Pada masa depan akan muncul berbagai pekerjaan aneh untuk pandangan orang saat ini, seperti kurator memori personal, detektif data, analis siber perkotaan, manajer portofolio genom, dan perancang baju digital.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
”Lalu di Hindia Belanda muncul kereta api, pabrik gula, pabrik beras, dan sebagainya. Pabrik-pabrik itu bisa menyewa tanah dan membeli hasil bumi buat diolah di pabrik. Karena itu pekerjaan petani terdesak. Sudah barang tentu terdesaknya berbagai pekerjaan asli milik bumiputera itu ada imbangannya dengan datangnya berbagai pekerjaan baru”.
Laporan itu diungkap seorang sosok bernama Kadiroen yang menjadi pamong praja Hindia Belanda kepada atasannya di dalam novel Hikajat Kadiroen. Karya sastra yang ditulis oleh Semaoen seabad lalu mengungkap kegalauan aparat dan warga ketika teknologi seperti pabrik gula dan kereta api muncul di Tanah Air. Beberapa pekerjaan baru itu adalah tukang besi di bengkel, tenaga percetakan, masinis, kondektur kereta api, sopir, dan lain-lain.
Pekerjaan-pekerjaan lama mati dan pekerjaan-pekerjaan baru muncul. Kemajuan tengah terjadi di Hindia Belanda. Laporan itu menyebutkan, negeri ini menjadi tambah ramai, tetapi juga tambah ruwet. Orang-orang desa berpindah ke kota untuk mencari pekerjaan. Keramaian itu membutuhkan tenaga-tenaga yang pintar menulis dan menghitung. Oleh karena itu, sekolah harus ditambah. Kemajuan itu juga memiliki pertanyaan, apakah rakyat sudah makmur? Sekalipun Hikajat Kadiroen adalah novel, tetapi berhasil memberikan gambaran kehidupan pada zamannya.
Kegalauan yang sama kini tengah terjadi ketika teknologi digital hadir di tengah-tengah kita secara masif. Tidak mengherankan apabila kita masuk ke dalam mesin pencari di internet, maka banyak artikel tentang ramalan profesi-profesi yang akan muncul pada masa depan. Banyak pekerjaan lama yang bakal hilang dan kini semua orang harus mempersiapkan diri untuk pekerjaan baru. Orang yang mengeluh dan tidak bisa menaikkan kapasitasnya akan tergulung.
Jauh sebelum kegalauan saat ini, banyak ahli telah berbicara mengenai fenomena seperti itu dan menyarankan cara menaikkan kapasitas kita. Pada tahun 1962, arsitek ternama, Buckminster Fuller, yang mengkritik dunia pendidikan, membuat buku berjudul Comprehensive Learning for Emergent Humanity. Ia memprediksi bahwa teknologi otomasi akan membuat sejumlah pekerjaan menjadi kuno. Orang perlu melakukan reedukasi atau mendidik kembali dirinya agar tetap bisa mengikuti perkembangan.
Dalam sebuah wawancara tahun 1966, Fuller telah meramalkan bahwa pendidikan akan menjadi pendidikan seumur hidup, pendidikan dipermudah karena kehadiran teknologi dan orang akan semakin banyak untuk belajar di rumah. Guru yang hebat bukan lagi guru yang hadir di kelas, melainkan guru yang pintar membuat bahan ajar melalui video (film). Para guru dan ahli semakin memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengembangkan pengetahuan tentang pengalaman manusia pada masa lalu, sekarang, dan masa depan.
Melalui eksplorasi manusia itu, dengan tanpa memperhatikan konsep-konsep yang telah ada, orang akan menemukan pola-pola yang akan membimbing manusia ke dalam reorganisasi masyarakat. Reorganisasi itu akan menguntungkan semua kalangan. Oleh karena itu, Fuller lebih mengedepankan mahasiswa-mahasiswanya untuk berpikir secara bebas dan mandiri meski ia tetap menekankan tentang daya kritis dan kesangsian yang tetap menjadi basis dalam pendidikan.
Pernyataan Fuller masih aktual untuk dibahas. Ramalannya tidak banyak melenceng. Apalagi di tengah pandemi, orang diajak untuk lebih terampil berpikir dan belajar secara independen. Daya kritis juga tetap menjadi modal dasar di tengah berbagai perusahaan tidak lagi melihat latar belakang pendidikan. Mereka lebih melihat kemampuan personal dibandingkan dengan asal-usul atau latar belakang pendidikan tinggi.
Di tengah kecenderungan otomasi yang akan menekan kebutuhan jumlah kebutuhan tenaga kerja, maka daya kritis memang tak tergantikan. Dua tahun lalu lembaga nirlaba Brooking Institute memperkirakan 25 persen dari jumlah pekerjaan di Amerika Serikat, terutama pekerjaan berulang dan membosankan, akan digantikan oleh mesin otomasi, sementara 37 persen memiliki risiko sedang untuk digantikan oleh mesin.
Prediksi McKinsey menyebutkan, pada tahun 2030 dunia akan kehilangan sekitar 800 juta pekerjaan yang sekarang masih dikerjakan oleh manusia. Ramalan yang dibuat oleh Universitas Oxford menyebutkan, pada tahun 2040 sekitar 40 persen tenaga kerja di negara-negara maju akan hilang. Sangat mungkin prediksi ini akan lebih cepat terjadi dibanding perkiraan karena teknologi digital berlari lebih kencang.
Saran dari berbagai lembaga itu juga sama dengan yang diungkapkan oleh Fuller. Para karyawan harus melakukan pelatihan ulang agar bisa menangani sejumlah pekerjaan baru yang hampir seluruhnya berbasis teknologi digital. Pada masa depan akan muncul berbagai pekerjaan aneh untuk pandangan orang saat ini, sebut saja kurator memori personal, detektif data, analis siber perkotaan, manajer portofolio genom, perancang baju digital, chief trust officer, dan lain-lain.
Melihat fenomena itu, maka kita layak mempertanyakan kesiapan metoda dan sistem pendidikan kita. Sebagai orangtua sangat boleh jadi akan salah membuat ancang-ancang pendidikan anak jika tidak memahami perkembangan zaman. Perencanaan yang salah akan membuat anak-anak kehilangan kesempatan pada masa depan. Dalam hal ini bukan hanya soal kemampuan menggunakan teknologi atau berbahasa saja seperti yang sering kita dengar dalam gosip-gosip orangtua saat ini.
Semua ahli yang berbicara mengenai pekerjaan baru lebih menyinggung tentang kemampuan berpikir sistematis, bekerja di dalam lingkungan yang tak pasti, multikulturalisme, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan berorganisasi. Kemampuan teknis menjadi kemampuan yang penting. Namun, jika melihat proporsinya, lebih banyak kemampuan ”perangkat lunak” yang dibahas oleh berbagai kalangan.