Ekspor Otomotif Hadapi Banyak Hambatan
Untuk meningkatkan ekspor, RI harus mencermati minat masyarakat global terhadap otomotif dan hambatan nontarif. Diversifikasi produk mobil RI masih belum optimal dan didominasi MPV, sementara pasar global meminati SUV.
JAKARTA, KOMPAS — Otomotif merupakan penopang ekspor nonmigas kelima yang menjadi andalan Indonesia untuk meningkatkan ekspor. Pangsa pasarnya masih luas, tetapi masih banyak hambatan tarif dan nontarif. Di sisi lain, produknya masih belum beragam sehingga memerlukan diversifikasi.
Kementerian Perdagangan mencatat, nilai ekspor kendaraan dan bagiannya 8,19 miliar dollar AS pada 2019 dan 6,6 miliar dollar AS pada 2020. Pada Januari-April 2021, nilai ekspornya 3,13 miliar dollar AS dan pada Januari-April 2020 sebesar 2,31 miliar dollar AS.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan, pasar terbesar otomotif Indonesia adalah Filipina, Vietnam, Thailand, Jepang, dan Uni Emirat Arab. Namun, lantaran pandemi Covid-19, ekspor otomotif ke negara-negara tersebut turun.
Ekspor otomotif ke Filipina misalnya. Nilai ekspornya pada 2020 sebesar 1,57 miliar dollar AS atau turun dari 2019 yang sebesar 2,11 miliar dollar AS. Sementara pada Januari-April 2021, nilai ekspor otomotif ke Filipina 734,13 juta dollar AS atau tumbuh 9 persen dibandingkan dengan periode sama 2020 yang sebesar 519,66 juta dollar AS.
”Pasar Filipina ini sebenarnya masih tumbuh. Namun, ke depan, Indonesia akan menghadapi tantangan karena Filipina menerapkan provisional saveguards (tindakan pengamanan perdagangan),” kata Wisnu dalam webinar ”Sektor Otomotif Nasional: Mengubah Tantangan Menjadi Peluang” yang digelar Kementerian Perdagangan di Jakarta, Kamis (10/6/2021).
Pada 29 Desember 2020, Kementerian Perdagangan dan Perindustrian Filipina telah mengeluarkan preliminary determination untuk pengenaan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) untuk impor mobil penumpang dalam bentuk cash bond sebesar 70.000 peso atau sekitar Rp 20.380.000 per unit. Regulasi ini berlaku selama 200 hari dan mulai efektif 15 hari sejak tanggal dikeluarkannya custom order Filipina pada 1 Februari 2021.
Menurut Wisnu, penyelidikan tindakan pengaman perdagangan Filipina ini memiliki banyak kelemahan. Misalnya, pemohonnya bukan berasal dari produsen, melainkan serikat pekerja. Selain itu, tidak ada lonjakan impor dan tidak ada kerugian. Indonesia telah menyampaikan tanggapan atas hasil laporan Komisi Tarif Filipina pada 7 Juni 2021.
Hambatan perdagangan juga muncul dari Vietnam. Setelah mewajibkan uji emisi dan uji keamanan kendaraan pada 2018, Vietnam berencana memberlakukan standar emisi Euro 5 dimulai pada 1 Januari 2022, baik untuk kendaraan impor dirakit maupun kendaraan yang diproduksi dalam negeri.
”Indonesia saat ini baru mengembangkan kendaraan dengan Euro 4, sedangkan Vietnam mulai menjajaki kendaraan dengan Euro 5. Oleh karena itu, Indonesia harus segera mengantisipasi atau menyesuaikan diri dengan Vietnam mengingat negara tersebut merupakan negara tujuan ekspor otomotif kedua terbesar Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: Standar Emisi Kendaraan Euro 6 Perlu Disiapkan
Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie Sugiarto mengemukakan, produksi kendaraan bermotor di Indonesia berkisar 1,3 juta-1,4 juta unit per tahun dan penjualannya 1,1 juta unit-1,2 juta unit per tahun. Pandemi Covid-19 menyebabkan penjualannya anjlok hampir 50 persen menjadi hanya 532.407 unit dan produksinya 690.176 unit pada 2020.
”Pada tahun ini, penjualan kendaraan bermotor ditargetkan bisa mencapai 750.000 unit. Kemudian pada 2022, penjualannya bisa kembali normal menjadi 1,1 juta-1,2 juta unit,” ujarnya.
Untuk meningkatkan ekspor, lanjut Jongkie, Indonesia harus mencermati minat masyarakat global terhadap kendaraan bermotor dan hambatan nontarif. Selama ini penjualan terbesar di pasar domestik adalah kendaraan multipurpose vehicle (MPV) dengan pangsa pasar sekitar 51 persen dan kendaraan bermotor hemat energi harga terjangkau dengan pangsa pasar sekitar 21 persen.
Untuk meningkatkan ekspor, lanjut Jongkie, Indonesia harus mencermati minat masyarakat global terhadap kendaraan bermotor dan hambatan nontarif.
Baca juga: Meraup Transaksi Rp 2 Triliun, IIMS Hybrid 2021 Buka Era Baru Pameran Otomotif
Kendaraan-kendaraan ini yang banyak diproduksi oleh produsen sehingga diversifikasi kendaraan di Indonesia masih kurang optimal. Padahal, minat pasar global adalah sedan dan sport utility vehicle (SUV). Oleh karena itu, Indonesia harus menyesuaikan juga dengan minat pasar otomotif global.
”Pemerintah telah berupaya merevisi regulasi pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) dari semula berbasis jenis kendaraan menjadi berdasarkan emisi. Regulasi ini ke depan akan mendorong diversifikasi produk kendaraan bermotor di Indonesia,” tuturnya.
Jongkie juga berharap agar pemerintah berhati-hati dan mencermati hambatan-hambatan nontarif di sektor otomotif. Hal itu mulai dari penerapan standar emisi Euro, terutama Vietnam yang akan menerapkan Euro 5 pada 2022, dan tindakan pengamanan perdagangan seperti yang diterapkan Filipina.
Baca juga: RI Perkuat Basis Ekspor Otomotif
Perjanjian perdagangan
Direktur Perundingan Bilateral Direktorat Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Ni Made Ayu Marthini mengatakan, pemerintah berupaya mengatasi hambatan-hambatan perdagangan, baik menyangkut tarif maupun nontarif. Selain negosiasi secara langsung tentang hambatan tersebut, pemerintah juga membuat perjanjian dagang atau ekonomi komprehensif dengan negara-negara tujuan ekspor.
Di kawasan ASEAN, bea masuk otomotif sudah nol persen sehingga peluang pasarnya sangat besar. Sejumlah negara yang masih mengenakan tarif tinggi untuk otomotif adalah India (72,8 persen), Brasil (27,4 persen), Meksiko (20,2 persen), Afrika Selatan (15,6 persen), dan Taiwan (14,6 persen).
Indonesia, lanjut Made, sebenarnya bisa memanfaatkan peluang ekspor dari perjanjian dagang atau ekonomi komprehensif. Misalnya dengan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA), Indonesia mendapatkan tarif nol persen untuk seluruh produk otomotif (konvensional, listrik, dan hibrida), suku cadang, dan aksesori.
”Adapun dengan Perjanjian Tarif Preferensi (PTA) Indonesia-Mozambik, Indonesia mendapatkan tarif nol persen untuk produk sepeda motor dan sepeda motor listrik,” ujarnya.
Tren kendaraan saat ini adalah yang berbasis teknologi dan elektronik sehingga investasi di sektor tersebut juga diperlukan. Keduanya bisa menopang kebijakan TKDN yang diterapkan Indonesia.
Jongkie juga menyatakan, Gaikindo akan berupaya memanfaatkan perjanjian-perjanjian perdagangan atau ekonomi komprehensif. Saat ini, Gaikindo tengah menjajaki pasar kendaraan bermotor di Australia dengan memanfaatkan IA-CEPA.
Baca juga: Geliat Asa Industri Logam Tegal
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) Hadi Surjadipradja berpendapat, investasi di sektor otomotif memang diperlukan untuk menopang ekspor. Namun, investasi itu diharapkan tidak melupakan sektor komponen pendukung kendaraan bermotor.
Di samping itu, tren kendaraan saat ini adalah yang berbasis teknologi dan elektronik sehingga investasi di sektor tersebut juga diperlukan. Keduanya bisa menopang kebijakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang diterapkan Indonesia.
”Produsen kendaraan masih kerap kesulitan mencari komponen-komponen lokal untuk kendaraan, apalagi yang berbasis teknologi atau elektronik. Ini juga merupakan pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk menggarapnya,” ujarnya.
Baca juga: Manfaatkan Energi Bersih untuk Isi Daya Kendaraan Listrik