Indonesia Mencari Cara Atasi ”ODOL”
Sekian lama penindakan terhadap pelanggar kelebihan dimensi dan muatan kendaraan komersial terjadi tarik ulur. Siapa yang menarik, siapa pula yang mengulur?
Sekian lama penindakan terhadap pelanggar over dimension over loading (ODOL) atau kelebihan dimensi dan muatan kendaraan komersial terjadi tarik ulur. Yang menarik ataupun yang mengulur tampaknya lebih memandang beratnya efek domino dampak perekonomian yang ditimbulkan apabila kebijakan zero ODOL diterapkan secara ketat.
Ironisnya, hampir setiap diskusi menyangkut pelanggaran ODOL selalu dikedepankan kerugian negara sebesar Rp 43 triliun per tahun. Kerugian itu hampir setara untuk membangun 10 Jembatan Suramadu (panjang 5.438 meter), jembatan terpanjang di Indonesia saat ini, yang nilainya sekitar Rp 4,5 triliun.
Tentu, terlihat begitu tegas. Tidak main-main lagi. Bukti keseriusan dalam bertindak. Sebuah bodi truk yang kelebihan dimensi dipotong di sela-sela pembukaan Gaikindo Indonesia International Commercial Vehicle Expo 2020 di Jakarta Convention Center, awal Covid-19 merebak di Indonesia.
Secara akumulasi, Direktorat Jenderal Lalu Lintas Jalan Kementerian Perhubungan menunjukkan, selama 2017-2020, proses penanganan pelanggaran ODOL di jalan tol Jakarta-Bandung sudah menindak berupa pemotongan bodi kendaraan atau disebut normalisasi sebanyak 1.283 unit. Sementara, penindakan terhadap kelebihan muatan mencapai 8.231 unit. Pelaksanaan bebas ODOL juga dilakukan di Pelabuhan Penyeberangan Merak-Bakauheni dan Ketapang-Gilimanuk.
Ironisnya, hampir setiap diskusi menyangkut pelanggaran ODOL selalu dikedepankan kerugian negara sebesar Rp 43 triliun per tahun.
Baca juga: Indonesia Belajar Atasi Pelanggaran Muatan Berlebih dari Negara Lain
Data penindakan ini pun diungkapkan dalam webinar internasional ”Benchmarking on the Regulation and Policy on Overdimension And Overloading Trucking Against Other Countries”, Kamis (3/6/2021). Uniknya, dari seluruh narasumber yang berasal dari Amerika Serikat, Perancis, Korea Selatan, dan Thailand, tak satu pun menyajikan penindakan berupa tindakan ekstrem memotong bodi truk. Sementara, berbagi pengalaman skala internasional ini kelak menjadi acuan bagi Kemenhub untuk menentukan kebijakan bebas ODOL yang diyakini akan terlaksana tahun 2023.
Empat pembicara mengemukakan denda atas kelebihan beban. Denda itu pun dilakukan secara proporsional sesuai batasan pelanggarannya. Nilai denda itu terlihat kecil, tetapi akumulasi atas kelipatan terhadap besaran kelebihan muatannya sesungguhnya tidak main-main.
Bahkan, di Amerika Serikat, kelebihan beban yang sudah melebihi batas maksimalnya, sanksi pelanggarannya berupa tilang kendaraan dan kendaraan pun disita. Tidak sampai di situ, tenggat pembayaran denda ditentukan kurun waktu 90 hari sehingga mengabaikan denda berujung pada tindakan pengadilan setempat berupa lelang kendaraan tersebut.
Besaran denda diharapkan dapat membuat efek jera. Suratin Tunyaplin, Managing Director Suwanpisarn Transportation 2010 CoLtd, menyebutkan, pelanggaran ODOL di Thailand sudah sampai penyitaan kendaraan. Denda yang dikenakan mencapai 100.000 baht atau mencapai 3.300 dollar AS (hampir Rp 46 juta). Belum lagi, ada sanksi penjara dan penyitaan truk karena kelebihan beban sudah dianggap tindakan kriminal.
Keempat negara tersebut memang menerapkan pengawasan dengan teknologi fixed/static truck scale dan weight in motion (WIM). Sekali lagi, basisnya adalah denda. Namun, Pemerintah Korea Selatan lebih menegaskan, peralatan teknologi WIM ini pun harus tersertifikasi untuk memenuhi standar sehingga bentuk pelanggarannya teridentifikasi secara sistematis dan akurat.
Apabila pelanggar memanipulasi alat dalam kendaraan dan tidak mematuhi aturan beban, sanksi pidana penjara 1 tahun atau denda di bawah 10 juta won atau sekitar Rp 128 juta siap dikenakan kepada pelanggarnya.
Baca juga: Pengawasan Truk Berlebih Ukuran Mulai dari Industri Karoseri
Tentunya, sosialisasi terhadap teknologi ini menjadi pekerjaan besar agar diterima oleh instansi terkait, termasuk para pelaku usaha jasa transportasi. Apabila pelanggar memanipulasi alat dalam kendaraan dan tidak mematuhi aturan beban, sanksi pidana penjara 1 tahun atau denda di bawah 10 juta won atau sekitar Rp 128 juta siap dikenakan kepada pelanggarnya.
”Sistem WIM perlu pengukuran yang akurasi dan kredibilitasnya pun tersertifikasi terlebih dahulu untuk memenuhi standar yang bisa diterima semua pihak,” ujar Sue Park, General Manager ITS Korea Selatan.
Efek jera
Dari ukuran penindakan, tak ada satu pun negara yang menerapkan pemotongan bodi kendaraan sebagai efek jera. Mungkin saja tindakan pemotongan ini membutuhkan tenaga ekstra dan biaya. Mereka meyakini rancang bangun produk kendaraan komersial itu sudah ”dibendung” dengan aturan ketat karoseri.
Di Indonesia, Ditjen Perhubungan Darat da Ditjen Lalu Lintas Jalan sudah melakukan pendekatan dengan menggandeng produsen kendaraan komersial serta perusahaan karoseri. Melanggar aturan dimensi demi meningkatkan daya angkut dan mengurangi biaya operasional terbukti hanya akan mempercepat kerusakan kendaraan. Di lain sisi, truk kelebihan dimensi tentu sulit diterima di negara lain. Reputasi industri otomotif pun dipertaruhkan di sana.
Pengamat Transportasi, Djoko Setiowarno dari Masyarakat Transportasi Indonesia, menyangsikan penerapan bebas ODOL tahun 2023. Selama besaran denda masih rendah, pelanggaran ODOL akan terus terjadi. Diperparah lagi, oknum aparat yang masih ikut mempermainkan di lapangan. Ini sama sekali tidak membuat efek jera.
Diperparah lagi oknum aparat yang masih ikut mempermainkan di lapangan. Ini sama sekali tidak membuat efek jera.
Baca juga: Truk ODOL Dilarang Menyeberang Merak-Bakauheuni dan Ketapang-Gilimanuk
Belajar dari pengalaman negara lain, seperti pendekatan denda dengan sistem WIM dan fixed/static truck scale, Indonesia sebenarnya pernah menerapkan WIM pertama kali sebagai proyek percontohan tahun 2003 di tiga lokasi Sumatera Barat (UPPKB Lubuk Selasih, Sungai Langsek, dan Kamang) dan satu lokasi di Provinsi Aceh (UPPKB Seumadam). Sayangnya, kata Djoko, proyek itu tidak berlanjut dikembangkan di seluruh Indonesia.
Menurut Djoko, menangani kendaraan ODOL semestinya ada langkah-langkah kebijakan simultan antara pengujian kendaraan bermotor, mulai dari uji tipe dan rancang bangun hingga uji berkala (KIR), serta pengawasan industri karoseri dan pengawasan angkutan barang di UPPKB.
Bahkan, penerapan sanksi tegas kepada para penguji dan atasannya yang meloloskan kendaraan ODOL sebagai bentuk pembinaan SDM dan kelembagaan. Tentu, pembinaan kepada para petugas akan lebih mudah karena langsung berada di bawah pengawasan Ditjen Perhubungan Darat.
Djoko mengatakan, ”Satu hal penting untuk mengurangi dan menghilangkan pelanggaran ODOL adalah tindakan tegas. Selama tidak ada penindakan tegas akan sulit menghilangkan ODOL. Sebagus apa pun kebijakan dan ketersediaan sarana dan prasarana, tanpa adanya pengawasan dan penindakan terasa sia-sia.”
Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia yang juga General Manager Biz Division PT Sumisho Global Logistic Indonesia, Tismawan Sanjaya, mengatakan, sebagai perwakilan asosiasi, secara prinsip mendukung dan sepakat penerapan hukum anti-ODOL. Namun, terhadap kebijakan yang akan dibuat di Indonesia, penerapan sanksi perlu melihat tiga hal yang dapat menjadi acuan.
Pertama, masalah budaya dan perilaku setiap wilayah sangat menentukan kebijakan ini. Kedua, terkait akses infrastruktur dari setiap daerah, diperlukan penyesuaian dalam penerapan sanksi. Ketiga, skala ekonomi setiap daerah berbeda sehingga perlu kebijakan yang bisa mengakomodasi kepentingan setiap wilayah. Untuk itu, perlu garis tegas antara kebijakan pusat dan daerah untuk penerapan kebijakan ini.
Sebab, tujuan dari mencegah anti-ODOL ini adalah tingginya biaya perawatan jalan dan keselamatan pengguna jalan.
Baca juga: Menindak Truk ”Overload”, Menjaga Keselamatan
Tismawan pun menyangsikan kecocokan terkait denda. Sebab, tujuan dari mencegah anti-ODOL ini adalah tingginya biaya perawatan jalan dan keselamatan pengguna jalan. Kalau nantinya denda disalahartikan sebagai dispensasi bolehnya terjadinya kelebihan dimensi dan muatan, maka denda sebesar apa pun tidak akan efektif lagi.
Penerapan denda ini pun mesti dipertegas. Denda dibebankan kepada pengemudi, pemilik jasa angkutan barang, ataukah dikenakan terhadap pemilik jalan sehingga tanggung jawabnya menjadi semakin efektif tepat sasaran. Dan yang pasti, toleransi kebijakan perlu dipertimbangkan di setiap wilayah karena kondisi infrastruktur dan kepentingan skala ekonomi setiap daerah berbeda agar alur kelancaran arus logistik tidak mengganggu perekonomian nasional.
”Intinya, sanksi ataupun denda perlu pertimbangan yang fair dan bijak,” kata Tismawan penuh harap. Nah, siapa yang menarik? Siapa pula yang mengulur-ulur?
Baca juga: Cegah Kecelakaan, 92 Jembatan Timbang Bakal Dioperasikan