, ditolak,” katanya.
Ia mengaku lalai tak menginjeksi jantung pisang dengan cairan organik agar buah tak berbercak. Syarifudin menyadari, jika ingin hasilnya optimal, perlu kerja keras. ”Setandan rata-rata terdiri atas delapan sisir. Kalau ditolak, biasanya dua atau tiga sisir di pucuk pohon yang tak memenuhi standar,” katanya.
Apabila pisang tak sesuai mutu yang ditetapkan, ia mengolahnya menjadi selai, diberikan kepada tetangga atau dikonsumsi sendiri. Syarifudin terus berupaya lebih giat. ”Kebun saya luasnya sekitar 1 hektar. Hasilnya, sekitar 5 kuintal per minggu,” ujarnya.
Sekitar lima tahun lalu, ia mulai bermitra dengan PT Great Giant Pineapple (GGP) untuk memasok pisang yang diekspor. Syarifudin tertarik karena harga pisang yang stabil. ”Kontraknya setiap tiga tahun. Dibantu dengan penyemprot, bibit, dan pembinaan,” ujarnya.
Kualitas beragam
Pendiri dan Chief Executive Officer PT Nusantara Segar Global (NSG) Margareta Astaman menemukan kualitas produk petani yang beragam. ”Kalau belum atau baru menjalankan SOP (prosedur operasional standar) kebun, buah setoran petani yang memenuhi standar ekspor hanya 30-50 persen,” katanya.
Jika petani terus belajar dan mampu menerapkan standar tersebut, proporsi rata-ratanya menjadi 70-80 persen. Persentase itu tergantung perawatan lahan. Komoditas yang diekspor NSG antara lain buah naga, manggis, salak, kelapa, jeruk purut, dan mangga ke 20 negara dengan pasar terbesar Eropa.
Perusahaan itu menyerap buah lewat kerja sama dengan petani teregistrasi, misalnya dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan Sumatera Barat. ”Potensi ekspor sangat besar karena tren konsumsi buah eksotis di dunia selalu meningkat. Buah-buahan itu termasuk diproduksi di Indonesia,” ujarnya.
Apalagi, buah-buahan tersebut rasanya lebih kuat, bahkan melimpah, seperti durian, avokad, jambu, dan pepaya. Omzet ekspor NSG meningkat sekitar 10 persen pada 2020 dibandingkan 2019. Pada 2019, perusahaan tersebut mengekspor sekitar 1.000 ton buah.
”Kendalanya, metode pertanian umumnya masih konvensional. Mungkin karena Indonesia subur, lempar biji pun tumbuh,” ujarnya sambil tersenyum. Alhasil, perawatan tak optimal. Produksi besar, tetapi kuantitas buah yang termasuk kriteria ekspor sangat rendah.
Buah-buahan yang diminta bukan sekadar baik, melainkan juga tesertifikasi. Sebagian besar perkebunan di Indonesia belum memenuhi sertifikasi negara-negara tujuan ekspor. ”Standar mutunya jelas. Rumah pengemasannya pun harus teregistrasi,” ucapnya.
Beberapa ketentuan perlu dipenuhi, seperti keamanan pangan berstandar internasional (global good agricultural practices), Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), dan Fair Trade. Standar lain, yakni Sedex yang fokus terhadap interaksi eksportir dengan pekerja dan petani untuk menerapkan keadilan.
Ia menekankan market intelligence yang sangat diharapkan dari pemerintah, sekaligus pengenalan produk di negara tujuan ekspor. Karakteristik konsumen Eropa pun diketahui sehingga persaingan dapat diatasi dengan mengirimkan buah-buahan unik yang tak dipasok negara pesaing.
Dukungan karantina tak kalah penting karena banyak sekali peraturan soal buah-buahan agar petani dan eksportir bisa memenuhi standar. Margareta dan kolega-koleganya turut membimbing petani menyediakan buah berkualitas ekspor. Mereka saling melengkapi dengan bimtek pemerintah.
”Eksportir harus ikut berperan. Kami kerap mendapatkan informasi mengenai perlakuan yang baik terhadap buah,” kata Margareta. Pegawai NSG dilatih menerapkan penanganan itu dan bekerja sama dengan Badan Karantina Pertanian untuk menjalani sertifikasi.
Analisis tren
Atase Pertanian Kedutaan Besar RI di Washington, Amerika Serikat, Hari Edi Soekirno meminta mereka yang ingin mengekspor buah-buahannya untuk cermat menganalisis tren. ”Perhatikan permintaan. Bukan saya punya buah tertentu dan bagaimana supaya laku,” katanya.
Eksportir harus mencari informasi buah-buahan yang dibutuhkan Amerika Serikat. Kesinambungan produksi pun harus dijaga. ”Pantau pula persyaratan teknis ekspor buah ke Amerika Serikat yang bisa diperoleh di Kementerian Perdagangan,” katanya.
Beberapa ketentuan perlu dipenuhi, seperti keamanan pangan berstandar internasional (global good agricultural practices), Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), dan Fair Trade. Standar lain, yakni Sedex yang fokus terhadap interaksi eksportir dengan pekerja dan petani untuk menerapkan keadilan.
Amerika Serikat mengimpor jeruk dari 88 negara. Impor jeruk pada 2019, misalnya, mencapai 762 juta dollar AS. Pada semester I-2020, nilai itu sebesar 487 juta dollar AS, tetapi nilainya dari Indonesia hanya 30.169 dollar AS yang terdiri atas satsuma mandarin dan sitrun.
”Rabobank telah menyusun laporan mengenai ekspor buah-buahan ke Amerika Serikat pada tahun 2006-2017, tetapi nilainya minimum 500 juta dollar AS,” katanya. Nilai ekspor dari Indonesia kurang dari jumlah itu sehingga tak tercantum dalam laporan Rabobank.
Indonesia pun dianggap tak mengekspor buah-buahan karena kuantitasnya kurang dari 100.000 ton per tahun. Spanyol menempati peringkat pertama pengekspor buah segar terbesar di dunia, disusul Amerika Serika, Belanda, Chile, China, dan Meksiko.
”Negara-negara yang termasuk paling banyak mengekspor buah segar ke Amerika Serikat jaraknya masih dekat. Semua dari Amerika Latin,” katanya. Lama pengiriman buah-buahan dari Indonesia ke Amerika Serikat memakan waktu lebih dari sebulan dengan kapal laut.