Haveltea Merayakan Cinta
Racikan ala Haveltea adalah buah upaya Widyoseno dan dua rekannya, Anggi Indra Pamungkas dan Ifana Azizah, dalam mengangkat beraneka macam teh Tanah Air. Tak hanya pasar dalam negeri, panggung mancanegara pun dijajaki.
Aroma daun teh sekaligus kakao menyeruak begitu tutup wadah tabung Haveltea dibuka. Bukan sekadar indera penciuman yang disapa. Imajinasi pun digoda untuk merekam sekaligus jejak kesegaran teh yang berpadu sensasi kehangatan cokelat.
Varian Cacaotea dari jenama Haveltea ini adalah sebentuk komposisi apik dari daun teh asal perkebunan di Jawa Barat dan cokelat dari Sulawesi Selatan. Namun, Cacaotea tentu bukan satu-satunya citarasa unik yang ditawarkan Haveltea.
Baca juga: Teh Dalam Negeri Mengais Narasi
Jenama yang lahir pada Maret 2017 itu kini sudah mampu menyuguhkan 41 varian teh. Pendiri Haveltea Indonesia, Widyoseno Estitoyo, pada wawancara khusus, Jumat (21/5/2021), menjelaskan, ia dan tim Haveltea saat ini pun masih terus meracik beragam teh, bunga, rempah, dan buah untuk menambah variasi cita rasa Haveltea. Semua bahan yang digunakan pun merupakan petikan kekayaan Tanah Air.
Dikatakan Widyoseno, tak jarang usulan paduan rasa juga datang dari pelanggan. Aneka teh tersebut diracik di rumah produksi Haveltea di Surabaya, Jawa Timur.
Varian lain dari teh Nusantara ala Haveltea itu antara lain Ubud Garden yang terbuat dari teh hijau, sereh, dan daun mint. Ada juga varian Pandanussa dari teh hijau yang dipanggang dan pandan serta asana bleu yang terdiri dari bunga telang, sereh, dan jahe.
Baca juga: Teh Nusantara Bersiap Merebut Pasar Dunia
Haveltea merupakan buah upaya Widyoseno dan dua rekannya dalam mengangkat kekayaan teh Tanah Air. Menurut dia, Indonesia memiliki beragam daun teh, bunga, rempah, dan sari buah yang dapat dipadupadankan dalam secangkir suguhan nikmat. Kualitas teh dan bahan-bahan lain ini pun bisa bersaing di panggung dunia.
Haveltea sejatinya justru bermula dari bisnis kedai kopi yang dijalankan Widyoseno di Surabaya. Pada periode 2012-2017 itu, bisnis kedai kopi tengah menjamur. Namun, ia mengamati, pelanggannya tak hanya datang untuk minum kopi. Ada juga di antara mereka yang datang mencari teh.
Demi memberikan ragam sajian teh kepada pelanggannya, Widyoseno pun berusaha mencari berbagai macam teh asli Indonesia. Dia teringat pada pengalaman studi di Belanda. Di sana, dia menemui kafe yang mampu menjual sepuluh macam varian teh.
Saat itu, dia berkomitmen untuk menyuguhkan teh dari daun yang memiliki karakteristik rasa kuat, tak sekadar teh berperisa. Dari timur, dia berkelana hingga Bandung dan Bogor, Jawa Barat. Tak hanya menemukan daun teh, dia juga menemukan buah-buahan dan bunga-bunga yang dapat memperkaya karakter rasa pada racikan teh.
Penemuan itu membuatnya memutuskan untuk menekuni dunia teh. Bahkan, Widyoseno pun mengambil program sertifikasi meracik teh. Ketika mengikuti perhelatan Badan Ekonomi Kreatif RI di bidang makanan dan minuman pada 2017, seorang mentor memberinya gagasan untuk membangun bisnis teh kemasan. Pada kesempatan yang sama, Widyoseno bertemu dengan Ifana Azizah dan Anggi Indra Pamungkas. Pada Maret 2017, mereka bertiga membidani lahirnya Haveltea.
Baca juga: Kala Teh Tanah Air Bermekaran
Suguhan cerita
Agar masyarakat dapat berkenalan dengan ragam teh Haveltea, trio pendiri ini kerap mengadakan acara ”Storytealling” alias penuturan cerita tentang teh dan tea pairing. Sebelum pandemi, acara-acara itu digelar dengan tatap muka. Begitu datang pandemi Covid-19, pertemuan pun berlanjut ke ruang virtual.
Tahun lalu, misalnya, di tengah pandemi, Haveltea menggelar tea pairing bersama Rosalie Cheese secara daring. Dalam ”duet” keju dan teh itu, dua wadah teh dikirim ke rumah setiap peserta. Ketika itu, pilihannya adalah varian White Angkasa yang merupakan teh putih premium jenis silver needle dari Jawa Barat dan Philosopher dari teh hijau sinensis.
Pada saat itu, Widyoseno mengajak peserta meminum teh sembari menikmati rasa yang menyapa. Pertama-tama, dia menghirup aroma teh lalu menyeruputnya dan menahan di rongga mulut, tidak langsung ditelan. Setelah rasa sepat menyapa lidah, lalu teh dialirkan ke kerongkongan perlahan sambil menghela napas. Cita rasanya pun merasuk utuh.
Melanglang buana
Di dalam negeri, aneka pelantar e-dagang menjual Haveltea. Secara fisik, Haveltea turut hadir di ritel yang mempunyai ruang bagi produk artisan, seperti MBloc Market di Jakarta.
Saat ini, Haveltea mampu memproduksi 200.000 kantong teh berbahan serat jagung per tahun. Ini berkembang pesat dari kapasitas produksi 20.000 kantong teh tiga tahun lalu. Kantong teh itu terbagi ke dalam sejumlah kaleng. Mulanya hanya 3.000 kaleng terjual. Akhir 2020, sudah 25.000 kaleng teh melanglang buana.
Kanal penjualan Haveltea tak hanya menyasar konsumen langsung. Ketika pandemi Covid-19 menghantam perekonomian Tanah Air tahun lalu, Widyoseno menceritakan, Haveltea sempat didera kesulitan lantaran anjloknya permintaan dari hotel, restoran, dan katering (horeka). Kini, Haveltea bangkit dan bisa menggandeng kembali sekitar 100 horeka.
Tak cuma pasar Tanah Air, Haveltea juga telah mengekspor tehnya ke Singapura dan Malaysia sejak 2018 dalam bentuk bulk. Widyoseno menyebutkan, awal tahun ini Haveltea merambah ke Hong Kong dan Filipina.
Kepakan sayap yang melebar itu berdampak pada peningkatan jumlah tenaga kerja. Sepanjang 2017-2019, Haveltea mempekerjakan lima orang. Kini, tim artisan teh ini terdiri atas 15 orang. Widyoseno menambahkan, dia juga tengah berinvestasi dengan membeli mesin produksi yang kapasitasnya delapan kali lipat dibandingkan sebelumnya.
Jaga lingkungan
Bagi Widyoseno, mengangkat teh yang tumbuh dari tanah Ibu Pertiwi selaras dengan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan.
”Jejak karbon yang dihasilkan teh impor lebih tinggi dibandingkan teh lokal. Selain itu, kami ingin Haveltea tak hanya fokus pada profit, tetapi juga komitmen menjaga kelestarian lingkungan,” tuturnya.
Komitmen itu terwujud dengan mengganti kantong teh yang semula berbahan nilon menjadi serat jagung agar dapat terurai. Haveltea juga mengganti kaleng yang semula berbahan nonorganik menjadi kertas komposit yang bisa terurai.
Komitmen itu terwujud dengan mengganti kantong teh yang semula berbahan nilon menjadi serat jagung agar dapat terurai. Haveltea juga mengganti kaleng yang semula berbahan nonorganik menjadi kertas komposit yang bisa terurai.
Untuk menjaga kaleng teh tetap pada bentuknya dan tidak penyok, Haveltea mengemasnya di dalam kardus dengan potongan-potongan kertas yang dipadatkan. Potongan kertas ini menggantikan fungsi plastik pembungkus gelembung (bubble wrap).
Jenama ini berusaha menhadirkan lebih dari sekadar minuman. ”Kami meracik teh dengan cinta. Lewat daun teh terbaik yang berasal dari tiga pucuk teratas, kami ingin menyuguhkan perasaan. Let’s celebrate love with a cup of tea,” kata Widyoseno.
Aneka cita rasa dari teh Nusantara yang dihadirkan Haveltea seolah ingin mawakili beragam perasaan penikmatnya. Dengan begitu, secangkir teh pun mampu berinteraksi dengan emosi penikmatnya.
Haveltea pun menjadi upaya merayakan cinta pada teh Indonesia.