BBM jenis premium di Indonesia seluruhnya adalah produk impor dan berkualitas paling rendah dibandingkan jenis gasolin yang lain. Ketidaktegasan pemerintah mengenai rencana penghapusan premium hanya menyisakan wacana.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasan ASEAN yang masih mengonsumsi bahan bakar minyak jenis premium. Di dunia, ada enam negara lain yang melakukan hal sama, yaitu Bangladesh, Kolombia, Mesir, Mongolia, Ukraina, dan Uzbekhistan. Bahan bakar kotor ini tak pernah berhenti direncanakan untuk dihapuskan peredarannya di Indonesia.
Adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif yang kembali melontarkan wacana pengurangan pasokan premium di wilayah Jawa-Bali. Hal itu ia sampaikan dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR pada Rabu (2/6/2021). Menurut dia, alasan lingkungan yang lebih bersih menjadi argumen untuk mengurangi pasokan premium, khususnya di Jawa-Bali.
Dengan angka oktan (RON) 88, premium disebut sebagai BBM paling kotor untuk kelompok gasolin (bensin). Di atasnya ada pertalite (RON 90), pertamax (RON 92), dan pertamax turbo (RON 98). Sebenarnya, masih ada satu lagi jenis pertamax yang paling tinggi kelasnya di kelompok gasolin, yaitu pertamax racing dengan RON 100. BBM jenis ini dikhususkan untuk kendaraan balap.
Wacana pengurangan pasokan premium dan penghapusan premium di pasar Indonesia bukanlah hal baru. Pada akhir 2014 atau di awal pemerintahan periode pertama Presiden Joko Widodo, premium direkomendasikan untuk dihapuskan dari pasaran. Rekomendasi itu keluar dari Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi yang saat itu diketuai Faisal Basri.
Alasan lingkungan yang lebih bersih menjadi argumen untuk mengurangi pasokan premium, khususnya di Jawa-Bali.
Alasan penghapusan premium ketika itu adalah Indonesia menjadi satu-satunya pembeli bensin RON 88 dan tidak memiliki kuasa sedikit pun dalam proses penentuan harga. Sistem itu membuka peluang terjadinya kartel di tingkat penjual (Kompas, 22/12/2014). Tak lama kemudian, PT Pertamina (Persero) menyatakan siap menghapus premium dan perlu masa transisi selama dua tahun untuk beralih sepenuhnya dengan menggunakan pertamax (Kompas, 2/1/2015).
Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Premium, yang dalam perpres itu dikategorikan sebagai BBM khusus penugasan, didistribusikan di seluruh wilayah Indonesia, kecuali di Jawa dan Bali. Selain itu, Pertamina juga mengeluarkan produk BBM baru bernama pertalite pada Juli 2015. Sebenarnya, pertalite adalah usaha perlahan untuk menghapus premium dari pasaran.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah membatalkan aturan tersebut dengan merevisi Perpres No 191/2014 tersebut. Dalam Perpres No 43/2018 yang merupakan hasil revisi disebutkan bahwa BBM khusus penugasan (premium) dapat didistribusikan di wilayah yang dikecualikan. Artinya, premium ”dipaksa” kembali untuk dijual di wilayah Jawa dan Bali (Kompas, 10/4/2018).
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan peraturan bernomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan Kategori O. Dalam aturan penggunaan BBM bagi kendaraan roda empat itu, RON minimal yang dipersyaratkan adalah 91. Produk BBM di Indonesia yang memenuhi kriteria itu adalah jenis pertamax dengan RON 92.
Alasan penghapusan premium ketika itu adalah Indonesia menjadi satu-satunya pembeli bensin RON 88 dan tidak memiliki kuasa sedikit pun dalam proses penentuan harga.
Namun, sampai sekarang premium masih tersedia di banyak SPBU dengan harga Rp 6.450 per liter. Tahun ini, kuota premium di Indonesia sebanyak 10 juta kiloliter. Untuk wilayah Jawa-Bali, alokasi premium sebanyak 3,45 juta kiloliter dan sisanya diperuntukkan di luar Jawa-Bali. Pada 2020, kuota premium di seluruh Indonesia mencapai 11 juta kiloliter.
Selain itu, status premium dalam tata administrasi keuangan negara ”abu-abu”. Premium tidak dimasukkan sebagai bahan bakar bersubsidi. Dalam APBN, hanya solar dan minyak tanah yang dikategorikan sebagai BBM bersubsidi. Namun, pemerintah memberikan dana kompensasi kepada Pertamina sebagai akibat selisih harga jual (Rp 6.450 per liter) dengan harga sesungguhnya (yang lebih mahal). Kurang bayar kompensasi pemerintah kepada Pertamina untuk penyaluran premium di 2019 mencapai Rp 15 triliun.
Apabila pemerintah sungguh-sungguh berniat menghapus peredaran premium dari pasaran demi alasan lingkungan atau pengurangan polusi, sebaiknya rencana itu diwujudkan dengan konsisten. Soal konsekuensi harga untuk BBM yang lebih bersih dan sedikit lebih mahal harus ditemukan solusinya. Toh, pemerintah juga berani memberi kompensasi untuk premium yang disebut BBM kotor. Untuk yang lebih bersih, kenapa tidak?