Pemerintah mencabut izin penggunaan cantrang dan sejenisnya. Kepastian masa transisi diperlukan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akhirnya menerbitkan aturan tentang larangan penggunaan cantrang dan sejenisnya. Sebanyak 8.000 kapal cantrang wajib beralih ke alat tangkap yang lebih ramah lingkungan. Namun, masa transisi untuk penggantian cantrang masih belum dipastikan.
Ketentuan terkait larangan penggunaan alat tangkap cantrang, dogol, arad, dan sejenisnya diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan yang diundangkan 4 Juni 2021.
Berdasarkan Pasal 7 Ayat (3), alat penangkapan ikan yang dikategorikan mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan untuk kategori jaring tarik meliputi dogol, pair seine, cantrang, dan lampara dasar. Selain itu, ada enam jenis jaring hela, yaitu pukat hela dasar berpalang, pukat hela dasar udang, pukat hela kembar berpapan, pukat hela dasar dua kapal, pukat hela pertengahan dua kapal, dan pukat ikan. Di samping itu, perangkap ikan peloncat dan muro ami.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini Hanafi mengemukakan, penggunaan cantrang dan sejenisnya kini diganti dengan jaring tarik berkantong. Perubahannya terletak pada mata jaring yang semula berbentuk diamond menjadi berbentuk persegi (square mesh), dengan ukuran mata jaring minimal 2 inci. Selain itu, panjang tali selambar maksimum 900 meter. Adapun penggunaan pemberat dibolehkan, tetapi akan dibatasi agar tidak menyentuh dasar perairan.
”(Aturan) ini jalan tengah. Kalau menghilangkan (cantrang) dan melarang sama sekali, kan, susah. Namun, dampaknya dieliminir. Kerusakan terhadap lingkungan kita kurangi,” kata Zaini, saat dihubungi, Senin (28/6/2021).
(Aturan) ini jalan tengah. Kalau menghilangkan (cantrang) dan melarang sama sekali, kan, susah. Namun, dampaknya dieliminir.
Sementara operasional jaring tarik berkantong ditetapkan pada wilayah pengelolaan perikanan (WPP) WPP 711 Laut Natuna pada zona di atas 30 mil (sekitar 55 km) dan WPP 712 Laut Jawa. Pihaknya memastikan izin penggunaan jaring tarik berkantong hanya diperuntukkan bagi penggantian kapal-kapal cantrang yang sudah ada. Pemerintah berencana menggulirkan bantuan penggantian alat tangkap sejenis cantrang untuk kapal di bawah 5 gros ton mulai tahun 2022.
Saat ini, jumlah kapal cantrang berkisar 8.000 kapal. Dari jumlah itu, 864 kapal terdata berukuran di atas 30 gros ton dan selebihnya wajib diukur ulang karena sebagian terindikasi masih melakukan praktik manipulasi ukuran kapal menjadi lebih kecil (mark down).
”Penggunaan jaring tarik berkantong hanya untuk mengakomodasi penggantian cantrang. Tidak boleh lagi ada izin baru karena ke depan kami berharap penggunaan alat-alat tangkap seperti ini bisa terus berkurang,” ujar Zaini.
Ia menambahkan, penerapan larangan cantrang dan alat-alat tangkap yang merusak lingkungan kini menunggu terbitnya peraturan pemerintah terkait penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor kelautan dan perikanan. Penggantian cantrang diharapkan menambah PNBP sekitar Rp 100 miliar per tahun.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Muhammad Abdi Suhufan mengemukakan, aturan itu belum tegas mengatur peralihan cantrang dan sejenisnya ke alat tangkap yang lebih ramah lingkungan. Pelarangan cantrang seharusnya diikuti kejelasan target dan batas waktu penggantian cantrang.
Ia juga menyoroti diberikannya izin pemanfaatan jaring tarik berkantong di Laut Natuna yang dinilai tidak akan efektif. Selama ini, pemanfaatan cantrang pada perairan Laut Natuna di atas 30 mil terbukti tidak efektif karena menimbulkan konflik dengan kapal-kapal nelayan lokal.
Penentuan alat tangkap yang dianggap merusak lingkungan sejak dulu selalu menuai pro dan kontra masyarakat. Oleh karena itu, proses transisi cantrang diperlukan untuk memberikan kepastian usaha bagi pemilik cantrang.
”Proses transisi harus jelas batasnya. Sejak dulu, ketidakpastian masa transisi cantrang telah menuai polemik berkepanjangan,” kata Abdi.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kota Tegal Riswanto mengatakan, pihaknya belum mencoba menggunakan alat tangkap pengganti, seperti yang diatur dalam Permen KP No 18/2021. Pihaknya masih menunggu terbitnya ketentuan PNBP untuk alat pengganti cantrang.
Selama ini, nelayan cantrang dengan ukuran kapal di atas 30 GT mengandalkan surat keterangan melaut (SKM) untuk bisa beroperasi. Masa berlaku SKM akan habis pada Mei dan Juni 2021.