Reformasi perpajakan guna meningkatkan rasio pajak tetap harus dijalankan dalam jangka menengah. Sama dengan kematian, pajak adalah realitas tak menyenangkan yang tak bisa dihindari.
Oleh
A Prasetyantoko, Rektor Unika Atma Jaya
·5 menit baca
KOMPAS/SUPRIYANTO
Supriyanto
Hanya ada dua kepastian dalam hidup ini: kematian dan pajak. Membayar pajak adalah takdir. Karena itu pula, kebijakan perpajakan merupakan kebijakan ekonomi paling rumit, penuh dilema, dan terkadang kontroversial. Itulah yang terjadi dalam perdebatan seputar rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok seperti beras dan gula—disebut ”Pajak Sembako”—serta jasa utama seperti pendidikan dan kesehatan.
Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) sebagai perubahan kelima atas UU Nomor 6 Tahun 1983 yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Dokumen ini belum resmi dibahas, tetapi sudah beredar luas di publik.
Sebagaimana dijelaskan dalam butir pertimbangan pada draf itu, skenario tersebut dilakukan dalam rangka pemulihan ekonomi melalui strategi konsolidasi fiskal dengan fokus perbaikan defisit anggaran serta peningkatan tax ratio. Peningkatan penerimaan pajak dirancang melalui sistem yang mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan, selain perbaikan administrasi yang konsolidatif serta peningkatan kepatuhan.
Sepertinya, upaya ini dilakukan dalam rangka implementasi UU No 2/2020 yang mengatur defisit fiskal kembali di bawah 3 persen pada 2023.
Kebijakan fiskal
Kontroversi Pajak Sembako perlu dilihat dalam konteks utuh. Pertama, pajak merupakan sumber pendanaan utama pengeluaran pemerintah. Semakin besar pengeluaran pemerintah, semakin besar tekanan pada penerimaan pajak. Itulah mengapa kelompok negara maju (G-7) mencanangkan kenaikan pajak korporasi secara global minimal 15 persen begitu ekonomi pulih dari pandemi.
Kedua, mengapa pemerintah kita memilih kenaikan PPN dan bukan Pajak Penghasilan (PPh), seperti kelompok G-7. Peningkatan PPh, baik pribadi maupun badan (korporasi), akan berdampak pada berkurangnya proporsi tabungan dan investasi yang pada gilirannya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Di negara maju, kunci pemulihan ekonomi adalah kebijakan fiskal, termasuk subsidi sektor korporasi. Begitu situasi membaik, perusahaan harus ”membayar kembali” subsidi yang telah diterima. Di negara berkembang seperti Indonesia, peran stimulus fiskal (untuk korporasi) relatif kecil dan pemulihan tetap mengandalkan sektor swasta.
PPN memang akan menurunkan upah riil yang akan berdampak pada penurunan konsumsi. Namun, dampaknya pada perekonomian akan netral karena tak mengurangi tingkat tabungan dan investasi. Perekonomian negara berkembang seperti Indonesia masih butuh akselerasi pertumbuhan melalui investasi yang dibiayai tabungan.
Pajak Pertambahan Nilai memang akan menurunkan upah riil yang akan berdampak pada penurunan konsumsi. Namun, dampaknya pada perekonomian akan netral karena tak mengurangi tingkat tabungan dan investasi.
Benar perekonomian kita didominasi konsumsi rumah tangga sehingga penerapan PPN berpotensi menggerus konsumsi. Itulah mengapa tarif PPN dilakukan berjenjang (multitarif), tidak merata di semua jenis barang. Barang kebutuhan pokok yang biasa dikonsumsi masyarakat berpendapatan menengah atas berlaku tarif sebesar 12 persen, sementara yang dikonsumsi kelompok bawah bertarif rendah.
Terlebih lagi, pemerintah juga masih akan memberikan subsidi bagi kelompok berpenghasilan rendah atau tak berpenghasilan. Dengan demikian, konsumsi nasional tetap bisa dijaga.
Ketiga, selain membiayai pengeluaran pemerintah, pajak juga berfungsi sebagai instrumen pemerataan dan menyelesaikan persoalan sosial. Resesi akibat pandemi akan punya efek panjang bagi beberapa sektor dan kelompok masyarakat tertentu. Pemerintah tetap harus hadir dengan memberikan stimulus bagi mereka.
Namun, di sisi lain, pemerintah juga perlu memastikan pemasukan pajak lebih besar, terutama dari kelompok mampu, tanpa mengorbankan pemulihan ekonomi. Tampaknya, prinsip keadilan yang dituangkan dalam pendekatan multitarif ini absen dari diskusi publik sehingga memicu kontroversi.
Harus diakui, pemerintah tak punya banyak pilihan dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dalam situasi serba tak pasti akibat pandemi seperti sekarang ini. Dua komponen utama penerimaan adalah PPh dan PPN. Pada 2020, rasio penerimaan pajak terhadap perekonomian nasional atau yang dikenal sebagai tax ratio hanya 8,3 persen. Sejak 2017, rasio pajak kita di bawah 10 persen atau lebih rendah dari rerata negara di kawasan Asia Tenggara sebesar 14 persen.
Sementara itu, stimulus fiskal dalam rangka pandemi telah membuat defisit 2020 membengkak menjadi Rp 956,3 triliun atau 6,09 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Penerimaan pajak menurun, sementara pengeluaran pemerintah meningkat. Pada 2021, situasi anggaran belum membaik karena nominal defisit masih naik menjadi Rp 1.006,4 triliun, terutama guna menopang program vaksin gratis. Karena perekonomian diproyeksikan sudah tumbuh pada kisaran 4-5 persen, maka defisit diperkirakan turun menjadi 5,7 persen.
Stimulus fiskal dalam rangka pandemi telah membuat defisit 2020 membengkak menjadi Rp 956,3 triliun atau 6,09 persen terhadap PDB. Penerimaan pajak menurun, sementara pengeluaran pemerintah meningkat.
Dalam paparan kebijakan ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal (KEM PPKF) tahun 2022, pemerintah menargetkan defisit anggaran sebesar 4,51-4,85 persen atau setara Rp 807 triliun-Rp 881,3 triliun. Kebijakan fiskal pada 2022 menjadi sangat penting, khususnya dalam hal defisit, karena pada 2023 defisit harus kembali di bawah 3 persen. Pemerintah sendiri menargetkan defisit 2023 sebesar 2,7 persen.
Bagaimana mencapainya? Selain mengurangi subsidi, pemerintah juga harus menaikkan penerimaan pajak. Dalam konteks inilah, RUU KUP disiapkan sebagai salah satu jalan keluar. Begitu perekonomian mulai pulih, tantangan pokok di seluruh dunia adalah pengurangan stimulus (fiskal dan moneter). Jika terlalu cepat, akan berpotensi membuat pemulihan surut kembali. Namun, jika terlalu lama, akan memunculkan risiko (fiskal) dalam jangka panjang.
Prinsipnya stimulus harus bersifat tepat waktu, temporer, dan terarah. Di sinilah dilemanya. Di satu sisi pemerintah wajib merancang skenario penarikan stimulus yang disertai strategi peningkatan penerimaan pajak.
Di sisi lain, keberatan publik tetap harus diperhatikan. Pertama, jika kenaikan multitarif tetap dijalankan, tak ada jaminan tidak terjadi kenaikan harga pada semua kelompok barang. Kedua, bisa jadi skenario defisit di bawah 3 persen pada 2023 belum realistis sehingga pemberlakuan Pajak Sembako belum menemukan momentum.
Dengan demikian, tampaknya pilihannya cukup jelas: jika dalam jangka pendek penerapan PPN pada barang bahan pokok tidak bisa dilakukan, sangat mungkin defisit fiskal tak bisa dikembalikan di bawah 3 persen pada 2023 sebagaimana diamanatkan UU. Untuk itu, diperlukan amendemen atau penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Meski begitu, reformasi perpajakan guna meningkatkan rasio pajak tetap harus dijalankan dalam jangka menengah. Sama dengan kematian, pajak adalah realitas tak menyenangkan yang tak bisa dihindari.