Tak Cuma Tata Kelola, Pupuk Subsidi Butuh Evaluasi Menyeluruh
Perlu ada tinjauan ulang yang komprehensif mengenai signifikansi pupuk bersubsidi terhadap kebijakan pangan dan pembangunan pertanian nasional, bukan hanya menyoal tata kelola.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengubah kriteria luas lahan penerima pupuk bersubsidi dari yang semula maksimal 2 hektar menjadi maksimal 1 hektar dalam rangka perbaikan tata kelola. Perubahan itu dinilai membutuhkan evaluasi yang lebih substansial dan esensial mengenai tujuan pupuk bersubsidi dibandingkan dengan sekadar tata kelola.
Pertimbangan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021 menyatakan, pupuk bersubsidi berperan penting untuk meningkatkan produktivitas komoditas pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional.
”Perlu ada tinjauan ulang yang komprehensif mengenai signifikansi pupuk bersubsidi terhadap kebijakan pangan dan pembangunan pertanian nasional, tak hanya menyoal tata kelola. Jika tujuannya menambah produktivitas, sejumlah riset justru menyebutkan menambah pupuk tak lagi meningkatkan produksi,” ujar Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi saat dihubungi, Senin (21/6/2021).
Hal itu merupakan dampak dari penggunaan pupuk nonorganik yang membuat tanah jenuh. Selain itu, ia menyebutkan, apabila produktivitas menjadi tujuan pupuk bersubsidi, luas lahan tidak bisa diseragamkan untuk tiap komoditas. Dia menggambarkan, petani padi yang menggarap lahan seluas 1 hektar tergolong skala usaha besar, sedangkan petani kelapa sawit yang menggarap lahan 1 hektar tergolong kecil. Artinya, syarat luas lahan tersebut berbeda-beda untuk tiap-tiap komoditas.
Pasal 3 Permentan No 49/2020 menyebutkan, salah satu syarat bagi petani yang menerima pupuk bersubsidi ialah melakukan usaha tani dengan lahan paling luas 2 hektar setiap musim tanam. Usaha tani tersebut berada di subsektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, dan/atau peternakan.
Mengacu pada regulasi tersebut, jumlah petani yang menerima pupuk bersubsidi pada 2021 mencapai 17,05 juta orang yang tersebar di 6.229 kecamatan se-Indonesia. Total kebutuhan pupuk sekitar 24,6 juta ton. Alokasi subsidi pupuk mencapai 9,04 juta ton atau sekitar 37 persen dari kebutuhan. Anggaran untuk pupuk bersubsidi tersebut Rp 25,27 triliun.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Ali Jamil mengatakan, syarat lahan tersebut dapat ditetapkan menjadi paling luas 1 hektar. Penetapan itu berada dalam kerangka alternatif perbaikan tata kelola pupuk bersubsidi.
Apabila lahan usaha tani paling luas 1 hektar, terdapat sekitar 12,7 juta petani yang menjadi penerima pupuk bersubdisi. Jumlah kebutuhan pupuk dalam setahun menjadi 11,92 juta ton. Dengan anggaran Rp 32,46 triliun, tingkat alokasi pemenuhan kebutuhan diperkirakan 76 persen.
Pilihan lain ialah syarat lahan paling luas 1 hektar diberlakukan untuk petani di Pulau Jawa, sedangkan maksimal 2 hektar untuk petani di luar Pulau Jawa. Dengan skema tersebut, jumlah petani yang menerima pupuk bersubsidi mencapai 15,31 juta orang dengan kebutuhan pupuk dalam setahun sebanyak 19,6 juta ton. Tingkat alokasi pemenuhan kebutuhan diperkirakan senilai 46 persen dengan anggaran Rp 52,69 triliun.
Selain itu, Ali mengatakan, alternatif lainnya dapat berupa menentukan komoditas prioritas yang mendapatkan subsidi di tiap subsektor. Saat ini, terdapat 90 komoditas yang memperoleh pupuk bersubsidi berdasarkan data yang dihimpun di sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK).
Hingga 9 Juni 2021, realisasi penyaluran pupuk bersubsidi mencapai 3,27 juta ton. Realisasi tersebut setara dengan 36,22 persen dari alokasi per tahun.
Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero) Bakir Pasaman memaparkan, stok pupuk yang dikelola korporasi sepanjang 2021 diperkirakan mencapai 15,3 juta ton yang berasal dari pasokan awal tahun sebesar 1,9 juta ton dan produksi 13,4 juta ton. Saat ini, stok yang ada di penyalur lini sebanyak 911.454 ton atau 304 persen dari ketentuan pemerintah.
Selain itu, dia menambahkan, posisi piutang subsidi pemerintah saat ini mencapai Rp 8,49 triliun. Nilai itu terdiri dari sisa piutang pada 2019 yang teraudit senilai Rp 3,78 triliun, piutang 2020 yang teraudit sebesar Rp 2,36 triliun, serta piutang tahun berjalan Rp 2,35 triliun.