Usaha kelautan dan perikanan kerap dipandang berisiko tinggi. BLU LPMUKP menyatakan kredit usaha nelayan tergolong tidak bermasalah.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan atau BLU LPMUKP menyalurkan pinjaman modal sekitar Rp 200 miliar selama Januari-Juni 2021 atau sekitar 33 persen dari target penyaluran tahun ini sebesar Rp 600 miliar. Lewat pendampingan, kredit untuk nelayan dinilai tidak berisiko tinggi.
Direktur LPMUKP Syarif Syahrial mengemukakan, skema pembiayaan terhadap usaha kelautan dan perikanan itu fokus memberikan fasilitasi kepada pelaku usaha mikro dan kecil yang belum mendapatkan akses kredit usaha rakyat (KUR) atau kredit komersial lainnya dari perbankan. Pinjaman itu memiliki tarif 3 persen per tahun.
Saat ini, sebanyak 85 persen usaha kelautan dan perikanan merupakan level mikro dan kecil. Usaha sektor kelautan dan perikanan kerap dianggap berisiko tinggi oleh perbankan sehingga sulit mengakses kredit. Oleh karena itu, debitor BLU-LPMUKP dibina oleh pendamping untuk pengelolaan keuangan sehingga bisa mandiri dan meningkatkan kinerja dengan mengakses permodalan dari KUR dan kredit komersial lain.
Pihaknya mencatat tingkat pinjaman bermasalah (NPL) bruto nelayan sebesar 3,01 persen atau di bawah batas maksimal 5 persen. Adapun kredit nelayan yang tidak bermasalah mencapai 97 persen. Dengan pendampingan yang intensif, usaha nelayan bisa dipercaya dan tidak identik dengan risiko tinggi.
Saat ini, sebanyak 85 persen usaha kelautan dan perikanan merupakan level mikro dan kecil. Usaha sektor kelautan dan perikanan kerap dianggap berisiko tinggi oleh perbankan sehingga sulit mengakses kredit.
”Anggapan perbankan bahwa usaha sektor kelautan dan perikanan berisiko tinggi adalah stereotip. Sebagian besar pinjaman nelayan kenyataannya tidak bermasalah. Dunia perbankan harus semakin melirik (pinjaman) sektor kelautan dan perikanan,” kata Syahrial pada acara Bincang Bahari, di Jakarta (22/6/2021).
Program BLU LPMUKP yang digulirkan sejak November 2017 hingga kini telah menyalurkan kredit senilai total Rp 842 miliar. Sampai akhir tahun 2021, total alokasi pinjaman ditargetkan Rp 1,2 triliun.
Pihaknya memiliki 236 titik lokasi layanan pendampingan di 358 kota dan kabupaten di Indonesia. Dengan pembatasan mobilitas karena dampak pandemi Covid-19, LPMUKP mengoptimalkan peran tenaga pendamping sehingga proses pengajuan proposal, analisis, persetujuan, dan pencairan pinjaman dapat dilakukan dari daerah secara langsung.
Kepala Divisi Operasional dan Kemitraan Usaha BLU-LMPUKP Hermawan Jatmiko menyebutkan bahwa pendampingan dari LPMUKP merupakan nilai plus yang diberikan kepada para pelaku usaha kelautan dan perikanan. Adapun usaha yang dibiayai LPMUKP adalah usaha penangkapan ikan, usaha pembudidayaan ikan, usaha garam rakyat, usaha pengolahan dan pemasar hasil perikanan, dan usaha masyarakat pesisir lainnya.
Adapun usaha yang dibiayai LPMUKP adalah usaha penangkapan ikan, usaha pembudidayaan ikan, usaha garam rakyat, usaha pengolahan dan pemasar hasil perikanan, dan usaha masyarakat pesisir lainnya.
Usup Supriatna, Pengurus Koperasi Mina Agar Makmur Karawang, mengemukakan, usahanya berkembang melalui pendampingan LPMUKP. Dari pemasok rumput laut, usahanya berkembang menjadi usaha pakan mandiri dengan memanfaatkan sisa limbah rumput laut.
Padat modal
Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Dani Setiawan mengemukakan, penangkapan ikan merupakan usaha yang padat modal. Kebutuhannya mencakup modal produksi, seperti pembelian kapal dan alat tangkap, serta modal operasional, seperti biaya melaut dan perbekalan. Disamping itu, ada pula modal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saat nelayan mengalami paceklik. Pada waktu-waktu tertentu, nelayan juga harus menyisihkan dana untuk memperbaiki kapal dan mesin atau alat tangkap yang rusak.
Akan tetapi, pilihan pembiayaan untuk nelayan sangat terbatas. Pola kredit perbankan konvensional yang menerapkan suku bunga yang tetap dan keteraturan angsuran kurang cocok dengan pola pendapatan nelayan yang cenderung tidak pasti dan tidak tetap. Perbankan juga masih ragu dari aspek risiko. Karakteristik produk usaha kelautan dan perikanan bersifat mudah rusak dan siklus usaha bergantung pada faktor alam serta risiko kredit dan permasalahan legalitas, seperti pemenuhan agunan.
Pola kredit perbankan konvensional yang menerapkan suku bunga yang tetap dan keteraturan angsuran kurang cocok dengan pola pendapatan nelayan yang cenderung tidak pasti dan tidak tetap.
Peluang pembiayaan terbuka pada skema pembiayaan mikro dan kecil nonperbankan yang dianggap lebih mudah diakses nelayan. Salah satunya melalui BLU LPMUKP. Akan tetapi, skema pembiayaan itu juga masih sulit dijangkau nelayan. Nelayan banyak mengeluhkan model analisis kelayakan kredit lembaga ini mirip prosedur standar perbankan konvensional sehingga tetap menyulitkan nelayan kecil untuk mengakses pembiayaan.
”Keberhasilan pembiayaan bagi nelayan kecil sangat ditentukan oleh kemampuan lembaga keuangan melakukan inovasi strategi pembiayaan yang lebih adaptif dan fleksibel, serta kemampuan untuk merespons perubahan dan beradaptasi sesuai dengan kebutuhan di lapangan,” katanya.