BI juga mempertahankan posisi suku bunga simpanan rupiah di BI (deposit facility) sebesar 2,75 persen dan suku bunga pinjaman rupiah dari BI (lending facility) 4,25 persen.
”Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga, serta upaya untuk memperkuat pemulihan ekonomi,” ujar Perry dalam konferensi pers virtual pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur bulan Juni, Kamis (17/6/2021).
Sampai dengan Mei 2021, inflasi pada level 0,32 persen secara bulanan, meningkat dibandingkan April yang sebesar 0,13 persen. Adapun dari sisi nilai tukar mata uang rupiah, pada 16 Juni meningkat 0,49 persen secara rerata dan tumbuh 0,30 persen secara point to point dibandingkan level Mei 2021.
Dihubungi terpisah, ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, menjelaskan, keputusan menjaga level suku bunga acuan merupakan upaya BI menyeimbangkan dan menjaga dua hal sekaligus. Pertama, mendorong pemulihan ekonomi lewat kebijakan suku bunga yang rendah. Kedua, menjaga agar tidak terjadi aliran arus modal keluar dari Indonesia.
”Menaikkan suku bunga bukan opsi yang baik karena ekonomi kita bukan dalam kondisi overheating. Menurunkan bunga juga kurang tepat sebab nanti imbal hasil bisa turun sehingga bisa terjadi capital outflow yang bisa mengganggu stabilitas nilai tukar,” ujar Riefky.
Ia mengatakan, hingga beberapa bulan ke depan sebaiknya BI tetap mempertahankan level suku bunga acuan ini. Ini agar terjadi keseimbangan pemulihan ekonomi, stabilitas keuangan, dan menjaga tidak terjadi capital outflow. Kendati demikian, kebijakan suku bunga tetap harus memperhatikan kondisi pemulihan ekonomi dalam negeri dan global, khususnya Amerika Serikat.
Kekhawatiran aliran dana yang keluar dari Indonesia (capital outflow) karena pemulihan ekonomi AS bisa cukup teredam. Sebab, bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), berpandangan masih terlalu dini untuk mengurangi stimulus moneter (tapering). Dampaknya dana asing masih bertahan di Indonesia dan bahkan mendorong penguatan nilai tukar rupiah.
Meski demikian, Riefky mewanti-wanti potensi guncangan capital outflow dari berubahnya kebijakan moneter AS. Pemulihan ekonomi yang cepat yang ditandai inflasi melebihi ekspektasi di AS, bisa saja memicu The Fed menaikkan suku bunga.
”Ini adalah faktor eksternal yang tidak bisa dikontrol. Kita hanya bisa antisipasi,” ujar Riefky.
Baca juga: Efek Rambatan Ekonomi AS Bayangi Kinerja APBN 2022
Pemulihan ekonomi
Salah satu upaya agar menjaga agar arus modal tidak keluar secara besar-besaran adalah dengan mempercepat pemulihan ekonomi. Kekhawatiran capital outflow ini tidak sendirian dialami Indonesia, tetapi juga Malaysia, Thailand, dan sejumlah negara berkembang lainnya. Riefky menjelaskan, dana asing akan lebih dulu meninggalkan negara yang pemulihannya paling lambat dan buruk.
”Kalau pemulihan ekonomi Indonesia makin cepat dan baik, dana itu bisa bertahan,” ujar Riefky.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan, rezim bunga murah masih diperlukan dalam merangsang pemulihan ekonomi. Oleh karena itu, menaikkan suku bunga bukan opsi yang tepat. Namun, menurunkan suku bunga juga tidak tepat sebab bisa saja mengerek inflasi dan mempercepat capital outflow.
”Apalagi baru-baru ini jumlah kasus Covid-19 Indonesia melonjak. Kita harus mengantisipasi kemungkinan ada pembatasan sosial lagi yang bisa memberikan kontraksi ekonomi. Maka, bunga murah bisa diperlukan untuk mendorong pemulihan,” ujar Faisal.