Pengembangan Pusat Manufaktur Mikroelektronika Sebagai Alternatif Solusi
Meski mengimpor mayoritas barang jadi komputer dan elektronika, Indonesia perlu mempunyai solusi jangka menengah panjang untuk atasi dampak kekurangan pasokan cip. Membangun pusat manufaktur mikroelektronika, misalnya
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Fenomena kekurangan pasokan cip global berdampak kepada produksi barang komputer dan elektronika. Situasi ini diperkirakan bisa berlangsung sampai dua tahun mendatang. Sebagai negara yang memiliki kecenderungan lebih besar mengimpor barang jadi, fenomena itu berpotensi menyebabkan kenaikan harga jual, sekaligus kelangkaan produk di tingkat konsumen akhir.
Terkait hal itu, Indonesia diharapkan tetap punya strategi mengundang investasi rantai nilai industri barang komputer dan elektronika masuk ke dalam negeri. Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB) Irman Idris menyampaikan hal tersebut saat dihubungi, Senin (21/6/2021), di Jakarta. Ia merespons positif gagasan pemerintah tentang perlunya pusat manufaktur atau engineering center di bidang semikonduktor (mikroelektronika) yang diungkapkan awal Juni lalu. Menurutnya, hal itu menjadi opsi solusi jangka menengah.
"Tujuan dari engineering center di bidang semikonduktor (mikroelektronika) adalah mengatasi terjadi kelangkaan komponen, menciptakan lapangan kerja, dan ketahanan nasional," ujar Irman.
Tujuan dari engineering center di bidang semikonduktor (mikroelektronika) adalah mengatasi terjadi kelangkaan komponen, menciptakan lapangan kerja, dan ketahanan nasional.
Engineering center di bidang semikonduktor (mikroelektronika) bisa jadi sarana mencari solusi dan berkoordinasi dengan pelaku industri semikonduktor lainnya. Jika pusat itu tidak ada, lalu terjadi tantangan kekurangan pasokan, pelaku industri barang komputer dan elektronik di dalam negeri masing-masing harus mencari solusi sendiri.
Irman memandang, pengembangan engineering center bisa dilakukan dengan bergabung ke ekosistem industri semikonduktor dan masuk ke rantai pasok cip yang sudah berkembang. Hal ini bisa diawali dengan bekerja sama model pemerintah ke pemerintah.
"Alternatif terbaik membangun kerjasama yang potensial adalah dengan Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura," tutur dia.
Irman berpendapat, pembangunan engineering center di bidang semikonduktor (mikroelektronika) pun pernah menjadi langkah awal negara produsen cip. Singapura yang juga masuk dalam rantai pasok cip global juga mulanya membangun itu.
Dalam rantai pasok cip global, Amerika Serikat memegang setengah dari total porsi global dari sisi teknologi cip. Namun, produksi cip di Amerika Serikat sendiri hanya mencapai sepersepuluh. Sekitar 85 persen produksi cip dominan dilakukan oleh negara di kawasan Asia Timur.
Fenomena kekurangan pasokan cip yang belakangan terjadi diduga disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya karena perang dagang.
"Kekurangan pasokan cip kini dirasakan oleh perusahaan barang komputer dan elektronik luar negeri di negara asalnya. Untuk pabrik perakitannya milik asing di Indonesia, seperti pabrik mereka di Jabodetabek dan Batam, terkena dampak fenomena itu. Jam kerja buruh dikurangi akibat komponen tidak tersedia," kata Irman.
Ketua Umum Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia Ali Oetoro menceritakan, khusus industri barang ponsel pintar di Indonesia sekarang sudah ada gangguan sebagai dampak fenomena kekurangan pasokan cip global. Namun, dia masih optimis situasinya belum membahayakan.
Konsultan riset pemasaran GfK menyebutkan, selama Januari-Juli 2020, nilai pasar ponsel pintar di Asia Pasifik anjlok 30 miliar dollar AS menjadi 119 miliar dollar AS. Secara keseluruhan, konsumen di kawasan ini membeli 329 juta ponsel cerdas atau 97 juta unit lebih sedikit dibanding 2019. Untuk Indonesia, GfK menyebutkan nilai pasar ponsel pintar dalam periode itu minus empat persen dibanding periode yang sama tahun 2019.
Associate General Manager Business Development PT Hartono Istana Teknologi (Polytron) Joegianto saat dihubungi terpisah, membenarkan bahwa dampak kekurangan pasokan cip global ke industri barang komputer dan elektronik Indonesia sudah terasa sejak awal 2021 dan diperkirakan sampai dua tahun mendatang. Dampak itu menyebabkan manufaktur elektronik di Indonesia harus menaikkan harga.
Sebagai contoh barang alat elektronik yang membantu siaran televisi digital atau set top box (STB). Polytron saat ini mematok harga STB per unit sudah di atas Rp 200.000. Sementara di pasaran, seperti lokapasar, harga STB per unit telah mencapai sekitar Rp 600.000.
Adapun untuk barang komputer, seperti ponsel pintar, Joegianto mengatakan bahwa proses produksinya di Indonesia umumnya tidak mulai dari awal atau tinggal perakitan. Papan yang digunakan untuk menghubungkan komponen-komponen elektronika dengan lapisan jalur konduktornya didatangkan dari luar negeri. Oleh karena itu, menurutnya, kekurangan pasokan cip global tidak berdampak langsung ke Indonesia.
Apabila Indonesia mau membawa pelaku industri semikonduktor masuk, pemerintah perlu memetakan importasi komponen lainnya yang mendukung signifikan, penawaran keuntungan investasi, dan fasilitasi ekspor bukan cuma untuk dalam negeri. Ini tidak mudah sebab rantai pasok cip di luar negeri sudah kuat dan besar.
"Konsumsi cip di Indonesia itu rendah. Apabila Indonesia mau membawa pelaku industri semikonduktor masuk, pemerintah perlu memetakan importasi komponen lainnya yang mendukung signifikan, penawaran keuntungan investasi, dan fasilitasi ekspor bukan cuma untuk dalam negeri. Ini tidak mudah sebab rantai pasok cip di luar negeri sudah kuat dan besar," ujar dia.
Selain itu, menurut Joegianto, solusi membawa masuk mitra pelaku industri semikonduktor ke Indonesia berarti pemerintah sudah siap dengan sumber daya manusia yang terampil. Dia berpendapat, pengalaman perusahaan semikonduktor Marvell Technology Group di Indonesia bisa jadi pelajaran. Marvell Technology Group sempat membuka design center di Indonesia, tetapi tidak sukses memperoleh ahli teknik Indonesia yang berkualitas.
Mengutip Laporan Kinerja Pembangunan Industri 2020 dari Kementerian Perindustrian, pada triwulan I-2020, industri pengolahan nonmigas tumbuh melambat sebesar 2,01 persen, lalu mengalami kontraksi pada triwulan berikutnya sebesar -5,74 persen. Pada triwulan III-2020, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas naik, walaupun masih terjadi kontraksi, yaitu sebesar -4,02 persen.
Pada triwulan III-2020, sesuai dengan laporan itu, hampir semua subsektor industri pengolahan nonmigas menghadapi kontraksi. Industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik secara khusus, tumbuh -6,96 persen.
Dalam Laporan Kinerja Pembangunan Industri 2020, Kementerian Perindustrian menyebut selama Januari-November 2020, ekspor sektor industri tercatat sebesar 118,24 miliar dollar AS. Subsektor Industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik berkontribusi 11,50 persen terhadap total ekspor.
Adapun dari sisi impor, pada periode yang sama, nilainya mencapai 105,11 miliar dollar AS. Subsektor Industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik berkontribusi terbesar terhadap impor, yakni 25,02 persen.