Pemerintah mencari cara lain untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon. Salah satunya dengan mematangkan dan mengevaluasi penerapan harga karbon atau nilai ekonomi karbon.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara saat ini tidak memadai untuk membiayai upaya mitigasi perubahan iklim sesuai target pengurangan emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, pemerintah menyiapkan rencana penerapan tarif emisi karbon atau pungutan karbon (carbon pricing) sebagai sumber baru pembiayaan pembangunan berkelanjutan.
Estimasi kebutuhan pendanaan untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca adalah sebesar Rp 3.461 triliun sampai tahun 2030 atau Rp 266,2 triliun per tahun. Estimasi itu berlaku sejak tahun 2018 dengan mengacu pada laporan Second Biennial Update Report (BUR-2).
Belakangan, setelah adanya peta jalan Nationally Determined Contribution (NDC), estimasi kebutuhan pendanaan untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca menjadi lebih tinggi, yakni Rp 3.779 triliun (jika menggunakan pembangkit listrik tenaga sampah/PLTSa) atau Rp 3.776 triliun (jika menggunakan pembangkit listrik refuse-derived fuel/RDF).
Artinya, mulai tahun 2021-2030, rata-rata pendanaan yang dibutuhkan setiap tahunnya memerlukan setidaknya alokasi Rp 343,6 triliun (dengan PLTSa) atau Rp 343,3 triliun (dengan RDF) dalam APBN.
Adapun target NDC Indonesia adalah menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 sebesar 29 persen atau setara 834 juta ton CO2 dengan usaha mandiri atau 41 persen (setara 1,08 miliar ton CO2) dengan bantuan internasional.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jumat (11/6/2021), mengatakan, biaya yang dibutuhkan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di Indonesia sangat tinggi. Sementara selama lima tahun terakhir, rata-rata realisasi belanja untuk perubahan iklim dalam APBN hanya Rp 86,7 triliun per tahun.
Dengan kata lain, Indonesia hanya mampu memenuhi 32,6 persen alokasi anggaran perubahan iklim dari total kebutuhan Rp 266,2 triliun setiap tahun. Oleh karena itu, menurut dia, upaya menurunkan emisi karbon tidak bisa hanya mengandalkan APBN. Ancaman krisis iklim harus dihadapi secara gotong royong dari pemerintah, swasta, sampai masyarakat.
”Angka yang dibutuhkan itu luar biasa, bahkan lebih besar daripada anggaran kesehatan kita di program pemulihan ekonomi nasional yang besarnya Rp 172 triliun,” kata Sri Mulyani saat membuka webinar bertajuk ”Climate Change Challenge: Preparing for Indonesia’s Green and Sustainable Future”.
Meski terbatas, ia mengatakan, pemerintah tetap berupaya memenuhi kebutuhan itu melalui instrumen fiskal, baik APBN maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Saat ini, ada 11 daerah yang melakukan uji coba mekanisme pendanaan regional untuk penanganan perubahan iklim.
Tahun ini, ada enam daerah lain yang juga akan ikut dalam uji coba mekanisme pendanaan perubahan iklim itu. ”Diharapkan lebih banyak kepala daerah yang meletakkan isu perubahan iklim ke dalam kebijakan prioritas mereka agar ada tenaga ganda dari pusat dan daerah,” katanya.
Nilai ekonomi karbon
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, peran APBN sebenarnya sangat vital sebagai instrumen fiskal untuk mendorong transformasi industri hijau. Namun, keterbatasan pendanaan menjadi kendala besar untuk mewujudkan target tersebut.
Di tengah keterbatasan kondisi APBN itu, pemerintah mencari cara lain untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon. Salah satunya mematangkan dan mengevaluasi penerapan harga karbon atau nilai ekonomi karbon (carbon pricing).
Menurut Febrio, penetapan harga karbon dalam berbagai bentuk bisa menjadi solusi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca serta menjadi sumber baru bagi pembiayaan pembangunan berkelanjutan. ”Dibutuhkan kombinasi kebijakan yang kuat dari segi fiskal dan keuangan. Di tengah kondisi pemulihan ekonomi ini, kami terus mempertimbangkan dan mengevaluasi penerapan carbon pricing,” kata Febrio.
Salah satu bentuknya adalah pajak karbon, yang saat ini tertuang dalam rancangan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) terkait perluasan obyek pajak pertambahan nilai (PPN). Adapun subyek pajak karbon adalah orang atau perusahaan yang membeli barang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan karbon.
Di saat bersamaan, kontribusi swasta untuk melakukan investasi hijau juga didorong melalui berbagai fasilitas perpajakan. Antara lain, pembebasan pajak atau pemberian diskon pajak 100 persen hingga 20 tahun (tax holiday), keringanan pajak untuk bisnis panas bumi (geotermal), pembangkit listrik energi terbarukan, dan industri bioenergi.
Ada pula beberapa fasilitas yang khusus untuk mendorong eksplorasi panas bumi, seperti pembebasan PPN dan pembebasan pajak impor untuk kegiatan panas bumi, serta pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan hingga 100 persen untuk tahap eksplorasi panas bumi.
Secara terpisah, Ekonom Bank Mandiri Dendi Ramdani menilai, di tengah kondisi APBN yang terbatas untuk menangani ancaman perubahan iklim, penerapan pungutan karbon bisa menjadi mekanisme untuk mengurangi dampak negatif dari kegiatan atau sektor yang menghasilkan emisi karbon.
Namun, pemerintah harus memiliki peta jalan yang jelas dan mendetail terkait mekanisme pemungutan, sektor-sektor usaha yang akan dipunguti tarif karbon, ataupun alokasi penerimaan dari hasil pungutan itu untuk upaya pengendalian perubahan iklim.
”Pendapatan dari pungutan karbon itu harus jelas peruntukannya bahwa memang akan digunakan untuk upaya menetralisir polusi karbon, seperti program reforestasi dan memelihara hutan, jangan sampai seolah-olah dipakai untuk menambal defisit APBN di tengah kondisi krisis,” ujarnya.