Mewujudkan rasio elektrifikasi 100 persen di Indonesia bukan pekerjaan yang mudah dengan kondisi geografis berupa kepulauan. Pemanfaatan sumber energi terbarukan lokal menjadi peluang untuk melistriki wilayah terpencil.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Rasio elektrifikasi di daerah terpencil di Nusantara masih menjadi pekerjaan rumah hingga kini. Sampai triwulan I-2021, rasio elektrifikasi nasional mencapai 99,28 persen dan rasio elektrifikasi di perdesaan 99,59 persen. Pemberdayaan yang berkelanjutan adalah hal yang paling dibutuhkan untuk melistriki wilayah-wilayah terpencil itu.
Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau menjadi tantangan tersendiri dalam urusan penyediaan energi. Ongkos logistik menjadi mahal. Lantaran terbagi menjadi ribuan pulau, belum semua wilayah di Nusantara terhubung dengan jaringan listrik PLN. Penyediaan listrik secara swadaya umumnya berupa mesin genset berbahan bakar minyak.
Kendati kondisi geografis menyulitkan konektivitas jaringan listrik yang terpadu, Nusantara menyimpan potensi besar di sektor ketenagalistrikan, yakni sumber energi terbarukan. Hampir seluruh pulau di Nusantara memiliki potensi hidro, surya, bayu, biomassa, dan sebagian energi panas bumi. Seluruh potensi tersebut bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik.
Data pemerintah menunjukkan, potensi tenaga surya mencapai 207.800 megawatt (MW) atau yang terbesar dari seluruh potensi energi terbarukan yang ada. Berikutnya adalah potensi hidro yang mencapai 75.000 MW, tenaga bayu 60.600 MW, tenaga panas bumi 23.900 MW, serta belum lagi potensi gelombang dan arus laut. Namun, dari potensi sebanyak itu, pemanfaatannya kurang dari 11.000 MW. Kapasitas tersebut bagian dari kapasitas terpasang listrik nasional yang mencapai 72.000 MW.
Kendati kondisi geografis menyulitkan konektivitas jaringan listrik yang terpadu, Nusantara menyimpan potensi besar di sektor ketenagalistrikan, yakni sumber energi terbarukan.
Untuk menjawab masalah rasio elektrifikasi dan mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meluncurkan program Patriot Energi pada pekan lalu. Program ini mendayagunakan 100 pemuda/pemudi yang bakal ditugaskan di desa-desa terdepan, terluar, dan tertinggal, termasuk di kawasan transmigrasi, untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan setempat. Mereka disebar di berbagai lokasi di Nusantara untuk jangka waktu lima bulan sampai satu tahun.
Tujuan dari program ini adalah mendorong ketersediaan akses listrik di wilayah yang belum berlistrik lewat pemanfaatan energi terbarukan, mendukung kegiatan untuk mengurangi emisi gas buang melalu pemanfaatan energi terbarukan, serta mendorong keterlibatan generasi muda setempat dalam survei potensi energi terbarukan, pengembangan, pembangunan, dan pengelolaan pembangkit energi terbarukan.
Tujuan program Patriot Energi ini memang mulia, yaitu untuk menaikkan rasio elektrifikasi di wilayah-wilayah yang sampai hari ini belum berlistrik kendati Indonesia sudah merdeka 76 tahun lamanya. Namun, tak mudah untuk menjaga nyala listrik di wilayah-wilayah terpencil dengan memanfaatkan sumber daya yang ada, baik itu sumber daya manusia maupun sumber daya energi terbarukan setempat.
Dalam beberapa kasus di lapangan, keberlanjutan pemanfaatan energi terbarukan di daerah-daerah bergantung pada beberapa hal, seperti ketersediaan modal, kecukupan sumber daya manusia (pengelola/pemberdaya), dan keandalan sumber energi terbarukan itu sendiri. Pengoperasian mesin pembangkit energi terbarukan membutuhkan dana untuk operasi dan perawatan, operator yang harus diupah, serta dukungan warga. Tanpa ketiga hal itu, usia pembangkit energi terbarukan hanya soal waktu saja untuk mati dan berhenti beroperasi.
Tak mudah untuk menjaga nyala listrik di wilayah-wilayah terpencil dengan memanfaatkan sumber daya yang ada, baik itu sumber daya manusia maupun sumber daya energi terbarukan setempat.
Di Dusun Tanarara, Desa Maubokul, Kecamatan Pandawai, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, potensi tenaga bayunya melimpah. Di dusun itu berdiri 48 kincir angin dengan kapasitas total 500 watt peak (Wp) yang dibangun sejak 2014 buah kerja sama PT Pertamina (Persero) serta Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan. Sayangnya, satu per satu kincir berikut alat tambahan, seperti baterai, inverter (alat pengubah arus), dan controller (alat pengatur pengisian daya pada baterai), rusak tak terawat.
Rusaknya komponen-komponen penting itu lantaran tiada dana untuk perbaikan atau penggantian suku cadang baru. Iuran bulanan dari warga sebesar Rp 20.000 per bulan yang awalnya lancar secara perlahan tersendat dan kemudian terhenti total. Praktis, putaran kincir angin di Tanarara lambat laun hanya akan menyisakan bunyi bilah kincir diterpa angin tanpa menghasilkan cahaya listrik di rumah-rumah warga.
Jadi, pemberdayaan dan pendampingan saja belum cukup. Harus ada kepastian keberlanjutan dukungan warga, termasuk pembayaran iuran, agar pembangkit listrik energi terbarukan di wilayah-wilayah tersebut bisa tetap berlanjut memasok listrik bagi warga. Di situlah dibutuhkan kehadiran negara lewat perpanjangan tangan badan usaha.