Target Pengurangan Emisi pada Pembangkit PLN Kurang Agresif
Indonesia berpotensi masih menggunakan pembangkit listrik berbasis batubara hingga di atas 2060. Emisi gas karbondioksida akibat dari pembangkit-pembangkit itu diperkirakan mencapai 107 juta ton per tahun.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mengurangi emisi karbon pada jenis pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU dinilai kurang agresif. Pasalnya, sasaran penghentian operasi PLTU hanya ditujukan pada PLTU yang sudah lama beroperasi. Pemanfaatan biomassa turut menjadi opsi bagi PLN untuk mengurangi emisi.
Sebelumnya, dalam rapat di Komisi VII DPR, PLN menunjukkan rencana penghentian operasional PLTU sepanjang 2021-2060. Pada 2025 atau tahap pertama, PLTU dan pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) akan diganti dengan dengan pembangkit dari energi terbarukan yang total kapasitasnya 1.100 megawatt (MW). Tahap selanjutnya, pada 2030 PLN akan menghentikan lagi operasional PLTU dengan kapasitas 1.000 MW.
”Pembangkit-pembangkit listrik (yang akan dihentikan operasionalnya di tahap pertama) ini akan berusia 40-60 tahun pada 2030 dan tergolong sangat tua. Seharusnya, operasional pembangkit-pembangkit ini dihentikan sekarang,” kata Energy Finance Analyst Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Elrika Hamdi dalam webinar bertajuk ”Shifting Investments for an Ambitious PLN Net Zero Emissions Goal”, Jumat (25/6/2021).
Selain itu, imbuh Elrika, sejumlah pembatalan pembangkit listrik bukan rencana baru. Pembatalan sebanyak 10 PLTU berbasis batubara yang tergolong kecil dengan kapasitas total 127 MW sudah dicanangkan pada dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028.
Pembatalan sebanyak 10 PLTU berbasis batu bara yang tergolong kecil dengan kapasitas total 127 MW sudah dicanangkan pada dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028.
Di sisi lain, dia juga menyoroti adanya potensi tambahan PLTU berbasis batubara dengan total kapasitas 16 GW yang beroperasi pada 2021-2030 sebagai bagian dari program pembangunan pembangkit listrik sebesar 35.000 MW. Dia menggarisbawahi sebanyak 4,1 GW dari 16 GW berasal dari pembangkit listrik yang masih berada di tahap pembiayaan (financing stage) hingga akhir 2020 berdasarkan laporan keuangan PLN.
Berdasarkan data yang dihimpun, Research and Program Manager Trend Asia Andri Prasetiyo mengatakan, skenario PLN yang bersifat optimistis dan moderat menunjukkan pembangkit listrik berbasis batubara tak lagi digunakan pada 2050, sedangkan skenario pesimistis menunjukkan pembangkit listrik berbasis batubara tidak dipakai lagi pada 2060. ”Dengan demikian, jika operasional pembangkit listrik tersebut berlangsung selama 35-40 tahun, Indonesia masih menggunakan pembangkit listrik berbasis batubara hingga di atas 2060,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Andri memperkirakan, emisi gas karbondioksida akibat dari pembangkit-pembangkit itu mencapai 107 juta ton per tahun. Dari segi finansial, PLN mesti membayar dua kali yang meliputi belanja modal dan kompensasi untuk penghentian dini pembangkit tersebut. Oleh sebab itu, dia menilai upaya PLN dalam mewujudkan emisi karbon nol bersih pada 2060 bersifat setengah-setengah. ”Seharusnya PLN membatalkan pembangunan PLTU yang berada di tahap rencana kontrak ataupun belum memulai pembangunan,” katanya.
Dari segi finansial, PLN mesti membayar dua kali yang meliputi belanja modal dan kompensasi untuk penghentian dini pembangkit tersebut.
PLN tengah menerapkan sistem co-firing pada sejumlah PLTU yang memadukan batubara dengan biomassa. Menurut Elrika, penggunaan biomassa menjadi jalan pintas yang ditempuh untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca pada Perjanjian Paris karena PLN tidak perlu membangun pembangkit baru.
Hingga Juni 2021, PLN telah menerapkan co-firing pada 17 PLTU dengan total kapasitas pembangkit seara dengan 189 MW. Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Agung Murdifi menyatakan, pencapaian tersebut selaras target bauran energi terbarukan 23 persen di 2025.
”Dari total 17 PLTU yang menerapkan co-firing, sebanyak 12 PLTU berlokasi di Jawa dan lima PLTU di luar Jawa. Dalam metode ini, PLN memanfaatkan limbah serbuk kayu atau limbah organik dari sampah yang dipadatkan,” katanya dalam siaran pers.
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Sahid Junaidi, pemanfaatan biomassa sebagai pengganti bahan bakar PLTU berbasis batubara menjadi salah satu strategi dalam mencapai target emisi karbon nol bersih. Meskipun demikian, keberlanjutan pasokan bahan baku biomassa masih menjadi tantangan demi menjaga harga listrik yang terjangkau.