Persoalan ketenagakerjaan di lingkup BUMN patut diperhatikan pemerintah selaku pemegang saham utama. Terlebih, di tengah tantangan pandemi Covid-19 yang memukul berat sejumlah perseroan.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dampak pandemi Covid-19 membuat beberapa badan usaha milik negara kesulitan memenuhi hak-hak pekerjanya. Pekerja Perum DAMRI dan pekerja alih daya di PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) melaporkan sejumlah hak mereka tidak dipenuhi perseroan, seperti penunggakan gaji berbulan-bulan dan tunjangan hari raya yang berkurang.
Menurut Ketua Umum Serikat Pekerja Dirgantara, Digital, dan Transportasi Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPDT-FSPMI) Iswan Abdullah, beberapa pekerja Perum DAMRI tidak menerima gaji selama lima sampai delapan bulan terakhir. Mayoritas adalah para sopir bus, selain itu para pekerja di depo atau bengkel perawatan bus DAMRI.
”Paling banyak itu sopir. Manajemen beralasan sedang pandemi Covid-19. Tetapi, ini, kan BUMN. Seharusnya tidak berorientasi pada profit, tetapi ada pertanggungjawaban publiknya,” ucap Iswan dalam konferensi pers daring, Rabu (16/6/2021). Dalam kasus pekerja DAMRI, SPDT-FSPMI mendampingi perwakilan serikat pekerja di DAMRI melakukan advokasi.
Selain upah yang belakangan ditunggak, Iswan mengatakan, pekerja DAMRI juga masih dibayar di bawah upah minimum. ”Ini terjadi hampir di seluruh Indonesia. Nominalnya berbeda-beda di tiap daerah, tetapi yang pasti, secara umum pekerja DAMRI masih dibayar di bawah upah minimum,” ujarnya.
Tak hanya persoalan upah, menurut Iswan, pembayaran tunjangan hari raya (THR) Lebaran 2021 juga bermasalah. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/IV/2021, pembayaran THR seharusnya dibayarkan paling lambat satu hari sebelum Lebaran yang tahun ini jatuh pada 13 Mei 2021.
Besaran THR juga harus diberikan sesuai masa kerja. Bagi yang sudah bekerja minimal satu tahun, THR-nya sebesar satu bulan upah. Bagi yang bekerja di bawah 12 bulan, THR diberikan secara proporsional sesuai masa kerja.
Namun, menurut Iswan, THR yang diterima pekerja DAMRI tahun ini jauh di bawah ketentuan upah satu bulan tersebut. ”Di Jawa, khususnya Bandung, sebagai pusat beroperasinya DAMRI, THR hanya dibayarkan Rp 700.000, jauh di bawah upah satu bulan,” kata Iswan.
Terpaksa karena rugi
Menanggapi hal ini, Sekretaris Perusahaan Perum DAMRI Sidik Pramono mengatakan, kondisi keuangan perusahaan sedang dalam kondisi buruk sejak pandemi Covid-19 membuat aktivitas transportasi massal menurun. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, perusahaan mencatat kerugian.
Oleh karena itu, direksi memang terpaksa melakukan beberapa upaya penghematan, termasuk menunda pembayaran sebagian upah karyawan dan direksi. ”Karena sifatnya adalah penundaan, hal itu akan dicatat sebagai utang perusahaan. Jika pada saatnya nanti kondisi membaik, kewajiban perusahaan tentu akan dipenuhi,” kata Sidik dalam pernyataan resmi.
Terkait pembayaran THR Lebaran tahun ini, Sidik mengatakan, hal itu sudah dikomunikasikan terlebih dahulu kepada serikat pekerja. Pembayaran THR pun ditetapkan sesuai kemampuan keuangan perusahaan yang sedang sulit. ”Sudah dikomunikasikan. Jadi tidak benar jika dinyatakan pekerja kesulitan mengadakan perundingan bipartit dengan manajemen,” ujarnya.
Pekerja alih daya
Selain DAMRI, pekerja alih daya dari anak usaha PLN juga mengeluhkan pembayaran THR yang berkurang di masa pandemi serta praktik penggunaan tenaga alih daya yang dinilai tidak adil. Adapun para tenaga alih daya yang bekerja di PLN adalah pekerja lini depan, seperti petugas pemeliharaan jaringan, operator gardu induk, atau petugas tagihan kepada pelanggan (biller).
Ketua Serikat Pekerja Alih Daya PLN Mohammad Machbub mengatakan, THR yang diterima pekerja alihd aya tahun ini lebih kecil dari seharusnya. Itu karena komponen penghitungan upah pekerja alih daya diubah dalam Peraturan Direksi PT PLN Nomor 0219 Tahun 2019. Sebelum ini, THR diberikan berdasarkan perhitungan upah minimum ditambah tunjangan masa kerja, tunjangan kompetensi (sesuai jenis pekerjaan), dan tunjangan delta (tambahan).
Sekarang, THR pekerja alih daya diberikan dengan memperhitungkan upah minimum ditambah tunjangan masa kerja. ”Jadi, lebih kecil yang didapat. Kalau dihitung-hitung, ada jatah THR yang hilang sebesar Rp 300.000 sampai Rp 1,5 juta,” kata Machbub.
Dalam surat tertanggal 14 Juni 2021 yang diteken Direktur Manajemen SDM PLN Syofvi F Roekman, PLN menginstruksikan kepada direksi untuk memberikan bantuan kompensasi kepada para pekerja alih daya. Bentuknya berupa bantuan sebesar selisih THR terhadap gaji terakhir dan harus diberikan selambat-lambatnya 18 Juni 2021.
Dalam surat itu, PT PLN meminta kepada pimpinan unit/anak perusahaan agar mendorong perusahaan mitra penyedia tenaga alih daya mengedepankan hubungan industrial yang sehat dengan pekerjanya. Salah satu mitra/vendor utama PLN adalah PT Haleyora Power, yang merupakan anak usaha PLN. Mekanisme kompensasi diberikan dengan pola reimbursement melalui perusahaan mitra.
Saat dikonfirmasi, Vice President Hubungan Masyarakat PLN Arsyadany G Akmalaputri mengatakan, sebenarnya, PLN dan perusahaan mitranya tidak menyalahi aturan Kementerian Ketenagakerjaan mengenai pembayaran THR. Hal itu juga dikonfirmasi oleh Dinas Ketenagakerjaan Jawa Barat.
”Sebenarnya yang kami berikan itu adalah kompensasi dukungan empati akibat situasi pandemi. Memang besarannya itu berupa selisih THR terhadap gaji terakhir. Tapi, itu bukan membayarkan THR karena sebenarnya menurut disnaker kami tidak menyalahi aturan,” katanya.
Selain DAMRI dan PLN, kondisi buruk juga dihadapi karyawan di perseroan lain, seperti PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang menunggak gaji karyawannya hingga 23 juta dollar AS atau Rp 327,86 miliar (asumsi kurs Rp 14.255 per dollar AS). Hal itu diungkapkan manajemen lewat keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (9/6/2021).
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, persoalan ketenagakerjaan yang terjadi di BUMN adalah hal serius yang patut diperhatikan pemerintah selaku pemegang saham utama. Komisi IX dan Komisi VI DPR juga diminta mendalami persoalan ketenagakerjaan di lingkungan BUMN dengan membentuk panitia kerja atau panitia khusus.
Terlebih, di tengah tantangan pandemi yang memukul berat sejumlah perseroan. ”Tidak hanya di DAMRI dan PLN, tetapi perlu juga diselidiki apa yang sedang terjadi di BUMN lain,” kata Said.