Infrastruktur dan Layanan Kesehatan jadi Prioritas Investasi INA
Sejak terbentuk Februari lalu berdasar amanat UU Cipta Kerja, Indonesia Investment Authority (INA) atau Lembaga Pengelola Investasi memfokuskan pembiayaan pada sektor Infrastruktur dan layanan kesehatan .
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS- Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority (INA) memprioritaskan untuk menarik investor di sektor infrastruktur dan pelayanan kesehatan. Kebutuhan pendanaan yang belum bisa dipenuhi pada sektor infrastruktur, menjadi peluang bagi investor. Begitu pula peningkatan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia juga bisa menjadi kesempatan bagi investor.
Hal tersebut disampaikan Ketua Dewan Direktur atau Chief Executive Officer (CEO) INA Ridha Wirakusumah pada seminar virtual bertajuk “Sovereign Wealth Fund Utility: Allocation and Absorption” yang diselenggarakan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Kamis (10/6/2021).
Selain Ridha, hadir pula sebagai pemateri Mantan CEO of Invest AD (Abu Dhabi) Nazem Al Kudsi, CEO of Perfectum Capital Mikhail Zybin, Deputy Director VEB.RF Julia Zvorykina, dan Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Jasa Marga (Persero) Tbk Donny Arsal. Turut hadir memberikan kata sambutan Presiden Direktur LPPI Mirza Adityaswara.
Invest AD, Perfectum Capital, VEB RF adalah perusahaan atau entitas pengelola investasi. Invest AD berasal dari Abu Dhabi, sedangkan Perfectum Capital dan VEB RF berasal dari Rusia.
Ridha menjelaskan, INA akan fokus menarik investor untuk pengembangan sektor infrastruktur dan layanan kesehatan. “Infrastruktur dan layanan kesehatan menjadi kebutuhan yang ingin diwujudkan pemerintah. Disini investor bisa ikut berpartisipasi,” ujar Ridha.
Ia menjelaskan, keterlibatan investor diperlukan karena Indonesia butuh dana untuk pembangunan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menyebutkan, kebutuhan pendanaan infrastruktur mencapai Rp 6.445 triliun, sedangkan kemampuan pemerintah untuk mendanai hanya sebesar Rp 2.385 triliun atau hanya sekitar 37 persen dari total kebutuhan. Dalam paparan INA, dana itu rencananya digunakan utamanya untuk pembangunan jalan tol, pelabuhan.
“Sampai 2020, Indonesia sudah memiliki total 2.028 kilometer jalan tol. Sebanyak 1.648 kilometer lainnya sedang proses konstruksi. Rencananya Indonesia akan menambah 10.351 kilometer lagi di seluruh Indonesia. Pelabuhan juga akan dibangun untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan logistik,” ujar Ridha.
Keseriusan INA dalam menarik investor untuk pendanaan jalan tol, lanjut Ridha tercermin dengan berhasilnya INA menjalin kerjasama dengan sejumlah entitas investasi untuk pembangunan jalan tol. Pada pertengahan Mei lalu, INA menjalin kerjasama dengan Caisse de dépôtet placement du Québec (CDPQ),APG Asset Management (APG), dan anak usaha dari Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) untuk investasi pembangunan jalan tol. Ini merupakan kesepakatan investasi perdana INA sejak dibentuk pada pertengahan Februari lalu.
Seperti halnya infrastruktur, Ridha mengatakan, Indonesia membutuhkan investor untuk pengembangan layanan kesehatan. Menurut analysis McKinsey 2017, seperti dikutip Ridha, Indonesia baru memiliki 12 tempat tidur per 10.000 penduduk Indonesia.
Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan rerata negara yang tergabung dalam OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yakni 39 tempat tidur per 10.000 penduduk. Negara-negara yang tergabung dalam OECD antara lain Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Inggris, dan lain-lain.
“Pelayanan kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi,” ujar Ridha.
Selain infrastruktur dan layanan kesehatan, sektor lain yang juga akan difokuskan untuk menjaring investor adalah sektor infrastruktur digital dan energi terbarukan.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Jasa Marga (Persero) Tbk Donny Arsal menjelaskan, bisnis jalan tol memerlukan waktu tahunan karena proses pembangunannya yang tak bisa singkat. Mulai dari pembebasan lahan, pembangunan konstruksi, dan pengoperasian. Hal ini seringkali menjadi tantangan menjaga keseimbangan arus kas dan neraca keuangan perusahaan.
“Biasanya memerlukan waktu 3-5 tahun dari pengoperasian untuk bisa menciptakan arus kas yang positif sehingga bisa menalangi bunga pinjaman,” ujar Donny.
Ia menambahkan, keberadaan INA bisa meringankan beban keuangan perusahaan dalam pembangunan jalan tol. “Ini bisa membantu menyeimbangkan struktur permodalan Jasa Marga, sehingga rasio ekuitas terhadap utang (DER) bisa dikurangi dan rasio beban tidak langsung (ICR) bisa membaik,” ujar Donny.
Pada kesempatan itu, Nazem Al Kudsi, Mikhail Zybin, dan Julia Zvorykina membenarkan pernyataan Donny. Mereka mengatakan, keberadaan Sovereign Wealth Fund (SWF) seperti INA, secara mikro bisa meringankan beban dana perusahaan dalam pembangunan. Adapun secara makro, keberadaan SWF bisa menjadi motor penggerak ketika negara membutuhkan dana jumbo untuk pembangunan.
INA adalah SWF yang dimiliki Indonesia. Ini dibentuk untuk menjadi pengelola investasi yang akan dialokasikan untuk pembangunan. INA terbentuk berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi.