Pelarangan total iklan rokok telah masuk menjadi kebijakan pembangunan jangka menengah nasional 2020-2024.
Oleh
Mediana
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelarangan iklan rokok di media massa menjadi salah satu pertimbangan kebijakan yang bisa diambil pemerintah untuk mencegah semakin banyak anak dan remaja merokok. Wacana kebijakan ini telah berulang kali diserukan, tetapi perumusan serta implementasinya sukar terlaksana.
Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nancy Dian Anggraeni, saat webinar ”Kebijakan Iklan, Promosi, Sponsor Rokok dan Kontribusi Akademisi Komunikasi”, Sabtu (12/6/2021), di Jakarta, mengatakan, dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 disebutkan peningkatan cukai hasil tembakau secara bertahap dengan mitigasi bagi petani tembakau dan pekerja industri hasil tembakau. Sejalan dengan hal itu, pelarangan iklan dan promosi rokok, serta pencantuman peringatan bergambar bahaya merokok dijalankan.
Sebelumnya, kata dia, pemerintah telah menetapkan pembatasan ataupun pengendalian iklan rokok melalui sejumlah regulasi. Misalnya, Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2019 tentang Kesehatan, UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, dan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Menurut Nancy, pada RPJMN lima tahun sebelumnya, target prevalensi anak dan remaja merokok sebesar 5,4 persen. Namun, target itu tidak tercapai. Prevalensinya justru naik menjadi 9,1 persen.
Target RPJMN 2020-2024, prevalensi anak dan remaja merokok harus turun menjadi 8,7 persen. Berbagai intervensi kebijakan akan dilakukan pemerintah, seperti melanjutkan kebijakan kawasan tanpa asap rokok dan kawasan ramah anak melalui peraturan daerah.
Sejumlah keyakinan bahwa iklan, promosi, ataupun sponsor rokok di media massa memengaruhi anak dan remaja merokok, pun, tak lepas dari pengamatan pemerintah. Nancy menyampaikan, di antara negara-negara di Asia, hanya Indonesia dan Korea Utara yang belum menerapkan pelarangan menyeluruh iklan rokok di media massa. Hal itu sesuai dengan ”WHO Report on The Global Tobacco Epidemic” di tahun 2019.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan telah memuat pasal-pasal tentang pengendalian iklan rokok. Namun, kami menilai beberapa substansi PP itu tidak lagi relevan dengan perkembangan tren terkini serta agenda kebijakan pemerintah.
”Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan telah memuat pasal-pasal tentang pengendalian iklan rokok. Namun, kami menilai beberapa substansi PP itu tidak lagi relevan dengan perkembangan tren terkini serta agenda kebijakan pemerintah,” kata Nancy.
Koordinator Pengendalian Sistem Elektronik dan Konten Internet Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Anthonius Malau mengatakan, Pasal 26 Ayat (1) PP No 109/2012 menyebutkan bahwa pemerintah melakukan pengendalian iklan produk tembakau. Sementara Pasal 26 Ayat (2) menjelaskan bahwa pengendalian itu dilakukan pada media cetak, media penyiaran, media teknologi informasi, ataupun media luar ruang.
Macam-macam pengendalian yang dimaksud dalam pasal itu mencakup, antara lain, mencantumkan peringatan kesehatan, tidak menampilkan anak dan remaja, dan tidak memunculkan nama produk bersangkutan dengan rokok.
Di ranah internet, sejalan dengan semangat kebijakan itu, terdapat UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Informasi Transaksi Elektronik, PP Nomar 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, dan Peraturan Menkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat. Selain media massa yang mempunyai laman, pemain lokapasar nasional dan aplikasi internet tunduk pada tiga aturan tersebut.
Hingga sekarang, dia menyebutkan, sudah ada dua lokapasar nasional turut mengendalikan konten iklan, promosi, dan sponsor rokok. Misalnya, Tokopedia dan Blibli. Apabila ada konsumen ingin membeli rokok, sistem dua lokapasar itu langsung mendeteksi dan meminta kurasi usia.
Namun, Pasal 39 PP No 109/2012 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menyiarkan dan menggambarkan dalam bentuk gambar atau foto, menayangkan, menampilkan, atau menampakkan orang sedang merokok, memperlihatkan batang rokok, asap rokok, atau hal yang lain berhubungan dengan produk tembakau di media cetak, penyiaran, dan teknologi informasi yang berhubungan dengan kegiatan komersial/iklan.
Menurut Anthonius, substansi itu bertolak belakang dengan Pasal 26 PP No 109/2012. Di masyarakat menjadi timbul ambiguitas. Bagi Kemenkominfo pun menjadi tidak mudah untuk memblokir konten iklan, promosi, ataupun sponsor rokok. Sebagai gantinya, Kemenkominfo melakukan penurunan konten.
Kami mendukung arahan RPJMN 2020-2024 untuk pelarangan total iklan rokok. Ketegasan semacam itu sudah seharusnya terangkum dalam regulasi (revisi PP No 109/2012). Dalam hukum tidak boleh ada analogi.
”Kami mendukung arahan RPJMN 2020-2024 untuk pelarangan total iklan rokok. Ketegasan semacam itu sudah seharusnya terangkum dalam regulasi (revisi PP No 109/2012). Dalam hukum tidak boleh ada analogi,” katanya.
Belanja iklan
Wakil Rektor IV London School of Public Relations (LSPR) Lestari Nurhajati mengatakan, belanja iklan tahun 2020 di media massa mencapai Rp 229 triliun. Jumlah ini mengalir 60 persen ke televisi, 25 persen media massa daring, dan 15 persen ke media massa lainnya. Tahun sebelumnya, belanja iklan ke media massa Rp 182 triliun dan mengalir 65 persen ke televisi, 21 persen media massa daring, dan 14 persen ke media massa lainnya. Selama dua tahun itu, iklan rokok termasuk 10 besar kategori belanja iklan dengan nilai terbesar, sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Temuan beberapa peneliti pegiat kesehatan menunjukkan empat dari tujuh anak dan remaja di Indonesia merokok berkaitan dengan isu komunikasi. Misalnya, melihat kemasan rokok, sponsor rokok, promosi rokok, menonton iklan rokok di televisi, melihat iklan rokok di media luar ruang, dan melihat postingan rokok di media sosial. Temuan riset tersebut, kata Lestari, sejalan dengan penelitian LSPR terkait konsumsi remaja terhadap internet.
”Anak dan remaja tidak menyadari konten iklan, sponsor, dan promosi rokok, meski mereka terpapar konten tersebut di internet. Namun, (alam) bawah sadar mereka tetap merekam hal itu,” kata Lestari yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Asosiasi Akademisi Komunikasi untuk Pengendalian Tembakau.
Riset lanjutan yang LSPR kerjakan menunjukkan 59 persen remaja sebenarnya mengetahui tujuan iklan rokok. Tiga dari empat remaja mendapati iklan rokok di media daring. Sebanyak 47 persen remaja mengatakan, iklan rokok sangat kreatif. Sebanyak 44,5 persen remaja paham pesan di balik iklan dan 11 persen di antaranya tertarik dengan iklan rokok.
Penyedia platform daring di internet punya kebijakan melarang iklan rokok secara terang-terangan. Hanya saja, konten rokok yang dikemas promosi biasanya tetap lolos dan ditayangkan oleh penyedia platform daring.
Adapun di industri media massa, Lestari tidak memungkiri adanya ekonomi politik setiap perusahaan, meskipun secara individu, ada beberapa pekerja media yang mendukung antirokok. Hal ini menyebabkan tidak mudahnya pelaksanaan pelarangan total iklan, promosi, ataupun sponsor rokok jika jadi diterapkan.
Adapun di industri media massa, Lestari tidak memungkiri adanya ekonomi politik setiap perusahaan, meskipun secara individu, ada beberapa pekerja media yang mendukung antirokok. Hal ini menyebabkan tidak mudahnya pelaksanaan pelarangan total iklan, promosi, ataupun sponsor rokok jika diterapkan.
”Idealnya, iklan, sponsor, dan promosi rokok di media dilarang total. Jika susah, Indonesia bisa mulai memperkuat pengendalian,” katanya.
P3SPS
Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI) Mochamad Riyanto, secara terpisah, mengatakan, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebagai regulasi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengatur pembatasan iklan dan promosi rokok di lembaga penyiaran. Selama ini, iklan rokok menjadi salah satu penyumbang besar pendapatan lembaga penyiaran.
”Pendapatan dari iklan pada dasarnya untuk menyangga beban biaya operasional dan produk siaran televisi yang bersiaran. Kalau iklan itu dilarang total, akan berpengaruh terhadap perolehan pendapatan,” ujarnya.
Menurut dia, pengaturan iklan melalui P3SPS sudah dapat dipahami oleh semua lembaga penyiaran. Dia mengklaim, pemilik media telah mematuhi. ATVNI hingga sekarang belum diajak pemerintah untuk membahas rencana kebijakan pelarangan konten iklan, promosi, ataupun sponsor rokok di media.