Produsen Pakaian Jadi Berharap Pengamanan Perdagangan Segera Diterapkan
Harga jual pakaian jadi yang diproduksi industri kecil dan menengah tidak bisa berkompetisi dengan barang impor. Mereka berharap mendapatkan perlindungan dalam menggarap pasar dalam negeri.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pelaku industri tekstil berharap, tindakan pengamanan perdagangan atau safeguard terhadap produk pakaian jadi dapat diterapkan. Implementasi kebijakan tersebut dapat melindungi produsen pakaian jadi di pasar dalam negeri yang mayoritas berskala industri kecil dan menengah atau IKM.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa menyatakan, konsumsi domestik menjadi pangsa pasar IKM pakaian jadi yang rata-rata memiliki 10-30 mesin jahit dan 20-30 orang penjahit. "Ketika impor menyerbu, misalnya hijab dan gamis, IKM terhantam. Oleh sebab itu, kami mengajukan safeguards untuk melindungi pelaku IKM. Skema yang diajukan berupa nilai spesifik, bukan persentase terhadap harga," katanya dalam konferensi pers secara daring yang diadakan Kamis (10/6/2021).
Berdasarkan survei yang dilakukan, Ketua Organisasi Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung Nandi Herdiaman menyebutkan, sekitar 40 persen mesin jahit IKM telah dijual. "Kami tidak bisa berkompetisi dengan barang impor (dari sisi harga jual). Misalnya, ada kerudung dengan harga jual Rp 6.000. Padahal, harga pokok produksi kami di atas itu, termasuk ongkos jahit dan beli bahan. Kami berharap, ada kesempatan untuk menggarap pasar lokal supaya IKM sejahtera," tuturnya dalam kesempatan yang sama.
Harapan itu muncul salah satunya karena Laporan Akhir Hasil Penyelidikan Tindakan Pengamanan Perdagangan terhadap Impor Barang Pakaian dan Aksesori Pakaian yang diterbitkan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia pada Februari 2021.
Laporan itu menyimpulkan, hasil penyelidikan membuktikan adanya ancaman kerugian serius yang dialami industri dalam negeri akibat lonjakan jumlah impor barang yang diselidiki. API yang mewakili 278 perusahaan industri dalam negeri menjadi pihak pemohon dalam penyelidikan tersebut.
Bukti itu salah satunya berasal dari pangsa pasar industri dalam negeri pemohon dan non-pemohon sepanjang 2017-2019 masing-masing turun 6,65 persen dan 3,53 persen, sedangkan pangsa impor naik 9,6 persen. Padahal, indeks konsumsi nasional terhadap kapasitas terpasang nasional cenderung naik, yakni sebesar 89,15 pada 2017, kemudian 91,05 (2018), dan 91,14 (2019).
Ada tujuh segmen produk impor yang diselidiki, yaitu atasan kasual, atasan formal, bawahan, serta setelan, ensemble, dan gaun. Ada juga outerwear (luaran), pakaian bayi, serta headwear dan neckwear (syal dan dasi).
Ketujuh segmen itu akan dikenakan bea masuk tindak pengamanan (BMTP) selama tiga tahun berturut-turut dengan nilai tertentu per potong (piece). Misalnya, segmen produk atasan formal impor akan dikenakan BMTP sebesar Rp 156.979 per potong pada tahun pertama, Rp 145.959 per potong pada tahun kedua, dan Rp 135.713 per potong pada tahun ketiga. Dengan skema waktu yang sama, segmen produk pakaian bayi impor akan dikenakan BMTP secara berturut-turut sebesar Rp 32.043 per potong, kemudian Rp 29.785 dan Rp 27.694.
Penerapan tindak pengamanan perdagangan tersebut disertai dengan penyesuaian struktural sepanjang 2021-2022 dalam industri yang memproduksi ketujuh segmen itu. Penyesuaian dilakukan dari sisi produksi dan teknologi, pemasaran, penelitian dan pengembangan, serta sumber daya manusia. Harapannya, pemohon dapat bersaing dengan barang impor ketika penerapan tindak pengamanan perdagangan berakhir.
Importir dan pedagang mengisi celah kenaikan permintaan, utamanya pakaian jadi, pada Ramadhan-Lebaran 2021 dengan produk impor. Akibatnya, utilitas industri turun menjadi 50-55 persen saat ini.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wirawasta menambahkan, rata-rata utilisasi industri dalam ekosistem tekstil dan produk tekstil pada dua bulan pertama 2021 berkisar 70-75 persen. Akan tetapi, importir dan pedagang mengisi celah kenaikan permintaan, utamanya pakaian jadi, pada Ramadhan-Lebaran 2021 dengan produk impor. Akibatnya, utilitas industri turun menjadi 50-55 persen saat ini. Apabila kondisi ini berlarut, dia khawatir, utilitas akan turun ke bawah 50 persen.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (APREGINDO) Handaka Santosa menyatakan garmen merek global adalah pelengkap produk lokal. "Bea masuk impor garmen saat ini sebesar 25 persen, apakah ini tidak cukup? Pengenaan BMTP ke semua produk (garmen) akan jadi beban tambahan sekitar 25-70 persen dan membuat harga di Indonesia jauh lebih mahal," katanya saat dihubungi.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menilai, rencana penerapan tindak pengamanan perdagangan pada produk garmen patut dipertimbangkan secara mendalam, karena dapat mengakibatkan semakin maraknya impor barang secara ilegal. "Solusi yang bersifat sementara adalah jika pemerintah tetap memberlakukan safeguards, penerapan harus selektif dan tidak diimplementasikan pada semua kategori pakaian jadi," katanya.