Wawancara khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani secara virtual bersama ”Kompas”. Ia menjelaskan soal rendahnya penyerapan anggaran kesehatan di daerah dan rencana pemerintah untuk mengatasinya.
Penyerapan anggaran kesehatan pada tingkat daerah masih rendah. Dari pagu anggaran kesehatan sebesar Rp 172,84 triliun untuk tahun 2021, penyerapannya hingga 18 Juni 2021 baru mencapai Rp 39,55 triliun atau 22,9 persen. Padahal, belanja sektor kesehatan yang optimal menjadi kunci dalam penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Adanya lonjakan kasus Covid-19 yang memaksa pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat selama 3-20 Juli 2021 makin mendorong perlunya percepatan belanja sektor kesehatan di daerah.
Dalam wawancara khusus dengan Kompas, Kamis (1/7/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan faktor-faktor penyebab rendahnya penyerapan anggaran kesehatan di daerah dan kebijakan yang akan diambil pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut.
Pemerintah pusat sudah melakukan transfer dana kepada pemerintah daerah (pemda). Namun, serapan anggaran kesehatan pemda masih rendah. Apa kendala yang menghambat hal ini?
Ini yang jadi perhatian kami semua. Kemenkeu, Kemendagri, dan Kemenkes setiap pekan melakukan rapat dengan gubernur dan bupati yang wilayahnya masuk zona merah. Kami sampaikan, anggarannya sudah ditransfer pusat kepada daerah. Kami sampaikan bahwa sebenarnya 8 persen dari DAU (dana alokasi khusus) dan DBH (dana bagi hasil) itu bisa dipakai untuk penanganan Covid-19. Namun, itu belum mereka lakukan.
Beberapa waktu lalu ada pilkada dengan jumlah kepala daerah baru lebih dari 100 orang. Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga memerlukan waktu. Kami punya semua datanya, daerah mana yang sudah ditransfer uang, tapi belum dibelanjakan. Kami rapatkan hal itu untuk memperbaiki mekanisme dan mempercepat penyaluran, terutama yang ada di zona merah. Untuk itu, apabila belum cepat juga, Juli ini kami akan lakukan intercept, langsung dari atas saja.
Seperti apa intercept itu?
Umpamanya begini. Saya bersama Pak Menkes ingin mempercepat vaksin di daerah, katakanlah di Jawa Barat dan Jawa Timur. Kan, kita tahu vaksin di sana berapa banyak, berapa jumlah personel TNI-Polri yang dibutuhkan. Sekarang TNI-Polri dan pemda hitung saja biaya per lokasi yang spesifik per kecamatan dan kabupaten, tagihannya langsung ke saya (Kemenkeu) saja. Tagihan ke saya, biar saya langsung potong dari dana transfer untuk daerah bersangkutan.
Ini sudah saya sampaikan. Kita tidak bisa saling menunggu. Vaksin ditargetkan bisa diberikan 2 juta dosis per hari. Ini artinya, semua pihak harus ikut turun. Jadi, sekarang kita menggunakan otoritas dari Kemenkeu bersama Kemendagri. Mereka setuju.
Ini kami lakukan karena kalau masih mengandalkan pembinaan atau bimbingan, akan memakan waktu lama. Dengan situasi mendesak seperti ini, kita harus menggunakan mekanisme yang lebih pasti. Juli ini kalau memang daerah masih lamban juga serapannya, kita terapkan. Keselamatan rakyat yang utama. Kecepatan perlindungan sosial ekonomi jadi yang utama. Jadi, kebijakan intercept ini yang kami siapkan.
Pemerintah akhirnya menerapkan PPKM darurat mulai 3 Juli hingga 20 Juli untuk menurunkan penambahan kasus Covid-19. Bagaimana pemerintah mencari keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan kepentingan sosial ekonomi saat memberlakukan pembatasan?
Jawaban itu sudah sering disampaikan Presiden dan pemerintah. Latar belakang kebijakan selalu soal kesehatan serta sosial ekonomi. Namun, pemerintah tidak pernah ragu mengambil tindakan pengetatan untuk menyelamatkan masyarakat karena kesehatan merupakan prioritas utama. Pasca-Lebaran tahun lalu, bed occupancy ratio (BOR) naik, kita lakukan pengetatan.
Saat awal tahun ini ada lonjakan kasus karena Natal-Tahun Baru, kita juga lakukan pengetatan. Saat BOR turun, baru mulai perlahan kita buka lagi. Kalau terjadi kenaikan, kita investigasi lagi penyebabnya. Sambil kita lakukan vaksinasi. Ini untuk mempersempit trade off antara kesehatan dan sosial ekonomi. Karena dengan vaksinasi, kesehatan terjaga, ekonomi bisa pulih.
Bagaimana soal anggaran untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional?
Soal anggaran, pemerintah sudah mengalokasikan anggaran untuk 3T (testing, tracing, treatment), juga vaksinasi dan dana kesehatan. Pemerintah juga terus memberikan insentif dan bantuan sosial. Pemerintah memberikan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10 juta warga masyarakat paling bawah, anggarannya Rp 28,7 triliun, saat ini sudah terserap 48,63 persen untuk 9,9 juta warga. Sisa 100.000 orang lagi ini sedang dicari dan menjadi tugas Kementerian Sosial. Silakan cari 10 juta orang, kami berikan bantuan, anggarannya ada untuk 10 juta orang.
Program kedua adalah Kartu Sembako yang ditujukan untuk 18,8 juta orang dengan anggaran Rp 45,12 triliun. Saat ini sudah terserap 39,1 persen. Ini datanya sedang diperbaiki dan diperbarui oleh Kemensos.
Lalu ada bantuan sosial tunai (BST) untuk 10 juta orang dengan seorang dapat Rp 300.000. Sampai hari ini sudah terpenuhi 10 juta orang. Selain itu juga ada bantuan langsung tunai (BLT) dana desa. Jadi, saat ini anggarannya ada. Kebutuhannya juga ada. Soal data terus kita benahi. Ini juga soal tata kelola karena kita diaudit oleh BPK dan diawasi KPK mengenai hal ini.
Jadi, saya tegaskan, ini bukan masalah uang. Bukan masalah anggaran. Tidak pernah di dalam pembahasan sidang kabinet kita mengatakan ragu-ragu untuk melakukan pembatasan hanya karena tidak punya uang. Tidak ada itu. Saya tegaskan bukan masalah uang. Anggarannya ada.