Investor dengan horizon investasi panjang, sudah paham karakter perusahaan teknologi digital, serta yakin akan perkembangan bisnis digital mungkin cocok berinvestasi pada saham-saham bisnis teknologi dan digital.
Oleh
Joice Tauris Santi
·4 menit baca
Pada perdagangan hingga paruh tahun ini, banyak investor mencermati saham-saham yang terkait dengan bisnis teknologi atau digital. Pesatnya perkembangan ekonomi digital dan harapan bidang bisnis ini bakal makin penting membuat saham-saham teknologi dan digital menjadi tumpuan harapan investor.
Saham-saham bank digital juga emiten teknologi terus menanjak, mencapai posisi auto reject atas (ARA) berkali-kali. Di Bursa Efek Indonesia, saham-saham yang dalam satu hari perdagangan naik antara 20 dan 35 persen, tergantung dari harga saham, dihentikan sementara.
Hingga perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (18/6/2021), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tidak ke mana-mana, hanya bertumbuh 0,47 persen. Sebaliknya, saham-saham bank dengan aset Rp 1 triliun-Rp 5 triliun melejit hingga ribuan persen. Saham PT Bank Aladin Syariah Tbk, misalnya, sejak awal tahun sudah naik 2.793 persen menjadi Rp 2.980 per saham. Saham PT Bank MNC Internasional Tbk naik dari Rp 50 jadi Rp 322 per saham, bahkan sempat mencapai Rp 450 per saham. Demikian pula dengan perjalanan saham Bank Jago yang naik 227 persen menjadi Rp 14.000-an.
Kisah serupa terjadi pada saham teknologi. Saham PT DCI Indonesia Tbk sudah naik 11.000 persen dari Rp 420 pada Januari menjadi Rp 59.000 hingga akhir pekan lalu ketika terkena suspensi bursa.
Kenaikan harga juga menggelembungkan kapitalisasi pasar saham-saham tersebut. Di Bursa Efek Indonesia, emiten dimasukkan ke dalam kelompok big cap atau kapitalisasi raksasa jika memiliki kapitalisasi pasar sebesar Rp 100 triliun. Perhitungan kapitalisasi pasar didapatkan dari harga saham dikalikan dengan jumlah saham yang beredar. Jadi, ketika harga saham naik atau jumlah saham beredar naik, kapitalisasi pasar pun meningkat.
Berdasar data BEI, awal pekan ini, Senin (21/6), ada beberapa saham berkapitalisasi besar baru yang menyundul posisi saham lama pada 10 besar. Peringkat pertama masih dipegang Bank BCA dengan kapitalisasi pasar Rp 772 triliun. Berikutnya adalah posisi Bank BRI (Rp 477 triliun), Telkom Indonesia (Rp 332 triliun), Bank Mandiri (Rp 286 triliun), Astra International (Rp 214 triliun), Bank Jago (Rp 193 triliun), Unilever (Rp 187 triliun), Chandra Asri (Rp 169 triliun), Emtek (Rp 142) dan DCI Indonesia (Rp 141 triliun).
Bank Jago, Emtek, dan DCI Indonesia merupakan pendatang baru pada jajaran 10 besar ini. Ketiganya mirip, merupakan emiten dengan bidang bisnis teknologi dan digital. Adapun saham perusahaan rokok HM Sampoerna yang sudah menjalankan bisnisnya bertahun-tahun terdepak dari jajaran perusahaan berkapitalisasi 10 besar di bursa.
Biasanya, para investor pemula dan jangka panjang merasa lebih aman jika menempatkan dana pada perusahaan-perusahaan besar. Umumnya, gerakan saham perusahaan besar tidak terlalu berfluktuasi dibandingkan dengan pergerakan saham berkapitalisasi lebih kecil.
Namun, ukuran besarnya sebuah perusahaan bukan hal paling utama. Para pendatang baru di jajaran big cap ini masih harus dicermati dengan saksama. Pendatang baru ini juga memiliki bisnis baru yang masih perlu dikembangkan dengan berbagai faktor dan situasi baru. Berbeda dengan bisnis yang sudah dijalankan bertahun-tahun oleh emiten besar lainnya yang sudah lama menjadi anggota big cap.
Isu-isu pun masih sangat menggerakkan harga saham-saham digital dan teknologi sehingga risiko masih lebih besar dibandingkan dengan emitan lama di jajaran big cap. Isu akuisisi merupakan salah satu isu panas yang sering menggerakkan harga saham-saham perusahaan teknologi dan digital. Tidak semua isu akuisisi itu terbukti kebenarannya, tetapi harga saham sudah telanjur melambung.
Valuasi gaya lama, seperti menentukan rasio-rasio utang, rasio balik modal, rasio pembagian saham, belum tentu cocok diterapkan untuk menilai saham-saham teknologi dan digital. Aset Bank Jago per 31 Maret 2021, sebesar Rp 9,24 triliun, memiliki rasio harga terhadap nilai bukunya (PBV) sekitar 19 kali, sementara Bank Mandiri dengan aset Rp 1.441 triliun memiliki PBV 1,57 kali. Harga saham perusahaan terkait digital dan teknologi terlihat menjadi terlalu mahal, apalagi bagi investor yang menganut metode value investing.
Para investor pun harus mempelajari bagaimana melakukan valuasi terhadap saham-saham teknologi dan digital ini. Setiap perusahaan tampaknya memiliki ukuran berbeda.
Para investor pun harus mempelajari bagaimana melakukan valuasi terhadap saham-saham teknologi dan digital ini. Setiap perusahaan tampaknya memiliki ukuran berbeda, seperti berapa paket yang dapat dikirim per hari untuk perusahaan pengiriman digital atau berapa lama pelanggan bertahan dan lalu lintasnya untuk perusahaan konsumen digital, seperti lokapasar.
Investor dengan horizon investasi panjang, sudah mengetahui karakter perusahaan teknologi digital, serta yakin akan perkembangan bisnis digital mungkin cocok berinvestasi pada saham-saham seperti ini.
Sementara investor jangka pendek harus lebih tertib dengan rencana perdagangannya, termasuk ketika menentukan titik stop loss agar tidak terlalu merugi, mengingat fluktuasi saham teknologi digital yang terkadang naik turun tidak menentu.