Keberpihakan terhadap sektor usaha mikro, kecil dan menengah, khususnya dari perbankan dan pemerintah, belum maksimal. Era disrupsi, tantangan besar adalah menaikkan kelas dari pengusaha informal menuju formal.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberpihakan perbankan dan pemerintah terhadap sektor usaha mikro, kecil dan menengah atau UMKM belum maksimal. Padahal, posisi kelompok UMKM masih sangat strategis, baik dalam struktur pertumbuhan ekonomi nasional maupun dalam konteks pemerataan ekonomi.
Menteri Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, berdasarkan data yang ada, hingga akhir 2019 jumlah pinjaman kredit mencapai sekitar Rp 6.000 triliun. Dari jumlah itu, kredit sebesar Rp 300 triliun disalurkan untuk investasi di luar negeri, sedangkan kredit untuk investasi dalam negeri sebesar Rp 5.700 triliun.
”Ironisnya, kredit untuk UMKM tidak lebih dari Rp 127 triliun. Pada saat bersamaan, kita ingin menaruh harapan besar pada UMKM untuk bisa berkompetisi, baik di dalam maupun luar negeri,” ujar Bahlil dalam dialog Kamar Dagang dan Industri (Kadin)-Shopee Indonesia bertajuk ”UMKM Indonesia Menuju Pasar Global” di Jakarta, Senin (14/6/2021).
Menurut Bahlil, akar permasalahan lemahnya UMKM dalam berkompetisi, antara lain dari sekitar 53 persen UMKM yang ada masih tergolong informal sehingga syarat pengajuan kredit perbankan belum terpenuhi. Karena itulah, tugas besar kementerian adalah meningkatkan kenaikan kelas UMKM dari informal menjadi formal.
Akar permasalahan lemahnya UMKM dalam berkompetisi, antara lain dari sekitar 53 persen UMKM yang ada masih tergolong informal sehingga syarat pengajuan kredit perbankan belum terpenuhi.
Padahal, imbuh Bahlil, jika ditarik lebih jauh, 60 persen kontribusi pertumbuhan ekonomi nasional berasal dari konsumsi masyarakat. Sementara konsumsi sangat terkait dengan daya beli masyarakat yang membutuhkan kepastian pendapatan. Adapun pendapatan diperoleh dari lapangan pekerjaan yang selama ini berada di sektor UMKM.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, UMKM memiliki pengalaman luar biasa dari krisis ke krisis dan cepat beradaptasi lewat inovasi produk. Ketika perilaku konsumen lebih banyak belanja daring, UMKM hijrah ke sana dan melakukan inovasi produk. Dari sisi produk makanan dan minuman, misalnya, orang tidak sekadar mengincar produk murah, tetapi juga sehat.
”Konsumen kini lebih fokus pada kemasan maupun cara produksinya yang higienis sehingga memunculkan keyakinan bahwa produk itu tidak tercemar virus,” kata Teten.
Disrupsi
Menteri Perdagangan Mohammad Lutfi memandang disrupsi digital yang terjadi berupa pemesanan barang secara daring semestinya membawa keuntungan dan terobosan baru untuk bisa menciptakan pelaku-pelaku usaha yang tangguh. Namun, mesti ada tahapan yang harus dihadapi UMKM. Tahap pertama adalah menaikkan kelas dari informal menuju formal dan tahap kedua adalah penguatan struktur UMKM untuk mendapatkan peluang baru di tengah disrupsi digital.
UMKM memiliki pengalaman luar biasa dari krisis ke krisis dan cepat beradaptasi lewat inovasi produk.
”Dari 15.000 unit usaha eksportir, 85 persennya adalah UKM. Namun, dilihat dari nilai ekspornya, sebesar 95 persen dinikmati oleh 15 persen usaha besar. Jumlahnya memang masih timpang dan pelaku UKM ekspor itu masih ringkih. Tugas saya menjadi wasit bersama Menteri Koperasi dan UKM, serta Menteri Investasi. Kalau UKM tidak kuat, mereka akan kalah,” kata Lutfi.
Pada saat pandemi Covid-19, menurut Lutfi, ada keseimbangan antara peluang dan tantangan. Dari sisi peluang, nilai perdagangan makanan dan minuman secara daring baru Rp 18 triliun dari total nilainya yang mencapai Rp 4.600 triliun. Artinya, masih ada peluang besar perdagangan daring lewat lokapasar.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid menambahkan, disrupsi telah menciptakan pasar global. Sekarang ini, tinggal bagaimana menciptakan produk berkualitas sesuai kebutuhan pasar dan layanan jasa yang terbaik. Apalagi, pemerintah membuka peluang besar bagi UMKM, termasuk terobosan menyangkut pendanaan dan investasi, serta penciptaan regulasi perdagangan yang adil.
”Dalam ekonomi dunia, semakin kuatnya UMKM akan menambah kekuatan ekonomi suatu negara,” ucap Arsjad.
Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan kinerja dan penghasilan UMKM menjadi lebih tinggi lagi.
Handhika Jahja, Direktur Shopee Indonesia, mengatakan, sebagai platform lokapasar, bisnis UMKM merupakan ujung tombak bagi Shopee. Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan kinerja dan penghasilan UMKM menjadi lebih tinggi lagi. Kesempatan ekspor produk UMKM merupakan peluang yang besar.
”Sebagai platform digital, kami melihat disrupsi ini bisa memberikan peluang pasar bagi UMKM. Ini menjadi tanggung jawab kami untuk membuka pasar UMKM menuju pasar global. Program ekspor yang dimulai Shopee sudah didukung 180 eksportir dengan 1,5 juta produk terjual setiap bulannya ke Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Brasil,” kata Handhika.