Ribuan hektar tanaman tembakau di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, rusak. Kondisi itu dipicu anomali cuaca yang sepekan terakhir melanda kawasan tersebut.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
PRAYA, KOMPAS — Anomali cuaca yang ditandai dengan hujan lebat melanda Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, sepekan terakhir. Akibatnya, ribuan hektar tanaman tembakau milik petani yang tersebar di delapan kecamatan di kabupaten tersebut rusak. Petani berharap ada bantuan dari pemerintah untuk meringankan kerugian yang mereka derita.
Kepala Dinas Pertanian Lombok Tengah Lalu Iskandar di Praya, Rabu (30/6/2021), mengatakan, data sementara, total tanaman tembakau yang terdampak atau rusak sekitar 2.000 hektar dari total sekitar 9.000 hektar lahan tembakau di Lombok Tengah. Semuanya tersebar di delapan kecamatan di Lombok Tengah.
”Terparah di Kecamatan Pujut, Praya Barat, dan Praya Timur. Berdasarkan perkiraan tim yang turun, kerusakan tidak mungkin bisa diselamatkan lagi,” kata Iskandar.
Pantauan Kompas di Kecamatan Praya Timur dan Kecamatan Pujut sejak Rabu pagi hingga siang, kerusakan tidak merata. Masih ada tanaman tembakau yang tidak terdampak atau rusak.
Lahan yang tanaman tembakaunya rusak terpantau sudah tidak lagi tergenang. Hanya terlihat tanaman tembakau yang layu, kering pada ujung daun, dan menyentuh tanah.
Kalau dicabut, tembakau yang masih di lahan ini banyak yang akarnya sudah mulai membusuk.
Tidak hanya tembakau berusia dua bulan lebih, tembakau yang baru tiga minggu ditanam juga ikut rusak. Ada yang masih dibiarkan di lahan, ada juga yang sudah dicabut. Terlihat tanaman itu diletakkan di atas pematang sawah.
”Kalau dicabut, tembakau yang masih di lahan ini banyak yang akarnya sudah mulai membusuk,” kata Hasan (40), petani tembakau di Desa Kidang, Praya Timur.
Menurut Hasan, sekitar 80 are tanaman tembakaunya rusak. Kondisi itu terjadi setelah hujan lebat pada minggu lalu. Dalam seminggu, sedikitnya ada empat kali hujan dan puncaknya pada Jumat (25/6/2021).
Terendam air
Selain terlalu banyak terkena air hujan, tembakau milik Hasan juga terendam air sehingga membuat akarnya membusuk. ”Sekarang saya mau tanam baru lagi. Memang hanya tembakau. Tidak ada yang bisa ditanam di lahan saya selain tembakau,” ujarnya.
Kondisi serupa juga dialami Rumpuk (44) dan Merta (52), petani di Desa Bangket Parak, Kecamatan Pujut. Menurut Rumpuk, sekitar 75 are lahan tembakaunya terdampak.
”Padahal, kurang sebulan kami potong pucuk. Lalu seminggu setelah itu panen dan masuk oven. Sekarang menunggu keajaiban ada yang bisa tumbuh. Kami coba pancing dengan pupuk,” kata Rumpuk.
Berbeda dengan Rumpuk yang memilih menunggu tanaman tembakaunya segar kembali, Sahabudin (44) yang menyewa lahan di Desa Teruwai, Kecamatan Pujut, membersihkan semua tembakaunya yang rusak.
”Saya mengolah sekitar 1 hektar 30 are. Semua rusak. Padahal baru berusia tiga minggu. Sekarang harus tanam ulang. Sudah pesan 7.000 bibit dan besok sampai,” kata Sahabudin.
Menurut Sahabudin yang mengaku rugi puluhan juta rupiah, dengan menanam lagi dari awal, ia harus kembali mengeluarkan biaya, termasuk untuk upah pekerja, air, dan pupuk.
Sahabudin yang berasal dari Desa Landah, Praya Timur, itu merinci, ia mengeluarkan sekitar Rp 9 juta untuk menyewa lahan tersebut. Lalu, untuk upah membuat lubang tanam, ia mengeluarkan Rp 1,5 juta. Selama proses itu, ia juga harus membeli air dengan total Rp 1,7 juta (harga air satu truk tangki Rp 200.000).
”Belum lagi untuk upah tanam, biaya membeli pupuk yang juga harganya sangat mahal, baik urea maupun pupuk lainnya. Termasuk upah orang yang pupuk,” ujarnya.
Baik Hasan, Rumpuk, maupun Sahabudin berharap ada perhatian pemerintah terhadap kejadian itu, misalnya bantuan untuk meringankan kerugian mereka, baik dalam bentuk bibit maupun uang.
”Sekarang juga serba sulit karena sedang pandemi. Sementara tanaman tembakau ini andalan kami satu-satunya,” ujar Rumpuk.
Penanganan
Prakirawan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Zainuddin Abdul Madjid, Lombok, I Gusti Agung Angga, mengatakan, anomali yang terjadi pada minggu lalu disebabkan tekanan rendah yang terbentuk di wilayah barat Indonesia.
”Akibatnya, ada pertemuan angin di wilayah NTB yang memicu hujan lebat. Tetapi, untuk hari ini, tekanan rendah sudah hilang dan cuaca NTB kembali normal sesuai dengan keadaan musim kemarau,” kata Gusti.
Iskandar menambahkan, dalam kondisi hujan lebat yang mengguyur, secara teknis kesiapan lahan untuk tembakau juga banyak yang kurang memenuhi syarat, misalnya tidak adanya saluran drainase. Akibatnya, air tidak langsung kering dan justru merendam lahan.
”Padahal, mau ada hujan atau tidak, drainase harus tetap ada. Saya berharap penyuluh lapangan bisa lebih intens soal itu untuk persiapan musim tanam tembakau berikutnya,” katanya.
Menurut dia, tembakau merupakan komoditas yang tidak diasuransikan. Meski demikian, pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten berkomitmen untuk membantu para petani.
Hanya, bantuan itu bukan dalam bentuk bibit tembakau, melainkan jagung. Iskandar menuturkan, jagung dipilih berdasarkan identifikasi kondisi lapangan serta merupakan komoditas yang prospektif dengan harga menjanjikan.
Ia menambahkan, bantuan dana bisa saja dialokasikan asalkan ada kebijakan terkait alokasi dana bagi hasil cukai dan hasil tembakau (DBHCHT) bagi petani ke depan.
”Ini harapan kepada pemerintah pusat, dari DBHCHT itu bisa dianggarkan untuk membantu petani yang menghadapi masalah atau kegagalan seperti sekarang. Karena kami sadar, DBHCHT itu juga kontribusi petani tembakau sehingga wajar ada peruntukan bagi mereka,” ujarnya.