BPK Ingatkan Risiko Utang dan Beban Bunga Utang Pemerintah
Badan Pemeriksa Keuangan menilai posisi utang dan beban bunga utang pemerintah cukup berisiko. Pemerintah diharapkan dapat mengerem laju utang dan beban bunga, sembari meningkatkan penerimaan negara.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pemeriksa Keuangan menilai posisi utang dan beban bunga utang pemerintah cukup berisiko. Pemerintah diharapkan dapat mengerem laju utang dan beban bunga, sembari meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi perpajakan.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna, Kamis (24/6/2021), mengatakan, laju pertumbuhan utang dan beban bunga utang pemerintah telah melampaui pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan penerimaan negara. ”Ini memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah dalam membayar utang dan bunga utang,” ujarnya.
Sejumlah indikator menunjukkan tingginya risiko utang dan beban bunga utang pemerintah. Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 19,06 persen. Angka tersebut melampaui rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebesar 7-10 persen dan standar International Debt Relief (IDR) sebesar 4,6-6,8 persen.
Adapun rasio utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 369 persen, jauh di atas rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen dan standar IDR sebesar 92-167 persen.
Selain itu, rasio pembayaran utang pokok dan bunga utang luar negeri (debt service) terhadap penerimaan transaksi berjalan pemerintah pada tahun 2020 mencapai 46,77 persen. Angka tersebut juga melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.
Namun, nilai tersebut masih dalam rentang standar IDR sebesar 28-63 persen.
”BPK merekomendasikan agar pemerintah mengendalikan pembayaran cicilan pokok dan bunga melalui pengendalian utang yang hati-hati, sembari berupaya meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi perpajakan,” kata Agung. Rekomendasi BPK tersebut tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2020.
Menanggapi rekomendasi BPK, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan pemerintah berkomitmen untuk menjaga pengelolaan utang dan pembiayaan APBN selalu dalam kondisi aman.
Terkait rasio debt service terhadap penerimaan transaksi berjalan, Yustinus menyebutkan, hingga tahun 2019 pemerintah selalu menjaga rasio tersebut di rentang bawah rekomendasi IMF. Sayangnya saat pandemi terjadi pada 2020, rasio ini meningkat menjadi 39,39 persen.
Kenaikan juga terjadi di sejumlah negara, seperti Filipina (48,9 persen), Thailand (50,4 persen), China (61,7 persen), Korea Selatan (48,4 persen), dan Amerika Serikat (131,2 persen).
Menurut Yustinus, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menekan beban bunga utang, antara lain pembagian beban (burden sharing) dengan Bank Indonesia, konversi pinjaman luar negeri dengan suku bunga mendekati nol persen, hingga penurunan imbal hasil SBN menjadi 5,85 persen.
Dengan berbagai strategi dan respons kebijakan tersebut, ia mengatakan stabilitas fiskal dan ekonomi relatif baik. Terbukti lembaga pemeringkat kredit internasional mengapresiasi dan mempertahankan peringkat Indonesia. Padahal, 124 negara mengalami penurunan, bahkan ada yang meminta pengampunan utang.
”Pemerintah sependapat untuk terus waspada dan mengajak semua pihak bekerja sama dalam mendukung pengelolaan pembiayaan negara agar hati-hati, kredibel, terukur. Reformasi pajak untuk optimalisasi pendapatan negara juga terus dilakukan agar kemampuan membayar terjaga,” ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah per akhir Mei 2021 mencapai Rp 6.418,5 triliun atau 40,49 persen dari produk domestik bruto (PDB). Utang tersebut meningkat 22 persen dibandingkan dengan Mei 2020 yang senilai Rp 5.258,57 triliun.
Utang pemerintah berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN) Rp 5.580,02 triliun dan pinjaman Rp 838,13 triliun.
Utang dalam bentuk SBN meliputi SBN domestik Rp 4.353,56 triliun dan SBN valuta asing Rp 1.126,45 triliun. Sementara pinjaman berasal dari dalam negeri Rp 12,32 triliun dan luar negeri Rp 828,51 triliun. Pinjaman dalam negeri terdiri dari bilateral Rp 316,83 triliun, multilateral Rp 465,52 triliun, dan bank komersial Rp 43,46 triliun.