Tren Positif Ekspor Bisa Percepat Pemulihan Ekonomi
Kinerja positif ekspor yang ditopang kenaikan harga komoditas dapat mempercepat pemulihan ekonomi daerah-daerah penghasil komoditas. Perlu dipastikan terjadi efek pengganda mulai dari hulu hingga hilir sektor tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Tren positif kinerja ekspor bisa mempercepat pemulihan dan menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Hal itu bisa optimal jika buah dari kenaikan ekspor akibat kenaikan harga komoditas ini tidak hanya dinikmati pelaku usaha atau industri, tetapi juga petani dan pekerja tambang.
Badan Pusat Statistik mencatat, nilai total ekspor Indonesia pada Mei 2021 sebesar 16,6 miliar dollar AS dan impornya 14,23 miliar dollar AS sehingga neraca perdagangannya masih surplus 2,63 miliar dollar AS. Dengan begitu, Indonesia telah membukukan surplus perdagangan selama 13 bulan terturut-turut di masa pandemi Covid-19.
Kinerja ekspor pada Mei tersebut semakin menopang surplus neraca perdagangan pada Januari-Mei 2021 yang sebesar 10,17 miliar dollar AS. Capaian ini tidak terlepas dari kenaikan harga komoditas ekspor nonmigas di sektor pertanian dan pertambangan, seperti batubara, minyak kelapa sawit mentah (CPO), timah, tembaga, nikel, dan emas.
Batubara, misalnya, secara bulanan harganya naik 16,07 persen dan secara tahunan naik 103,9 persen. Adapun harga CPO naik 7,9 persen dari April 2021 ke Mei 2021, sedangkan secara tahunan harganya melambung 101,74 persen. Sementara harga tembaga naik 8,98 persen secara bulanan dan 93,94 persen secara tahunan.
Kepala BPS Suhariyanto, Selasa (15/6/2021), mengaku optimistis kinerja ekspor dan impor itu bisa menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Indikatornya adalah ekspor pada Mei 2021 tumbuh 58,76 persen dan impor 68,68 persen secara tahunan.
Pertumbuhan ekspor tersebut tidak terlepas dari pertumbuhan sektor industri pengolahan (54,04 persen), pertanian (0,69 persen), dan pertambangan (95,37 persen) secara tahunan. Adapun pertumbuhan impor ditopang oleh pertumbuhan bahan baku/penolong (79,11 persen) dan barang modal (35,28 persen) secara tahunan.
Baca juga: Kinerja Ekspor Ditopang Kenaikan Permintaan dan Harga Komoditas
Kenaikan impor bahan baku ini, kata Suhariyanto, menunjukkan bergeraknya manufaktur di Indonesia. Kenaikan barang modal juga akan berpengaruh terhadap pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi.
”Kalau performa ekspor-impor ini terus dijaga dan bagus, ditambah dengan membaiknya konsumsi pemerintah, investasi, dan konsumsi rumah tangga, Indonesia bisa masuk ke zona pertumbuhan positif,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta yang digelar secara hibrida (daring dan luring).
Kalau performa ekspor-impor ini terus dijaga dan bagus, ditambah dengan membaiknya konsumsi pemerintah, investasi, dan konsumsi rumah tangga, Indonesia bisa masuk ke zona pertumbuhan positif.
Pada triwulan I-2021, ekonomi Indonesia tumbuh minus 0,74 persen. Komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB) yang menahan laju kontraksi pertumbuhan ekonomi tidak jatuh terlalu dalam adalah konsumsi pemerintah yang tumbuh 2,96 persen, ekspor (6,74 persen), dan impor (5,27 persen).
Pemerintah memperkirakan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2021 akan tumbuh antara 7,1 persen dan 8,3 persen secara tahunan. Konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh 8,1-9,7 persen, ekspor 14,9-19,7 persen, investasi 9,4-11,1 persen, dan konsumsi rumah tangga 6-6,68 persen.
Baca juga: Target Pertumbuhan 7 Persen pada Triwulan II-2021 Sulit Tercapai
Jaga daya beli
Vice President for Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani berpendapat, kenaikan harga sejumlah komoditas, seperti CPO, batubara, tembaga, nikel, dan karet, menjadi faktor utama peningkatan ekspor tahun ini. Indonesia yang kaya dengan sumber-sumber komoditas pertanian dan pertambangan tersebut diuntungkan kendati yang meningkat signifikan baru nilai ekspornya, bukan volumenya.
Hal ini akan mempercepat pemulihan ekonomi di daerah-daerah penghasil komoditas itu, seperti di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Namun, para pemangku kepentingan terkait harus memastikan agar terjadi efek pengganda mulai dari hulu hingga hilir sektor tersebut.
”Pastikan kenaikan komoditas global itu juga dirasakan petani dan petambang sehingga daya beli mereka meningkat. Khusus CPO, pemerintah bisa segera menurunkan tarif pungutan ekspor sehingga pelaku usaha bisa memiliki ruang gerak fiskal yang lebih longgar dan turut mendongkrak harga tandan buah segar di tingkat petani,” ujar Dendi.
Para pemangku kepentingan terkait harus memastikan agar terjadi efek pengganda mulai dari hulu hingga hilir sektor tersebut. Pastikan kenaikan komoditas global itu juga dirasakan petani dan petambang sehingga daya beli mereka meningkat.
Saat ini, besaran pungutan ekspor CPO dan produk turunannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.05/2020 yang merevisi PMK No 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit. Regulasi ini rencananya akan dievaluasi lantaran tarif pungutan tersebut dinilai terlalu tinggi.
Misalnya, jika harga CPO di bawah atau sama dengan 670 dollar AS per ton, tarif pungutan yang dikenakan sebesar 55 dollar AS per ton. Sementara jika harganya di atas 995 dollar AS per ton, tarifnya sebesar 255 dollar AS per ton. Saat ini, harga CPO di atas 1.000 dollar AS per ton sehingga tarif pungutan ekspor yang dikenakan sebesar 255 dollar AS per ton.
Baca juga: Bank Dunia: Waspadai Melambungnya Inflasi dan Turunnya Pendapatan
Dendi optimistis, jika ada pemerataan ekonomi di sektor ekspor dan impor, pemulihan dan laju pertumbuhan ekonomi akan cepat. Apalagi saat ini ekonomi negara-negara dan kawasan tujuan ekspor tradisional Indonesia, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, ASEAN, dan Uni Eropa, terus membaik lantaran ditopang percepatan vaksinasi. Sementara India, yang juga menjadi pangsa pasar ekspor Indonesia, akan kembali pulih setelah gelombang kedua pandemi Covid-19 teratasi.
”Kami memperkirakan perekonomian Indonesia pada triwulan II-2021 bisa tumbuh 7,04 persen dan akhir tahun nanti sebesar 4,43 persen. Ekspor diperkirakan tumbuh 17,8 persen pada triwulan II-2021 dan 9,9 persen pada akhir tahun ini,” ujarnya.
Berdasarkan data BPS, permintaan produk ekspor nonmigas Indonesia pada Mei 2022 masih didominasi oleh China dengan pangsa pasar 22,14 persen dari total ekspor nonmigas, AS (10,88 persen), Jepang (7,01 persen), Malaysia (5,33 persen), dan India (5,3 persen). Total ekspor nonmigas Indonesia pada Mei 2019 sebesar 15,66 miliar dollar AS.
Pasar ekspor nontradisional
Sembari meningkatkan ekspor di negara-negara tujuan ekspor tradisional, kata Dendi, Indonesia bisa menyasar negara-negara tujuan ekspor nontradisional, seperti Afrika. Beberapa negara besar di Afrika yang berpotensi menjadi target pasar ekspor yang sesuai dengan karakteristik produk yang dihasilkan Indonesia adalah Nigeria, Mesir, Afrika Selatan, Aljazair, Maroko, dan Kenya.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah dan pelaku usaha untuk meningkatkan eskpor dan menumbuhkan bisnis di tingkat internasional. Dalam forum bisnis yang digelar Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Lagos di Kano, Nigeria, misalnya, produk makanan dan minuman, jamu, batik, sepatu, serta sandal kulit diperkenalkan.
Baca juga: Afrika di Tengah Laga Raksasa E-dagang AS dan China
Mereka paling banyak meminati produk alas kaki dan obat herbal, khususnya jamu. Obat herbal produksi Indonesia tersebut banyak dijumpai di Pasar Sabon Giri, Kano. ”Produk lain yang diminati adalah tekstil dan produk tekstil, busana, dan makanan olahan,” kata Hendro Jonathan, Kepala ITPC Lagos, dalam siaran pers.
Menurut Hendro, Nigeria merupakan pasar yang menjanjikan bagi Indonesia. Jumlah penduduk Nigeria sebanyak 200 juta jiwa, sedangkan jumlah penduduk di Negara Bagian Kano sekitar 20 juta jiwa.
Presiden Kamar Dagang, Industri, Pertambangan, dan Pertanian (KACCIMA) Kano, Dalhatu Abubakar, menyampaikan, pengusaha anggota KACCIMA meminati produk kertas, alat pertanian, suku cadang kendaraan, batik, busana muslim, alas kaki, dan ban. KACCIMA juga membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan Indonesia untuk berinvestasi di kawasan industri Kano.
Kementerian Perdagangan mencatat, total perdagangan migas dan nonmigas Indonesia-Nigeria pada Januari-April 2021 senilai 776,49 juta dollar AS. Ekspor Indonesia ke Nigeria sebesar 140,68 juta dollar AS dan impor Indonesia dari Nigeria 635,81 juta dollar AS sehingga Indonesia mengalami defisit perdagangan sebesar 495,13 juta dollar AS.
Perdagangan kedua negara tersebut didominasi impor minyak bumi. Di sektor nonmigas, pada Januari-April 2021 ekspor Indonesia ke Nigeria sebesar 140 juta dollar AS, sedangkan impor dari Nigeria sebesar 36 juta dollar AS.
Baca juga : ASEAN dan RI Buka Peluang bagi Pakistan Tingkatkan Hubungan