Pemerintah Diminta Siapkan Peta Jalan Budidaya Lobster
Terbitnya aturan pelarangan ekspor benih bening lobster dan tata cara budidaya lobster di dalam negeri perlu segera diikuti peta jalan tentang budidaya lobster.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terbitnya aturan pelarangan ekspor benih bening lobster dan tatacara budidaya lobster di dalam negeri perlu segera diikuti peta jalan tentang budidaya lobster. Hingga kini, arah pengembangan budidaya lobster dinilai masih belum jelas.
Larangan ekspor benih lobster termaktub dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia, tanggal 24 Mei 2021. Aturan yang merupakan revisi terhadap Permen KP No 12/2020 itu juga mengatur pengembangan budidaya lobster.
Sejak 2020, pemerintah telah menggulirkan rencana pengembangan budidaya lobster. Tahun ini lobster bahkan menjadi salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya, di samping udang dan rumput laut. Namun, hingga pertengahan tahun 2021, masih belum terlihat peta jalan dan strategi pengembangan budidaya lobster di Tanah Air.
Ketua Umum Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia (Hipilindo) Effendy Wong mengemukakan, aturan untuk menghentikan ekspor benih lobster merupakan fondasi awal untuk keberhasilan budidaya lobster di Indonesia. Meski demikian, kebijakan itu perlu segera diikuti strategi budidaya dan peta jalan budidaya lobster. Sampai saat ini, belum ada kejelasan peta jalan terkait budidaya lobster, pengaturan tata ruang, pemberian pakan, hingga pencegahan penyakit.
Ia menambahkan, sebagian besar usaha budidaya lobster kini dalam tahap awal sehingga butuh pembinaan teknis dan penataan sesuai tata ruang. Sementara muncul tren serangan penyakit susu (milky disease) pada lobster yang perlu segera diantisipasi dengan penerapan cara budidaya yang baik dan penataan. Tanpa keseriusan upaya pengembangan budidaya lobster, dikhawatirkan akan banyak kegagalan.
”Pembudidaya lobster masih tahap pemula sehingga butuh pendampingan teknis. Jangan sampai terjadi kegagalan-kegagalan budidaya sampai serangan penyakit sehingga mematahkan semangat untuk mengembangkan budidaya lobster,” kata Effendy, saat dihubungi, Sabtu (19/6/2021)
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Tubagus Haeru Rahayu mengemukakan, pihaknya sedang menyiapkan peta jalan dan target budidaya lobster. ”Kami sedang siapkan bersama eselon 1 terkait untuk nanti disampaikan resmi oleh juru bicara KKP,” katanya.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menyoroti izin penangkapan benih lobster untuk keperluan budidaya yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan belum berdasar pada data ketersediaan benih lobster yang ada di perairan Indonesia.
”Belum ada data resmi dan akurat mengenai jumlah ketersediaan benih lobster yang ada di perairan Indonesia. Jangan sampai kita kembali mengeksploitasi benih lobster untuk kepentingan budidaya. Ini akan mengulang kembali kesalahan yang terjadi pada masa Menteri KP sebelumnya,” ujar Susan.
Ia mendesak pemerintah segera membentuk Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) yang terdiri dari para ahli di bidang perikanan, nelayan, atau pelaku perikanan dan unsur organisasi masyarakat sipil untuk menghitung potensi benih lobster di seluruh perairan Indonesia. Peran Komnas Kajiskan merupakan mandat Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan.
Menurut Susan, Permen KP No 17/2021 juga terkesan lebih menguntungkan para pelaku skala besar. Permen itu juga lebih berorientasi pada pelaku usaha individual dan bukan koperasi sebagai wujud penguatan lembaga sosial ekonomi nelayan tangkap dan nelayan pembudidaya lobster.
Dalam Pasal 1 Ayat 5, kategori pembudidaya ikan mikro, yakni memiliki modal usaha paling banyak Rp 1 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Adapun pembudidaya ikan kecil didefinisikan memiliki modal usaha lebih dari Rp 1 miliar sampai Rp 5 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Kedua definisi pembudidaya ikan tersebut akan menyingkirkan para pembudidaya ikan yang kepemilikan hartanya di bawah Rp 1 miliar.