Pandemi Covid-19 memicu kenaikan transaksi nontunai melalui dompet elektronik. Hanya saja, perubahan kebiasaan bertransaksi seperti itu tetap dominan berlangsung di perkotaan di Jawa.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama pandemi Covid-19, transaksi nontunai menggunakan dompet elektronik semakin menjadi kebiasaan warga. Hanya saja perilaku tersebut baru terjadi di kota-kota besar atau belum merata di Indonesia.
Co-Founder dan CEO Dana, Vince Iswara, Rabu (23/6/2021), di Jakarta, menggambarkan, saat ini rata-rata transaksi nontunai menggunakan Dana (dompet elektronik) mencapai 5 juta per hari. Enam bulan sebelumnya, rata-rata transaksi nontunai memakai Dana harian sebanyak 3 juta.
Dia menduga, kenaikan transfer menggunakan sistem Dana dipicu oleh imbauan kebijakan pemerintah agar warga mematuhi pembatasan sosial sehingga mereka dominan beraktivitas di rumah. Sepanjang paruh pertama tahun 2021, jumlah mitra pedagang daring di Dana tercatat sebanyak 3.000 unit usaha. Semester sebelumnya, jumlahnya mencapai 2.000 unit usaha.
Sementara jumlah mitra pedagang khusus berlatar belakang UMKM selama semester I-2021 sebanyak 250.000 atau naik 50.000 dibandingkan semester sebelumnya. Mayoritas dari 250.000 mitra ini merupakan pelaku usaha skala mikro.
Transaksi pengguna Dana melalui sistem Standar Kode Respons Cepat atau QRIS naik 131 persen. Jika ditelaah, transaksi nontunai tersebut mencakup pembelian pulsa seluler prabayar (naik 174 persen), pembayaran belanja daring (91 persen), dan aneka tagihan (93 persen).
Hanya saja, Vince mengakui bahwa capaian positif tersebut masih dominan datang dari pengguna dan mitra pedagang Dana yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya, serta kota tier pertama di Jawa. Hal itu menunjukkan Dana harus semakin gencar sosialisasi transaksi nontunai ke daerah-daerah.
”Dengan adanya QRIS, kami tidak memandang pemain dompet digital lain sebagai kompetitor, tetapi mitra untuk bersama-sama meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Potensi pertumbuhan transaksi nontunai di kota tier kedua atau ketiga selama pandemi Covid-19 amat besar, tetapi butuh sosialisasi,” katanya.
Dengan adanya QRIS, kami tidak memandang pemain dompet digital lain sebagai kompetitor, tetapi mitra untuk bersama-sama meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia.
QRIS telah diimplementasikan sejak 1 Januari 2020. Standardisasi pembayaran digital atau secara elektronik berbasis kode baca cepat ini menyatukan kode baca cepat beragam layanan penggunaan uang elektronik, antara lain OVO, Gopay, Link Aja, Dana, dan mobile banking.
Pada awal 2021, Bank Indonesia (BI) menyebut akan mendorong perluasan penggunaan QRIS dengan menargetkan ada 12 juta pengguna berlatar belakang pedagang (merchant). Gunanya adalah mendukung program pemulihan ekonomi nasional, serta gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia dan Bangga Berwisata Indonesia.
Pada 2020, sesuai data BI, tercatat enam juta merchant di 480 kabupaten/kota di 34 provinsi menggunakan QRIS yang infrastrukturnya dari 52 penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) berizin. BI menyebut pencapaian itu tidak terlepas dari sinergi pemerintah pusat dan daerah, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia, PJSP, dan masyarakat.
Peneliti pada Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, saat dihubungi berpendapat, hingga sekarang, masih relatif terjadi ketimpangan penggunaan teknologi, termasuk dompet digital, di Indonesia. Ketimpangan seperti itu terlihat di Jabodetabek dan daerah luar Pulau Jawa.
Masyarakat di Jabodetabek lebih adaptif dengan teknologi ditunjang dengan infrastruktur telekomunikasi yang sudah memadai. Sementara masyarakat di luar Jawa masih kurang adaptif walaupun pemerintah sebenarnya sudah mendorong operator telekomunikasi membangun jaringan akses telekomunikasi sampai ke desa terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T).
Menurut dia, agar layanan dompet digital semakin masif digunakan, penyedia layanan semestinya melakukan dua hal. Langkah pertama adalah membangun ekosistem produk yang bisa dibayar menggunakan dompet digital dan uang elektronik. Kedua, memperbanyak pelaku UMKM melek teknologi digital.
Agar layanan dompet digital semakin masif digunakan, penyedia layanan semestinya melakukan dua hal. Langkah pertama adalah membangun ekosistem produk yang bisa dibayar menggunakan dompet digital dan uang elektronik. Kedua, memperbanyak pelaku UMKM melek teknologi digital.
”Semakin variatif dan kompleks ekosistem produk yang bisa dibayar melalui sistem pembayaran elektronik, bakal semakin banyak penggunanya. Semakin banyak UMKM terlibat dan akhirnya melek teknologi,” ujarnya.
Mengenai QRIS, Nailul menilai manfaatnya besar untuk mempermudah layanan transfer antardompet elektronik. Merchant cukup mempunyai satu fasilitas kode respon cepat untuk semua dompet elektronik. Bagi konsumen, mereka menjadi tidak harus memiliki banyak dompet elektronik. Pada akhirnya, situasi tersebut akan meningkatkan masyarakat nontunai.
Namun, untuk menuju kesuksesan QRIS dan masyarakat nontunai, masalah ketimpangan penggunaan teknologi harus diatasi terlebih dulu. Kemudian, proses mengintegrasikan QRIS ke berbagai layanan perdagangan, baik daring maupun luring, serta jasa lainnya yang bisa difasilitasi dengan pembayaran elektronik.
Direktur Utama Link Aja Haryati Lawidjaja mengatakan, Link Aja berusaha melengkapi ekosistem produk yang bisa dibayar nontunai menggunakan dompet digital Link Aja. Salah satunya adalah bekerja sama dengan produk asuransi dari PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia Tbk (Tugu Insurance).
Hingga saat ini, dia menyebutkan, Link Aja telah mempunyai lebih dari 70 juta pengguna terdaftar. Mereka bertransaksi nontunai di lebih dari satu juta mitra merchant Link Aja di seluruh Indonesia, 230 moda transportasi, 700 pasar tradisional, 47.000 pengelola donasi, dan 7.000 lokapasar.
”Mengenai produk Link Aja syariah, kami mencatat sudah ada sekitar tiga juta pengguna. Untuk menggaet penetrasi pengguna baru ataupun transaksi nontunai, kami berencana memperluas kemitraan dengan pemerintah daerah,” kata Haryati.