Minyak Jelantah untuk Biodiesel Butuh Dukungan Daerah
Salah satu tantangan dalam mengembangkan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel ialah belum adanya mekanisme pengumpulan dari rumah tangga, restoran, dan hotel yang efektif.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minyak jelantah dapat menjadi bahan baku biodiesel dengan adanya sistem pengumpulan yang menghubungkan produsen dan pengolah biodiesel secara terstruktur. Sistem tersebut mesti dibentuk sejak di tingkat daerah.
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud, minyak jelantah di Indonesia idealnya dimanfaatkan untuk bahan baku biodiesel, bukan untuk makanan-minuman karena mengandung senyawa yang bersifat karsinogenik.
”Ada tiga metode pengumpulan minyak jelantah, yakni sedekah, jual-beli, dan bank sampah. Harga minyak jelantah di Jakarta, Bogor, Makassar, dan Denpasar berkisar Rp 2.500-Rp 4.700 per liter,” katanya pada seminar dalam jaringan berjudul ”Kupas Tuntas Regulasi Minyak Jelantah dari Aspek Tata Niaga dan Kesehatan” yang diadakan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) dan Majalah Sawit Indonesia, Rabu (23/6/2021).
Berdasarkan data yang dihimpun dari GIMNI, minyak jelantah yang dihasilkan di Indonesia rata-rata 3 juta kiloliter. Sebanyak 570.000 kiloliter di antaranya digunakan sebagai biodiesel.
Salah satu tantangan dalam mengembangkan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel ialah belum adanya mekanisme pengumpulan dari rumah tangga, restoran, dan hotel yang efektif.
Musdhalifah menilai, salah satu tantangan dalam mengembangkan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel ialah belum adanya mekanisme pengumpulan dari rumah tangga, restoran, dan hotel yang efektif. Oleh sebab itu, pemerintah daerah perlu membentuk regulasi yang mengatur pengumpulan minyak jelantah ke produsen biodiesel yang ditunjuk beserta insentifnya. Pemerintah daerah juga dapat merumuskan stimulus bagi badan usaha milik daerah untuk menggunakan biodiesel berbahan baku minyak jelantah tersebut.
Hingga saat ini, imbuh dia, ada sejumlah perusahaan swasta yang mengumpulkan minyak jelantah untuk keperluannya masing-masing. Misalnya, PT Bhanda Ghara Reksa (Persero) yang bekerja sama dengan Pemerintah DKI Jakarta dan memiliki sejumlah titik pengumpulan minyak jelantah yang kemudian diolah menjadi bahan bakar untuk shuttlebus di Bandar Udara Soekarno-Hatta.
Dia optimistis penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Contohnya, penggunaan biodiesel untuk kendaraan di Belanda telah mengurangi 91,7 persen emisi karbon diokisidanya dibandingkan dengan penggunaan solar. Belanda turut mengimpor minyak jelantah dari Indonesia sebagai bahan baku.
Pemerintah daerah juga dapat merumuskan stimulus bagi badan usaha milik daerah untuk menggunakan biodiesel berbahan baku minyak jelantah tersebut.
Badan Pusat Statistik mendata, total ekspor minyak jelantah Indonesia yang berada dalam kelompok kode HS 15180060 sepanjang 2019 mencapai 71.838 ton. Jumlah tersebut meningkat menjadi 76.974 ton pada 2020.
Data GIMNI juga menunjukkan, sekitar 15-20 persen dari minyak jelantah di Indonesia didaur ulang. Oleh sebab itu, Ketua Umum GIMNI Bernard Riedo menilai, perlu ada regulasi yang mengatur peredarannya sehingga keamanan pangan terjamin. Penggunaan minyak jelantah mesti dipastikan untuk konsumsi non-pangan.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengumpul Minyak Jelantah untuk Energi Baru Terbarukan Indonesia (Apjeti) Matias Tumanggor menyebutkan, minyak jelantah daur ulang sudah tidak relevan pada saat ini karena selisih harganya kian menyempit dibandingkan dengan minyak goreng curah, yakni sekitar Rp 2.000 per liter. ”Selain itu, pengolahan minyak jelantah sebaiknya untuk kepentingan dalam negeri terlebih dahulu. Kalaupun mau diekspor, bentuknya berupa biodiesel,” katanya dalam kesempatan yang sama.