Pertamina mesti memperkuat pemeliharaan, tak hanya mengejar keuntungan. Signifikansi dampak kebakaran kilang yang terjadi pada impor minyak Indonesia patut ditinjau dalam kerangka ketahanan energi nasional.
Oleh
M Paschalia Judith J/Aris Prasetyo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua kilang milik PT Pertamina (Persero) terbakar di waktu berbeda dalam kurun empat bulan terakhir. Evaluasi menyeluruh terhadap pemeliharaan kilang tersebut sangat krusial. Kendati berhasil membukukan laba pada 2020, efisiensi operasi perusahaan tak boleh mengabaikan perawatan dan pemeliharaan kilang.
Pada Jumat (11/6/2021) malam pekan lalu, terjadi kebakaran di area Refinery Unit (RU) IV Cilacap, Jawa Tengah. Insiden tersebut berhasil dipadamkan pada Minggu (13/6) siang. Sebelumnya, kebakaran juga terjadi di area RU VI Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, pada Senin (29/3) dini hari. Api bisa dipadamkan pada Kamis (1/4).
Menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, dua kebakaran kilang tersebut menandakan Pertamina mesti menguatkan aspek keselamatan kerja. ”Saya sudah meminta audit pascainsiden pada Pertamina begitu langsung kejadian. Pertamina sebaiknya melaporkannya kepada DEN,” katanya saat dihubungi, Rabu (16/6/2021), di Jakarta.
Dari laporan audit pascainsiden itu, lanjut Satya, peninjauan dan penguraian faktor-faktor kebakaran dapat lebih terinci. Faktor-faktor itu dapat berasal dari aspek perawatan kilang, seperti peralatan yang tidak terkalibrasi atau sudah melebihi batas waktu penggunaan. Atau bisa juga aspek kelalaian tenaga kerja, misalnya karena bekerja melebihi jam yang seharusnya.
Faktor-faktor itu dapat berasal dari aspek perawatan kilang, seperti peralatan yang tidak terkalibrasi atau sudah melebihi batas waktu penggunaan.
Berdasarkan pengalamannya, menurut Satya, laporan audit pascainsiden dapat selesai dalam tujuh hari. Namun, hingga saat ini DEN belum menerima laporan tersebut, terutama dari insiden kebakaran area Kilang Balongan. ”Pertanyaan yang perlu dijawab adalah seberapa signifikan dampak kebakaran kilang tersebut pada impor minyak Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR dari Partai Gerindra Kardaya Warnika berpendapat, keandalan kilang dan faktor patut menjadi evaluasi bagi Pertamina dalam insiden tersebut. ”Pertamina mesti memperkuat pemeliharaan, tak hanya mengejar keuntungan. Jangan sampai terjadi kecelakaan yang menimbulkan kerugian lebih besar,” katanya saat dihubungi.
Dia juga menggarisbawahi keandalan kilang sebagai infrastruktur energi krusial bagi ketahanan energi nasional yang tak cuma menyoal keamanan pasokan. Oleh sebab itu, Kardaya mengimbau Pertamina untuk meninjau faktor-faktor penyebab kebakaran sekaligus memperkuat perawatan kilang dengan melibatkan auditor independen bereputasi internasional.
”Perawatan kilang dapat berbentuk pengecekan korosi pada tangki, ketebalan tangki, serta kekokohan konstruksi,” kata Kardaya.
Ancaman pasokan
Selain itu, imbuh Kardaya, aspek lingkungan pada kilang, khususnya area Kilang Balongan, juga harus menjadi perhatian. Menurut dia, jarak kilang dengan area permukiman penduduk terlalu dekat sehingga masyarakat menanggung dampak akibat kebakaran tersebut. Warga pun mesti mengungsi saat kejadian.
Dihubungi secara terpisah, Area Manager Communication, Relations, & CSR RU IV Cilacap Hatim Ilwan, mengatakan, Pertamina telah bergerak cepat dalam menginvestigasi insiden kebakaran tersebut dan melibatkan pihak internal dan eksternal perusahaan, salah satunya aparat penegak hukum. ”Investigasi yang berkaitan dengan engineering juga sedang berjalan,” katanya.
Jarak kilang dengan area permukiman penduduk terlalu dekat sehingga masyarakat menanggung dampak kebakaran tersebut.
Menurut Hatim, perawatan yang dijadwalkan pada 2020 juga tetap berjalan dengan protokol kesehatan ketat. Dari sisi pekerja, terdapat sekitar 1.500 tenaga kerja organik yang jam kerjanya diperhatikan berdasarkan sif yang telah ditetapkan.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, kebakaran yang terjadi pada dua fasilitas kilang Pertamina tersebut menunjukkan pentingnya perhatian pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan terhadap fasilitas kilang yang ada. Menurut dia, perhatian terhadap kilang di dalam negeri belum maksimal. Hal itu terindikasi dari kilang terakhir yang dibangun di Indonesia terbilang cukup lama.
”Kejadian ini semacam autokritik bagi pemerintah dan semua pemangku kepentingan bahwa perhatian terhadap kilang-kilang dalam negeri sangat krusial. Bagaimana pun infrastruktur perlu peremajaan,” kata Komaidi.
Komaidi menambahkan, kendati insiden kebakaran pada kedua kilang tersebut tidak sampai mengganggu pasokan bahan bakar domestik dalam jangka pendek, peristiwa tersebut membutuhkan perhatian dan evaluasi mendalam. Jika tidak dilakukan pencegahan terhadap kilang-kilang yang lain, tak tertutup kemungkinan terjadi ancaman keberlanjutan pasokan bahan bakar di dalam negeri.
Jika tidak dilakukan pencegahan terhadap kilang-kilang yang lain, tak tertutup kemungkinan terjadi ancaman keberlanjutan pasokan bahan bakar di dalam negeri.
”Apalagi, kilang Balongan dan kilang Cilacap memegang peranan utama untuk pasokan bahan bakar di dalam negeri, khususnya di wilayah Jawa,” kata Komaidi.
Selain itu, imbuh Komaidi, Pertamina tidak boleh memasukkan aspek pemeliharaan dan perawatan kilang dalam bagian efisiensi operasional perusahaan. Seperti diketahui sebelumnya, efisiensi operasi Pertamina menjadi kunci keberhasilan perusahaan membukukan laba bersih selama pandemi Covid-19 di Indonesia.
Setelah merugi Rp 11,2 triliun pada semester I-2020, Pertamina membukukan laba bersih Rp 15,3 triliun untuk kinerja sepanjang 2020. Selain berhasil membukukan laba Rp 15,3 triliun, Pertamina juga berkontribusi pada negara dengan nilai Rp 126,7 triliun sepanjang 2020 yang di antaranya terdiri dari setoran pajak sebesar Rp 92,7 triliun dan penerimaan bukan pajak Rp 25,5 triliun.