Dorong Pendanaan Perbankan untuk Pembangunan Energi Terbarukan
Pendanaan perbankan diperlukan untuk mendorong pembangunan yang lambat dari sektor energi baru terbarukan.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan perbankan didorong untuk memperbesar pendanaan ke sektor energi terbarukan di Indonesia. Kehadiran dana perbankan bisa mempercepat pembangunan energi terbarukan yang saat ini berjalan lambat.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar ”Keuangan Berkelanjutan dalam Pemulihan Ekonomi Nasional” yang diselenggarakan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Selasa (15/6/2021). Hadir memberikan kata sambutan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, dan Direktur Utama LPPI Mirza Adityaswara.
Turut hadir sebagai pemateri Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan OJK Agus Edy Siregar, Direktur Kepatuhan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang juga Sekretaris Himpunan Bank Negara (Himbara) Ahmad Solichin Lutfiyanto, dan Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonsia (METI) Surya Darma.
Surya Darma menjelaskan, pada 2025 Indonesia ditargetkan memiliki pembangkit listrik tenaga energi terbarukan dengan kapasitas total 45.000 megawatt (MW). Tenaga itu dihasilkan dari target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen di tahun yang sama. Target tersebut tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional.
Namun, lanjut Surya, realisasi pengembangan energi terbarukan Indonesia masih jauh dari target. Pada 2019, kapasitas pembangkit energi terbarukan baru sekitar 12.000 MW. ”Tanpa ada upaya serius dan konsisten dari para pemangku kepentingan, kapasitas pembangkit energi terbarukan hanya akan tumbuh 2.500 MW pada 2025,” ujarnya.
Ia menjelaskan, salah satu penyebab realisasi pembangunan yang lambat ini dikarenakan masih minimnya dukungan pendanaan perbankan. Sektor ini, lanjut Surya, masih dianggap tidak memungkinkan atau tidak menguntungkan untuk diberikan pinjaman (non-bankable). Ia berharap kalangan perbankan bisa lebih banyak terlibat dalam pendanaan pembangunan energi terbarukan.
”Karakteristik sektor energi baru terbarukan ini memang harus diakui berisiko tinggi dan memerlukan modal yang besar,” ucap Surya.
Menanggapi hal tersebut, Agus Edy menjelaskan, pada dasarnya sektor perbankan dan keuangan siap mendanai pembangunan ekonomi hijau dan energi terbarukan sepanjang sektor itu menghasilkan keuntungan. ”Bank ini bukan lembaga sosial. Mereka memutar dana masyarakat,” kata Agus.
Ia menjelaskan, agar sektor energi terbarukan menguntungkan, perlu ditumbuhkan dulu pasar atau permintaan energi tersebut. Dalam beberapa tahun ke depan, kesadaran dunia akan energi bersih meningkat dan mulai melarang energi kotor. Saat itulah, lanjut Agus, permintaan pembangunan energi terbarukan akan meningkat.
”Pada prinsipnya perbankan itu selalu mengikuti perdagangan. Kalau permintaannya sudah ada, perbankan pasti bisa masuk,” ujar Agus.
Wimboh mengatakan, OJK telah menerbitkan berbagai regulasi untuk mendukung implementasi keuangan berkelanjutan. Aturan itu, antara lain, Peraturan OJK No.51/POJK.03/2017 mengenai penerapan keuangan berkelanjutan untuk Lembaga Jasa Keuangan (LJK), emiten dan perusahaan publik, serta POJK No.60/POJK.04/2017 dan KDK No.24/KDK.01/2018 mengenai penerbitan green bond.
”Untuk dapat mencapai komitmen dan implementasi keuangan berkelanjutan, diperlukan perubahan pola pikir bahwa faktor risiko lingkungan hidup dan sosial merupakan peluang sekaligus tantangan bagi sektor jasa keuangan,” ujar Wimboh.
Selama ini, peran industri keuangan kepada industri hijau pun sudah dilakukan. Mengutip data OJK, penyaluran kredit portfolio hijau pada perbankan sekitar Rp 809,75 triliun. Penerbitan green bonds PT Sarana Multi Infrastruktur sebesar Rp 500 miliar.
Achmad Solichin menjelaskan, sampai dengan 2020, BRI sudah menyalurkan Rp 14,6 triliun untuk energi baru terbarukan, Rp 2,3 triliun untuk pencegahan dan pengendalian polusi, Rp 15,5 triliun untuk transportasi bersih, dan Rp 2,9 triliun untuk pembangunan gedung ramah lingkungan.
Berkelanjutan
Airlangga mengatakan, pandemi menjadi momentum dunia untuk melihat pentingnya aspek lingkungan dalam pembangunan ekonomi. ”Saatnya lebih mendorong pembangunan ekonomi ke arah yang berkelanjutan,” ujar Airlangga.
Hal senada dikemukakan oleh Mirza. ”Pandemi ini jangan terulang lagi. Tentu di masa depan, kita semua ingin menata kehidupan yang lebih baik, sehat, dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan,” ujar Mirza.