Bahan Pokok di Pasar Tradisional Tidak Dikenakan Pajak
Salah satu latar belakang dari reformasi PPN adalah kurangnya rasa keadilan. Jenis obyek pajak yang sama, meskipun dikonsumsi oleh golongan berpenghasilan yang berbeda ,tetap sama-sama dikecualikan dari pengenaan PPN.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berkomitmen untuk membebaskan barang kebutuhan pokok yang diperdagangkan di pasar tradisional dari Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Perluasan obyek PPN dipastikan tidak akan mencederai ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Nielmaldrin Noor dalam pemaparan terhadap awak media yang berlangsung secara virtual, Senin (14/6/2021).
Perluasan obyek PPN yang akan disusun dalam rancangan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) akan mempertimbangkan prinsip kemampuan membayar pajak para wajib pajak atas barang atau jasa yang dikonsumsi.
Dari sisi tarif pajak harus ada pembeda antara kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat secara umum dan kebutuhan pokok yang tergolong premium karena penghasilan yang mengonsumsinya berbeda-beda.
”Dari sisi tarif pajak harus ada pembeda antara kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat secara umum dan kebutuhan pokok yang tergolong premium karena penghasilan (masyarakat) yang mengonsumsinya berbeda-beda,” ujarnya.
Neilmaldrin belum bisa menjabarkan secara terperinci jenis-jenis kebutuhan pokok yang masuk kategori dibutuhkan masyarakat secara umum serta yang masuk kategori premium. Namun, ia menggambarkan berbagai macam jenis sembako yang dijual di pasar tradisional akan tetap dikecualikan dari obyek pajak.
Adapun PPN terhadap bahan pokok yang tergolong premium, karena dikonsumsi oleh sebagian kelompok ekonomi menengah ke atas, salah satunya akan dikenakan untuk jenis daging wagyu.
Saat ini, Neilmaldrin belum bisa menjelaskan berapa tarif pajak yang akan dibanderol atas barang kebutuhan pokok premium beserta dengan batasan harganya. Hal ini karena proses pembahasan beleid rancangan revisi undang-undang masih berlangsung antara Kementerian Keuangan dan DPR.
Perubahan kebijakan ini, katanya, bertujuan agar pemberian fasilitas PPN lebih tepat sasaran. Pasalnya, saat ini, semua barang kebutuhan pokok yang tercantum dalam Pasal 4A Ayat (2b) dikecualikan dari PPN tanpa memperhatikan konsumennya.
Semula dalam pasal tersebut terdapat daftar sejumlah jenis barang yang tidak dikenai PPN. Namun, dalam beleid rancangan revisi UU KUP, daftar tersebut dihilangkan.
Jenis-jenis kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat dan dikecualikan dari PPN sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 yang meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, serta gula konsumsi.
Bila dibiarkan, menurut Neilmaldrin, pengecualian PPN justru membuat sistem tidak adil. Melalui perubahan ketentuan PPN yang direncanakan masuk dalam revisi UU KUP, pemerintah berkomitmen untuk menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah.
”Latar belakangnya salah satunya adalah kurangnya rasa keadilan karena atas obyek pajak yang sama saat ini dikonsumsi oleh golongan penghasilan yang berbeda tetapi sama-sama dikecualikan dari pengenaan PPN,” ujar Neilmaldrin.
Pengenaan PPN terhadap bahan pokok yang tergolong premium karena dikonsumsi oleh sebagian kelompok ekonomi menengah ke atas, salah satunya akan dikenakan untuk jenis daging wagyu.
Dari sisi jasa, pemerintah juga tengah mempertimbangkan untuk menetapkan kebijakan multitarif untuk sejumlah jenis jasa yang semula dibebaskan dari PPN, di antaranya jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan prangko, jasa asuransi, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum darat dan air, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
Sementara itu, Chief Economist BRI Danareksa Sekuritas Telisa Falianty menilai rencana pemerintah dalam mereformasi PPN sempat menjadi polemik karena adanya masalah komunikasi dan kurangnya waktu untuk melakukan sosialisasi kebijakan itu.
Di satu sisi, reformasi perpajakan menjadi tugas jangka panjang pemerintah untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak sekaligus mengamankan APBN. Namun, di sisi lain, masyarakat mengontraskan rencana kebijakan ini dengan kondisi perekonomian yang belum pulih dari hantaman pandemi.
”Masyarakat jadi bingung kok ini ada dua kebijakan yang kontradiktif di satu sisi PPnBM (pajak barang mewah) dibebaskan tetapi kok PPN dinaikkan untuk barang yang semula terbebas dari PPN. Masing-masing punya alasan dan landasan, baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat,” ujarnya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, rencana perubahan kebijakan perpajakan harus dilihat secara menyeluruh, bukan dilihat parsial satu per satu.
Ia mengingatkan bahwa reformasi perpajakan yang tengah dicanangkan oleh pemerintah ini tidak untuk diterapkan segera tahun ini atau tahun depan. Waktu penerapan aturan baru ia yakini akan menyesuaikan juga dengan proses pemulihan ekonomi.
Ia membenarkan bahwa kenaikan PPN, meskipun hanya 1 persen, tetap akan menyebabkan kenaikan harga. Untuk itu, kebijakan multitarif untuk pengenaan PPN terhadap bahan pokok saat ini masih berupa rencana yang penerapannya tidak dilakukan di tengah pandemi.
”Pemerintah hendaknya melakukan perubahan menunggu waktu yang tepat, yaitu ketika perekonomian sudah benar-benar pulih,” katanya.