Petani, Horeka, dan Rumah Tangga Jadi Ujung Tombak
Indonesia ingin menekan timbulan ceceran dan sampah pangan pada setiap mata rantai pasok. Upaya tersebut mengandalkan petani, pebisnis horeka, dan rumah tangga konsumen
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penekanan jumlah ceceran dan sampah pangan Indonesia dalam rantai pasok dari hulu ke hilir bertumpu pada petani, rumah tangga konsumen, serta pebisnis hotel, restoran, dan katering atau horeka. Ketiga aktor ekonomi tersebut mesti mengurangi dan mengelola jumlah timbulan ceceran dan sampah pangan dari aktivitas produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Arifin Rudiyanto memaparkan, timbulan ceceran dan sampah pangan (food loss and waste) pada 2045 dapat ditahan di posisi 49 juta ton per tahun atau 166 kilogram per kapita per tahun dengan sejumlah strategi pengelolaan.
”Namun, dengan skenario business as usual atau tanpa strategi pengelolaan, jumlahnya dapat mencapai 112 juta ton per tahun atau 344 kilogram per kapita per tahun,” ujarnya saat peluncuran laporan kajian berjudul ”Food Loss & Waste” di Indonesia oleh Bappenas secara daring, Rabu (9/6/2021).
Proyeksi tersebut menggunakan tujuh asumsi skenario strategi pengelolaan rantai pasok dari hulu ke hilir, yakni proporsi ceceran pangan pada produksi turun dari 4,37 persen pada 2022 menjadi 3 persen pada 2045, waktu rusak pangan saat penyimpanan naik dari delapan bulan pada 2022 menjadi 10 bulan pada 2045, serta jeda waktu antara pengiriman dan pemrosesan turun dari lima hari pada tahun 2022 menjadi empat hari pada tahun 2045.
Timbulan ceceran dan sampah pangan (food loss and waste) pada 2045 dapat ditahan di posisi 49 juta ton per tahun atau 166 kilogram per kapita per tahun dengan sejumlah strategi pengelolaan.
Di sisi penyaluran, proporsi ceceran pangan pada pemrosesan dan pengemasan turun dari 1,2 persen pada 2022 menjadi 0,8 persen pada 2045, waktu rusak pangan dalam distribusi naik dari 18 bulan pada tahun 2022 menjadi 24 bulan pada tahun 2045, serta jeda rantai pasok pangan turun dari tujuh hari pada tahun 2022 menjadi empat hari pada tahun 2045. Di hilir, timbulan sampah pangan pada konsumsi ditargetkan turun 35 persen dari tahun 2022 sampai 2030.
Laporan yang sama menunjukkan, timbulan ceceran dan sampah pangan di Indonesia 23-48 juta per tahun atau 115-184 kilogram per kapita per tahun sepanjang 2000-2019. Akibatnya, Indonesia kehilangan nilai ekonomi Rp 213-Rp 551 triliun per tahun. Timbulan sampah pada periode 2000-2019 menjadi landasan (baseline) proyeksi hingga 2045 tersebut.
Skenario pengelolaan tersebut melibatkan konsumen dan horeka. Dalam salah satu skenario, rumah tangga konsumen ditargetkan menurunkan timbulan sampah pangan 5 persen dan meningkatkan pemanfaatan sampah pangan hingga 50 persen. Horeka ditargetkan menurunkan timbulan sampah pangan sebanyak 5 persen serta menaikkan pemanfaatannya.
Target itu sejalan dengan hasil laporan kajian yang menemukan timbulan ceceran dan sampah pangan terbesar berasal dari tahap konsumsi. Tahap-tahap rantai pasok yang menjadi sumber timbulan lainnya terdiri dari produksi, pascapanen dan penyimpanan, pemrosesan dan pengemasan, serta distribusi dan pemasaran.
Sayur-sayuran yang diproduksi di Indonesia lebih banyak yang terbuang dibandingkan dengan dikonsumsi.
Dari segi jenis komoditas, laporan kajian tersebut menyoroti tanaman pangan menjadi sumber timbulan ceceran dan sampah tertinggi, khususnya kategori padi-padian.
”Sektor pangan yang paling tidak efisien ialah tanaman hortikultura, khususnya sayur-sayuran. Artinya, sayur-sayuran yang diproduksi di Indonesia lebih banyak yang terbuang dibandingkan dengan yang dikonsumsi,” kata Arifin.
Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi, pemerintah mendorong petani menekan timbulan ceceran dan sampah pangan saat produksi dengan bantuan alat mesin pertanian. Dia mencontohkan, proporsi timbulan ceceran pangan komoditas padi dapat turun dari 20,92 persen menjadi 11-13 persen dengan alat tersebut.
Sementara itu, Bappenas juga mendorong pengembangan pelantar penyaluran makanan serta pengelolaan ceceran dan sampah pangan yang mendukung ekonomi sirkular. Salah satu gerakan yang sudah berjalan ialah Garda Pangan. Founder dan CEO Garda Pangan memaparkan, per April 2021, Garda Pangan telah membagikan 172.783 porsi makanan kepada 122.491 orang yang membutuhkan sekaligus mencegah timbulan sampah pangan sebanyak 35 ton.
Dia memaparkan, Garda Pangan juga dapat mengumpulkan sukarelawan untuk membantu petani saat panen raya yang harganya jatuh. Hasil panen itu dijual ke konsumen dan didonasikan oleh masyarakat kepada warga prasejahtera. ”Kami pernah membantu petani kubis yang harganya anjlok dari Rp 4.000 per kg menjadi Rp 150 per kg,” ujarnya.
Corporate Affairs Director Great Giant Pineapple Welly Soegiono mengatakan, perusahaan mengelola sisa nanas menjadi pakan bagi peternakan sapi potong. Selain itu, dia mengimbau, saat menanam perlu mempertimbangkan prediksi kebutuhan pasar, bukan hanya potensi produksinya, agar hasil panen tak berujung menjadi sampah.