Pemerataan Ekonomi Dampak Kinerja Ekspor Belum Optimal
Petani sawit mandiri belum menikmati kenaikan harga TBS yang cukup signifikan dari kenaikan harga CPO. Adapun perajin dan pengusaha kecil menengah furnitur berhadapan dengan melambungnya tarif pengiriman kontainer.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerataan ekonomi dari hasil positif kinerja ekspor di sejumlah sektor pertanian dan perkebunan, serta industri manufaktur masih belum optimal. Pendapatan petani dan perajin atau pengusaha kecil menengah belum terkatrol baik dan masih menemui sejumlah hambatan.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Indonesia Mansuetus Darto, Rabu (16/6/2021), mengatakan, memang harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya dalam tren tinggi dan bagus. Saat ini harganya di atas 1.000 dollar per AS per ton setelah terpuruk di bawah 700 dollar AS per ton.
Namun, belum semua petani sawit merasakan manfaat kenaikan harga komoditas unggulan ekspor Indonesia itu. Baru petani plasma atau yang terintegrasi dengan perusahaan sawit yang menikmati hasilnya, sedangkan petani kelapa sawit swadaya atau mandiri belum merasakan dampak positif itu.
Darto mencontohkan, harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani plasma cukup tinggi, yaitu Rp 3.200 per kilogram (kg)-Rp 3.300 per kg. Adapun harga TBS di tingkat petani mandiri Rp 1.400 per kg-Rp 1.500 per kg. Kesenjangan harga ini terjadi lantaran petani mandiri masih menjual TBS ke pengepul atau tengkulak sehingga harga TBS di tingkat petani tertekan.
”Ini sebenarnya masalah klasik. Namun, tetap perlu dicarikan solusinya agar kesejahteraan petani mandiri yang jumlahnya lebih banyak dari petani plasma turut terjamin,” kata Darto ketika dihubungi di Jakarta.
Harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani plasma cukup tinggi, yaitu Rp 3.200 per kg-Rp 3.300 per kg. Adapun harga TBS di tingkat petani mandiri Rp 1.400 per kg-Rp 1.500 per kg.
SPKS mencatat, luas perkebunan sawit di Indonesia 16,38 juta hektar (ha). Dari total luasan tersebut, luas perkebunan swasta 8,89 juta ha, negara 715.000 ha, serta petani plasma dan mandiri 6,7 juta ha. Petani plasma berjumlah sekitar 600.000 orang mengelola 1,2 juta ha lahan, sedangkan petani mandiri berjumlah 2,7 juta orang mengolah 5,5 juta ha lahan.
Menurut Darto, di tengah kondisi pandemi Covid-19 ini perusahaan membutuhkan dana besar untuk menjaga arus kas dan modal ekspansi, sedangkan petani berharap ada peningkatan pendapatan untuk menjaga daya beli. Sejumlah upaya untuk merealisasikan kedua hal itu adalah mengurangi tarif pungutan ekspor CPO dan membenahi rantai tata niaga CPO untuk petani mandiri.
Dengan harga CPO yang di atas 1.000 dollar AS per ton, total pungutan ekspor dan bea keluar yang dikenakan sebesar 400 dollar AS per ton. ”Dengan pengenaan pungutan ekspor dan bea keluar itu sebesar itu, harga TBS di tingkat petani tergerus berkisar Rp 600 per kg-Rp 800 per kg,” kata Darto.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik menyebutkan, nilai total ekspor Indonesia pada Mei 2021 sebesar 16,6 miliar dollar AS dan impornya 14,23 miliar dollar AS sehingga neraca perdagangannya masih surplus sebesar 2,63 miliar dollar AS. Surplus pada Mei tersebut semakin menopang surplus neraca perdagangan pada Januari-Mei 2021 yang sebesar 10,17 miliar dollar AS.
Kinerja positif perdagangan Indonesia ini tidak terlepas dari kenaikan harga sejumlah komoditas ekspor, seperti batubara, CPO, timah, tembaga, nikel, dan emas. Harga CPO, misalnya, naik sebesar 7,9 persen dari April 2021 ke Mei 2021, sedangkan secara tahunan, harganya melambung 101,74 persen. Hal ini ditunjukkan dari meningkatnya nilai ekspor produk lemak dan minyak nabati atau hewani sebesar 10,6 juta dollar AS pada Mei 2021 terhadap April 2021.
Tidak hanya di sektor pertanian dan perkebunan, kinerja positif ekspor selama pandemi Covid-19 ini juga ditunjukkan sektor industri manufaktur, salah satunya adalah furnitur. Kementerian Perdagangan mencatat, pada 2020 nilai ekspor produk furnitur Indonesia tembus 1,65 miliar dollar AS atau tumbuh sebesar 9,93 persen dari 2019 yang sebesar 1,49 miliar dollar AS.
Sementara pada triwulan I-2021, nilai ekspor furnitur tercatat senilai 536,52 juta dollar AS, tumbuh 28,16 persen dari periode sama 2020. Hal itu ditopang oleh permintaan furnitur dari AS dan sejumlah negara di kawasan Uni Eropa. Ini tidak terlepas dari siklus pergantian mebel rumah tangga, hotel, dan restoran atau kafe di negara-negara tersebut.
Namun, peningkatan ekspor furnitur ini masih belum dirasakan sejumlah perajin dan pengusaha kecil. Salah satu faktor utamanya adalah kenaikan biaya kapal peti kemas dan sulitnya mendapatkan ruang kargo tersebut.
Ganggas Selo Tamtomo, pemilik usaha furnitur Lifestyle Furniture Indo di Jepara, menuturkan, biaya pengiriman furnitur menggunakan kapal peti kemas ke Perancis berkisar 7.000 dollar AS-8.000 dollar AS, bahkan per 6 Juni 2021 mencapai 11.080 dollar AS untuk peti kemas 40 kaki (feet). Biaya ini melebihi tarif normal yang berkisar 2.500 dollar AS-3.000 dollar AS per 40 kaki.
Hal ini membuat pembeli di Perancis menunda pengiriman dengan alasan menunggu biaya peti kemas itu turun atau kembali normal. Kondisi ini menyebabkan furnitur senilai Rp 500 juta menumpuk di gudang sejak April 2021.
Hal ini membuat pembeli di Perancis menunda pengiriman dengan alasan menunggu biaya peti kemas itu turun atau kembali normal. Kondisi ini menyebabkan furnitur senilai Rp 500 juta menumpuk di gudang sejak April 2021.
Ganggas mengaku, dalam kondisi normal, bisa mengirim furnitur sebanyak 1-2 kontainer per bulan. Namun, sejak pandemi Maret tahun lalu hingga kini, baru 6 kontainer yang bisa dikirimkan.
”Itu pun kerap susah mendapatkan kontainer yang kosong. Kami harus menunggu antrean. Kalaupun dapat, tarifnya sudah berbeda. Padahal, setiap periode April-Juni, permintaan dari Eropa cukup tinggi. Kami sudah berupaya mengejar produksi, tetapi terhambat di pengirimannya,” ujarnya.
Ganggas berharap pemerintah dan pemangku kepentingan terkait bisa mencarikan solusi atas persoalan ini. Misalnya dengan menyediakan kontainer khusus bagi para perajin dan pengusaha kecil menengah.