Sejak pandemi, pasar modal kedatangan banyak investor pemula. Bekerja dan mendapatkan uang dari rumah membuat mereka tertarik mencoba peruntungan di pasar modal. Sayangnya, mereka tidak dibekali pemahaman yang cukup.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
Kompas/Priyombodo
Investor mengamati pergerakan indeks jelang penutupan perdagangan Bursa Efek Indonnesia tahun 2020 di Jakarta, Rabu (30/12/2020).
Seiring mulai pulihnya perekonomian seusai terpuruk dihantam pandemi Covid-19, muncul beragam cerita tentang warga yang coba-coba bermain saham, lalu duitnya amblas akibat harga saham anjlok dan yang bersangkutan melakukan cut loss. Curhatan yang mereka lemparkan ke media sosial umumnya viral karena banyak netizen yang merasa prihatin.
Ada yang rugi ratusan juta rupiah. Padahal, uang yang digunakan untuk bermain saham adalah hasil berutang dari 10 aplikasi pinjaman online (daring). Selain itu juga ada curhatan seorang ibu yang berpotensi merugi gara-gara bermain saham. Padahal, uang yang dipakai merupakan uang arisan dan uang titipan ibu-ibu PKK (pemberdayaan kesejahteraan keluarga). Uangnya ”tersangkut” karena harga saham malah turun, tetapi tidak dijual meskipun sudah merugi hingga 25 persen.
Adapula investor yang rela menggadaikan tanah dan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) mobilnya agar bisa bermain saham. Namun, malang baginya, harga saham yang dibelinya malah jeblok.
Mereka yang naas itu kemungkinan adalah investor pemula. Indikasinya, mereka nekad menggunakan ”uang panas” atau uang yang harus dikembalikan dalam waktu dekat, seperti uang pinjaman, uang arisan, dan uang hasil gadai, untuk berinvestasi di instrumen yang memiliki profil risiko tinggi. Padahal, sejatinya berinvestasi itu idealnya menggunakan ”uang dingin”, seperti uang tabungan yang mengganggur, yang tidak akan digunakan dalam waktu dekat.
Hal itu menunjukkan para investor pemula tersebut tidak memahami karakteristik dan cara kerja instrumen investasi saham yang menjanjikan keuntungan tinggi, tetapi juga menyimpan risiko kerugian yang besar pula.
Para investor pemula tersebut terjun ke pasar modal salah satunya karena faktor pandemi Covid-19. Faktor berkurangnya pendapatan dan banyak waktu di rumah selama pandemi Covid-19 mendorong orang untuk mencoba-coba peruntungan di pasar modal.
Kompas
Ilustrasi Investasi.
Harga saham yang mulai naik seiring pulihnya perekonomian menarik banyak investor pemula untuk berburu keuntungan.
Tanpa bekal pengetahuan yang cukup dan hanya ikut-ikutan karena sedang tren, akhirnya mereka terjerembab dalam kerugian lalu menyalahkan mekanisme jual-beli saham yang seperti berjudi. Kalangan investor kawakan menjuluki mereka dengan sebutan investor ”angkatan korona”.
Tumbuh pesat
Selama pandemi, jumlah investor ritel di pasar modal Indonesia memang tumbuh pesat. Mengutip data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), hingga akhir Mei 2021, jumlah investor pasar modal mencapai 5,37 juta. Jumlah tersebut meningkat 38 persen dibandingkan pada akhir 2020 yang sebanyak 3,88 juta. Artinya hanya dalam waktu lima bulan, ada penambahan jumlah investor pasar modal 1,49 juta orang.
Penambahan jumlah investor dalam lima bulan pertama 2021 itu setara dengan penambahan jumlah sepanjang tahun 2020 yang sebanyak 1,4 juta. Melonjaknya jumlah investor terutama didorong oleh investor saham. Sampai dengan Mei 2021, jumlah investor saham 2,4 juta, melonjak 42 persen dari akhir 2020 yang sebanyak 1,69 juta.
Rata-rata jumlah investor yang aktif bertransaksi pada 2021 mencapai 203.000 investor per hari, tumbuh 113 persen dibandingkan rata-rata tahun 2020 yang sebanyak 94.700.
Melonjaknya jumlah investor di pasar modal di satu sisi menimbulkan kekhawatiran. Sebab, tingkat pemahaman publik terhadap pasar modal sebenarnya masih kurang. Mengutip Survei Nasional Literasi Keuangan 2019 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Desember 2020, nilai literasi keuangan untuk pasar modal hanya 4,92 persen.
Adapun yang dimaksud literasi keuangan adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap dan periliku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan dalam rangka mencapai kesejahteraan.
Tren bekerja dan memperoleh uang dari rumah akan membuat pasar modal kemungkinan terus kedatangan investor pemula. Apalagi ditambah watak publik yang takut ketinggalan hal baru atau fear of missing out (FOMO). Bahkan, belum usai demam pasar saham, para investor angkatan korona ini juga mulai demam jual beli aset kripto.
Menjadi tugas seluruh pemangku kepentingan, mulai dari otoritas, pelaku pasar modal, hingga akademisi, untuk melakukan edukasi bagi para investor angkatan korona ini. Mereka juga berhak mendapatkan keuntungan dan terhindar dari kerugian akibat ketidaktahuan dan kurangnya edukasi.