Rencana Pengembangan Jaringan Palapa Ring Perlu Dimatangkan Lagi
Rencana pengembangan lanjutan jaringan tulang punggung Palapa Ring diharapkan sudah memasukkan tren permintaan konsumsi akses internet beserta skema model bisnis pemakaian jaringan yang matang.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah untuk menambah jaringan tulang punggung Palapa Ring diharapkan mempertimbangkan tren permintaan konsumsi internet masyarakat. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah skema model bisnis yang bisa meningkatkan pemanfaatan jaringan lebih optimal.
Dalam pernyataan resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Rabu (9/6/2021) pagi, Menkominfo Johnny G Plate mengatakan, sudah ada rencana optimasi pemanfaatan jaringan tulang punggung Palapa Ring. Salah satu isi rencana adalah menambah panjang jaringan kabel laut fiber optik sekitar 40 persen atau menjadi 12.083 kilometer.
Total panjang 12.803 kilometer ini terdiri dari 8.203 kilometer kabel darat fiber optik dan 3.880 kilometer kabel laut fiber optik. Menurut rencana, proyek ini akan bernama Palapa Ring Integrasi.
Johnny menyebutkan, rencana itu bernilai Rp 8,6 triliun dan diharapkan mulai terealisasi tahun 2022. Kebutuhan anggaran dibagi menjadi dua, yakni tahun 2022 sebesar Rp 3,5 triliun dan tahun 2023 senilai Rp 5,1 triliun.
Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kemkominfo Anang Latif belum merespons saat berusaha dikonfirmasi detail rencana tersebut.
Ketua Infrastruktur Telematika Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sigit Puspito Wigati Jarot, saat dihubungi terpisah, mengatakan, pemanfaatan jaringan tulang punggung Palapa Ring yang sudah ada masih rendah dan jauh dari maksimal. Mengutip laporan Kemkominfo pada Maret 2021, tingkat pemanfaatan Palapa Ring Barat masih 36 persen, Palapa Ring Tengah 20 persen, dan Palapa Ring Timur 17 persen.
”Level pemanfaatan jaringan pita lebar seperti itu agak ironis. Padahal, tren permintaan komunikasi pita lebar melalui jaringan akses telekomunikasi naik signifikan, terutama pada masa-masa pandemi Covid-19,” ujarnya.
Level utilisasi jaringan pita lebar seperti itu agak ironis. Padahal, tren permintaan komunikasi pita lebar melalui jaringan akses telekomunikasi naik signifikan, terutama pada masa-masa pandemi Covid-19.
Sigit menduga, belum ada perencanaan yang menyeluruh, termasuk model bisnis, mulai dari jaringan tulang punggung sampai ke jaringan backhaul dan jaringan akses. Sementara model bisnis termasuk bagian penting dalam perumusan pembangunan sejak awal proyek digagas sehingga bisa jadi daya tarik bagi penyelenggara telekomunikasi swasta, seperti operator telekomunikasi seluler yang menggelar jaringan akses.
Pada tahun 2014, Mastel sempat menghitung konsumsi bandwidth per kapita per bulan mencapai 1 Gbps. Saat ini, proyeksi Mastel, konsumsi bandwidth per kapita per bulan naik menjadi 4-5 Gbps. Perhitungan ini belum mempertimbangkan kecepatan akses internet.
Dari segi teknis ”ring” atau jaringan cadangan, pembangunan jaringan tulang punggung telekomunikasi semestinya mempertimbangkan hal tersebut saat proses pembangunannya di suatu wilayah. Dengan demikian, pemanfaatan jaringan bisa optimal.
”Saat ini, kualitas kecepatan akses internet dengan jaringan pita lebar Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara lain, baik memakai jenis jaringan akses tetap maupun jaringan akses bergerak (seluler). Palapa Ring hanya untuk jaringan tulang punggung sehingga meningkatkan utilitasnya mutlak harus dihubungkan dengan jaringan backhaul sampai akses. Perlu upaya-upaya perbaikan regulasi dan tata kelola untuk mengakselerasi kecepatan akses ke jaringan akses bergerak dan jaringan akses tetap,” katanya.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mempunyai pandangan senada. Utilitas Palapa Ring yang sudah ada belum maksimal. Dugaannya, harga sewa jaringan tulang punggung dianggap mahal oleh operator penyelenggara jaringan akses.
Sebagai gambaran, BAKTI Kemkominfo menetapkan tarif sewa jaringan tulang punggung Palapa Ring menjadi tarif penyediaan kapasitas pita lebar dan tarif penyediaan kabel serat optik pasif (dark fiber). Untuk skema tarif penyediaan kabel serat optik pasif di Palapa Ring Barat, pemakaian kabel jalur darat dipatok sewa Rp 12 juta per kilometer per tahun.
Menurut dia, penambahan ataupun pembenahan infrastruktur telekomunikasi masih diperlukan. Sebagai contoh, masih ada beberapa pulau, khususnya di Papua, belum seluruhnya terhubung dengan jaringan tulang punggung cadangan berupa kabel fiber optik atau dikenal dengan konsep fully ring. Apabila ada ruas jaringan tulang punggung yang kabelnya putus, tidak adanya fully ring menyebabkan pemulihan lama.
Penambahan ataupun pembenahan infrastruktur telekomunikasi masih diperlukan.
Seperti diketahui, Palapa Ring Barat memiliki panjang jaringan pita lebar berupa kabel fiber optik 1.980 kilometer dan menghubungkan Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Kalimantan Barat. Kisaran kapasitas adalah 100 Gbps.
Palapa Ring Tengah menjangkau 27 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Kalimantan Timur. Panjang jaringan pita lebar berupa kabel fiber optik darat 1.326 kilometer dan kabel fiber optik laut 1.787 kilometer.
Palapa Ring Timur menghubungkan 35 kabupaten/kota layanan dan 16 kabupaten/kota interkoneksi di Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Panjang jaringan pita lebar kabel fiber optik darat 4.426 kilometer dan kabel fiber optik laut 2.452 kilometer.
Dari laman Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan menyebutkan, nilai total proyek Palapa Ring Rp 7,63 triliun. Ketiga proyek tersebut digarap dengan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha.