Masih Banyak Nelayan Indonesia yang Terjerat Pelanggaran
Pelanggaran yang menjerat nelayan terus berlangsung setiap tahun. Selain itu, mereka juga menjadi korban kekerasan akibat lemahnya tata kelola.
Oleh
brigita maria lukita
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nasib nelayan Indonesia kerap tersandung masalah, mulai dari pelanggaran lintas batas negara hingga terlantar di luar negeri. Perbaikan tata kelola serta pembinaan dan perlindungan nelayan diperlukan untuk menekan pelanggaran. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP, sebanyak 140 nelayan Indonesia ditangkap di sejumlah negara dalam tiga tahun terakhir.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan menilai, pemerintah mesti mengenali karakteristik sosial nelayan sebab motivasi mereka berbeda-beda dalam menangkap ikan dan berakhir dengan pelanggaran hukum sehingga ditangkap aparat negara lain.
“Upaya pencegahan perlu dilakukan melalui penyuluhan hukum, pemberian bantuan sarana produksi perikanan, serta edukasi resiko melakukan pelanggaran batas wilayah,” kata Abdi, saat dihubungi, Rabu (23/6/2021).
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Antam Novambar, mengemukakan, banyaknya nelayan Indonesia ditangkap di luar negeri disebabkan mereka belum memahami dan mengetahui dengan jelas batas wilayah laut dengan negara lain. Sebagian kapal nelayan tidak dilengkapi alat navigasi dan komunikasi yang memadai, serta tidak memiliki peta laut.
“Ini perlu diberikan pemahaman, baik dari sisi aturan, maupun pemahaman teknis terkait dengan batas wilayah, agar mereka tidak melanggar,” jelas Antam, dalam siaran pers.
Banyaknya nelayan Indonesia ditangkap di luar negeri disebabkan mereka belum memahami dan mengetahui dengan jelas batas wilayah laut dengan negara lain.
Direktur Penanganan Pelanggaran KKP, Teuku Elvitrasyah, mengungkapkan, pelanggaran melintas batas yang dilakukan oleh nelayan Indonesia masih cukup tinggi. Pihaknya saat ini terus melakukan pendekatan kepada nelayan guna menekan laju pelanggaran lintas batas. Pendekatan tersebut, di antaranya deklarasi nelayan di Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, untuk tidak melintas batas wilayah perairan negara.
“Masih ada nelayan kita yang menjalani proses hukum di Malaysia, India, Thailand dan Papua Nugini, sekitar 68 orang,” ungkap Teuku.
Terlantar
Sementara itu, awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing juga kerap ditelantarkan. DFW Indonesia melalui Fishers Center Bitung mencatat bahwa sejak 2019 hingga kini telah menerima 56 pengaduan awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di dalam dan luar negeri.
Abdi menilai, penelantaran awak kapal perikanan Indonesia di kapal ikan berbendera asing menunjukkan buruknya tata kelola perekrutan awak kapal perikanan migran Indonesia. “Mereka adalah korban dari buruknya tata kelola awak kapal perikanan migran Indonesia, serta ulah agen perekrut yang tidak bertanggung jawab,” katanya.
Pekan ini, pihaknya menerima pengaduan tiga awak kapal Indonesia yang sudah enam bulan terlantar di Somalia. Mereka sebelumnya bekerja di kapal ikan berbendera China, Luqing Yuan Yu 211, dengan masa kontrak Desember 2019 sampai Desember 2020.
Setelah berakhirnya masa kontrak, pihak agen perekrut di Indonesia dan perusahaan perikanan tempat mereka bekerja di China tidak memberikan kepastian tentang status kontrak yang sudah berakhir. Perusahaan perekrut awak kapal tersebut, yakni PT RCA, bahkan tidak lagi beroperasi. Disamping itu, awak kapal menerima perlakuan yang tidak manusiawi dari kapten kapal China tersebut.
Sejak 2019 hingga kini telah menerima 56 pengaduan awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di dalam dan luar negeri.
Sementara itu, penyelundupan benih lobster terus berlangsung, meski pemerintah telah menerbitkan regulasi larangan ekspor benih bening lobster. Sebanyak 63.950 ekor benur lobster disita aparat di wilayah Tanjung Jabung Timur, Jambi, pada 20 Juni 2021. Namun, pelaku berhasil melarikan diri.
Kepala Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Jambi, Piyan Gustaffiana, mengungkapkan, benur yang disita terdiri dari 62.400 ekor jenis pasir dan 577 ekor jenis mutiara, serta jurong jenis pasir atau benur yang mulai menghitam sebanyak 973 ekor.
Pengungkapkan ini berawal dari kecuriaan aparat saat melihat sebuah mobil berwarna merah marun. Ketika disorot senter terlihat sejumlah kotak hitam di dalam mobil. Namun, saat didatangi petugas, mobil bernomor tersebut langsung tancap gas menghindari kejaran petugas. Setibanya di Jembatan Kilometer 35, Kecamatan Geragai, dua orang pengendara mobil keluar dan melarikan diri ke semak-semak.
“Kita selalu ingatkan, penyelundupan benur adalah pidana dan bisa dikenai hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar,” kata Piyan dalam penjelasan tertulis.