Komunitas pedalaman Bukit Duabelas menanam beragam jenis buah rimba yang menjadi sumber kemewahan pangan komunitas Orang Rimba.
Oleh
Irma Tambunan
·4 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Musim buah menjadi saat paling ditunggu komunitas pedalaman di Bukit Duabelas. Manis dan asam berpadu menciptakan kemewahan ragam rasa buah nan eksotik. Ngelimbun (32), Orang Rimba di wilayah Jelutih, Kabupaten Batanghari, Jambi, memanen jering atau jengkol hutan, Sabtu (22/5/2021).
Ribuan bibit buah-buahan khas rimba tumbuh di polibag di pekarangan Ngelimbun (32). Sebagian mulai berbuah. Tabungan pangan ini selanjutnya akan menjadi sandaran hidup keluarganya di masa depan. Jering (Archidendron pauciflorum) dan kabau (Archidendron microcarpum) yang telah berbuah setahun terakhir kerap menarik para kerabat datang.
”Hasilnya dibagi-bagikan kalau ada kanti (orang) datang,” kata Ngelimbun yang kini menetap di wilayah Jelutih, Kabupaten Batanghari, Jambi, Sabtu (22/5/2021).
Tak hanya itu, di hamparan lahan seluas 4 hektar itu telah menyebar pula bibit durian daun (Durio oxleyanus), tampui (Baccaurea macrocarpa), dan kudukuya (Nephelium sp 2). Buah yang memenuhi ranting-ranting pohon itu tampak menggoda tamunya yang tengah berkunjung. Demi memenuhi rasa penasaran, Ngelimbun segera memanjat pohon setinggi 8 meter tersebut. Dengan cekatan, buah-buah yang bergelayut pada ranting ditangkapnya, lalu mendarat bebas di tanah. Tak lama kemudian terkumpullah jering hingga penuh seember besar. Jering habis dibagikan kepada para tamunya.
Saat ini, baru sedikit buah muncul karena belum memasuki musim buah. Baru pada Agustus hingga Februari mendatang ragam buah-buahan akan bermunculan. Puncaknya pada November dan Desember. Musim buah menjadi saat-saat paling ditunggu komunitas pedalaman di Bukit Duabelas. Beragam jenis buah-buahan rimba menjadi sumber kemewahan pangan komunitas Orang Rimba. Buah-buahan itu memiliki rasa nan eksotik sehingga menghadirkan sukacita bagi yang menikmatinya.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Musim buah menjadi saat-saat paling ditunggu komunitas pedalaman di Bukit Duabelas. Manis dan asam berpadu menciptakan kemewahan ragam rasa buah nan eksotik. Ngelimbun (32), Orang Rimba di wilayah Jelutih, Kabupaten Batanghari, Jambi, memanen jering atau jengkol hutan, Sabtu (22/5/2021).
Elvidayanty, penyiar radio yang pernah mendampingi anak-anak rimba siaran radio komunitas Benor FM di Bukit Duabelas, menceritakan, pada musim berbuah, tamu dari luar pun turut serta menikmati. Dirinya yang saat itu menjadi pendamping siaran radio turut mencicipi buah-buahan hutan. Di antara berbagai jenis buah, ia paling menyukai durian daun dan petai hutan. ”Petai hutan sangat enak. Buahnya besar-besar dan empuk dagingnya. Orang Rimba sering membawa keluar buah-buah hutan itu lalu mampir ke studio (Benor FM),” katanya.
Buah lain yang tak kalah menarik perhatiannya adalah benton. ”Bentuknya mirip kurma, tetapi berwarna ungu. Biasanya dibakar dulu sebentar saja, baru dimakan,” kisahnya. Adapun buah tayoi yang tampak seperti mangga, tetapi lebih berserat, kerap diolah untuk sambal.
Buah-buahan umumnya tumbuh di wilayah yang mereka sebut benuaron. Orang Rimba menyukai durian daun atau yang mereka sebut durion. ”Durian jenis ini disebut sebagai yang paling enak,” ujar Karlina, Fasilitator Orang Rimba dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi.
Selain durian, lanjutnya, masih banyak lagi buah-buahan tumbuh subur di rimba Bukit Duabelas. Ada kudukuya, sejenis rambutan, tetapi rambut pada kulitnya lebih pendek-pendek. Bentuk buahnya lonjong dan agak pipih. Meski agak susah memisahkan daging dan bijinya, buah ini cukup disukai karena rasanya yang manis.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Musim buah menjadi saat-saat paling ditunggu komunitas pedalaman di Bukit Duabelas. Manis dan asam berpadu menciptakan kemewahan ragam rasa buah nan eksotik. Ngelimbun (32), Orang Rimba di wilayah Jelutih, Kabupaten Batanghari, Jambi, membibitkan buah-buahan rimba, Sabtu (22/5/2021).
Buah lainnya yang masih dalam satu famili dengan rambutan adalah dekot. Buahnya berbentuk bulat, lebih besar dari rambutan biasa. Rambutnya lebih lebat. Jika buahnya sudah masak, warnanya semakin merah, rasanya sangat asam. Pedaro atau mato kucing adalah sejenis kelengkeng, tapi buahnya lebih kecil.
Menikmati musim buah di dalam rimba merupakan pengalaman yang menarik. Ini kekayaan lain yang tersimpan di rimba Bukit Duabelas. Hanya saja, di tengah maraknya alih fungsi hutan untuk kepentingan tanaman industri dan perkebunan, Orang Rimba menuai tantangan. Banyak tanaman buah tergusur. Tabungan pangan dan nutrisi masyarakat itu pun kian menipis. Tersadar akan perlunya mewariskan kekayaan buah rimba bagi anak cucu, sejumlah warga pun mulai menyemai benih.
Ngelimbun bercerita, sejak lima tahun lalu dirinya mulai mengumpulkan benih dari biji buah-buahan yang dipanen di hutan Bukit Duabelas. Biji-bijian itu ditanam kembali dalam polibag dengan harapan tumbuh menjadi anakan. Dalam 6-12 bulan, semaian mulai menampakkan hasil. Bibit yang telah bertumbuh lalu dipindahkan ke lahan tanam.
Humas Yayasan Orang Rimbo Kito, Syahrial, menceritakan, upaya memperbanyak penanaman buah-buahan rimba melibatkan kelompok Temenggung Ngadap di wilayah Tanah Garo. Hasilnya, sudah lebih dari 3.000 bibit disebarluaskan di sekitar Kabupaten Tebo, seperti tampui, durian daun, dan tempunek, semuanya dengan cara sederhana menyemai biji.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Musim buah menjadi saat-saat paling ditunggu komunitas pedalaman di Bukit Duabelas. Manis dan asam berpadu menciptakan kemewahan ragam rasa buah nan eksotik. Salah seorang warga komunitas Orang Rimba di wilayah Terab, Kabupaten Batanghari, Jambi, menunjukkan tanaman hasil semaiannya, Sabtu (22/5/2021).
Ngelembo, pimpinan adat Orang Rimba di wilayah Terab, Kabupaten Batanghari, mengisahkan, komunitas itu mulai menyadari kondisi buah-buahan yang semakin banyak menghilang dari Bukit Duabelas seiring alih fungsi besar-besaran hutan menjadi tanaman industri dan perkebunan.
Demi menjaga keberlangsungan pangan anak-anak mereka, lahirlah semangat untuk memperbanyak tanaman. Masalahnya, kelompok itu belum memiliki keterampilan dalam hal budidaya. ”Kalau kami diberikan bimbingan atau pelatihan, pastilah kami bisa makin serius mengembangkan,” katanya.
Di penyangga Bukit Duabelas itu, kelompoknya menanami bibit tampui, salah satu yang sangat disukai komunitas itu. Buahnya mirip manggis, tetapi kulitnya berwarna jingga. Salah satu bibit tampui yang ditanam lima tahun lalu telah berhasil tumbuh. Kini setinggi 2,5 meter. Tanaman itu diperkirakan sudah akan berbuah dua tahun ke depan.