Keberhasilan ”Start Up” Melantai di Bursa Nasional Perlu Diupayakan
Otoritas pasar modal tengah berupaya memberikan dukungan regulasi untuk melapangkan jalan perusahaan rintisan melakukan IPO di tengah kenyamanan para Startup mencari sumber pendanaan secara privat.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minat investor global terhadap perusahaan rintisan berbasis teknologi atau start up di Tanah Air cukup tinggi sehingga perlu diakomodasi melalui aksi penawaran saham perdana perusahaan di lantai bursa nasional. Sayangnya, banyak start up hingga saat ini masih lebih nyaman mencari sumber pendanaan secara privat.
Ketua Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc) Mirza Adityaswara mengatakan, sektor ekonomi digital nasional berkembang pesat di Indonesia dengan hadirnya perusahaan-perusahaan rintisan di bidang teknologi tersebut, baik yang sudah mencapai skala unicorn maupun belum.
Unicorn adalah status untuk perusahaan start up yang mempunyai nilai valuasi atau nilai pasar sebesar 1 milliar dollar AS. Sayangnya, lanjut Mirza, perusahaan-perusahaan teknologi berbasis inovasi di Indonesia saat ini masih mengandalkan mekanisme pendanaan secara tertutup.
”Perusahaan-perusahaan digital ekonomi selama ini mengandalkan pendanaan dari private market dari beberapa investor yang dikategorikan sebagai pemodal ventura dan sebagian besar dananya berasal dari luar negeri,” ujarnya dalam webinar bertema ”IPO Sebagai Opsi Pendanaan Start Up”, Rabu (9/6/2021).
Perusahaan-perusahaan teknologi berbasis inovasi di Indonesia saat ini masih mengandalkan mekanisme pendanaan secara tertutup.
Dalam dua tahun terakhir pasar modal di negara-negara dengan ekonomi kuat sudah digerakkan secara signifikan oleh saham-saham perusahaan teknologi, seperti Google, Microsoft, maupun Facebook. Belakangan, likuiditas saham perusahaan-perusahaan teknologi di Amerika Serikat dan Eropa yang mulai jenuh menumbuhkan minat investor global untuk menyasar pasar Asia Tenggara.
Hal tersebut membuat Mirza menilai keberhasilan start up di Indonesia dalam melakukan penawaran saham perdana (IPO) akan sangat strategis untuk membuka akses investor global guna menggenjot pertumbuhan ekonomi digital nasional. Hingga saat ini, belum ada usaha rintisan dengan skala bisnis unicorn yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Namun, otoritas bursa tidak tinggal diam. BEI, lanjut Mirza, sedikitnya tengah mengkaji tiga kebijakan untuk menarik unicorn ke pasar modal, mulai dari klasifikasi ulang sektor dan subsektor, kebijakan papan daftar, hingga penerapan dual class of shares (DCS).
Mirza menjelaskan bahwa klasifikasi baru terhadap emiten teknologi berbasis investasi akan meningkatkan daya saing pasar modal Indonesia, khususnya di kalangan investor institusi. Baru pada 2021BEI melakukan reklasifikasi dengan membuat klasifikasi emiten sektor teknologi.
Selanjutnya, mengenai kebijakan papan daftar, ujar Mirza, BEI tengah menggodok persyaratan baru dalam pencatatan saham di papan utama BEI agar tidak terbatas bagi perusahaan yang meraup untung saja. Adapun DCS merupakan struktur permodalan saham kelas ganda yang melibatkan paling sedikit dua klasifikasi saham berbeda.
BEI tengah menggodok persyaratan baru dalam pencatatan saham di papan utama BEI agar tidak terbatas bagi perusahaan yang meraup untung saja.
”Beberapa contoh perusahaan yang sudah tercatat di luar negeri yang telah menerapkan skema tersebut adalah Google, SEA Group yang merupakan entitas induk dari Shopee, serta Alibaba,” kata Mirza.
Dalam kesempatan yang sama, CEO BRI Ventures Nicko Widjaja, menilai, menjamurnya pemberitaan mengenai rencana perusahaan rintisan melakukan IPO menunjukkan bahwa iklim usaha start up di Indonesia terus membaik.
Nicko menjelaskan bahwa sejak awal berinvestasi, pemodal ventura menginginkan setiap usaha rintisan yang menjadi tujuan penanaman modal bisa meningkatkan skala usaha mereka. Dengan melantai di bursa dan meningkatkan akuntabilitas, imbuh dia, opsi pendanaan untuk melipatgandakan skala usaha semakin tidak terbatas.
”Bagi investor, kabar santer terkait rencana IPO start up menjadi sinyal yang baik untuk melihat peluang ke depan. Keberhasilan suatu start up melantai di bursa merupakan saatnya bagi start up untuk membuktikan perusahaan mereka baik atau tidak,” kata Nicko.
Sementara itu, CEO Mandiri Capital Indonesia (MCI) Eddi Danusaputro mengatakan, opsi IPO lebih baik dibandingkan merger dan akuisisi karena untuk melantai di pasar modal, perusahaan start up dapat menentukan peta jalan mereka secara mandiri tanpa bergantung pada pihak lain.
”Tren masuknya start up ke pasar modal ke depannya juga diprediksi akan menyehatkan iklim pendanaan yang selama ini sifatnya terbatas di kalangan pemodal ventura,” ujar Eddi.
Berdasarkan data BEI, sejak awal tahun ini sampai Rabu (9/6/2021), sebanyak 18 emiten baru mencatatkan saham di pasar modal. Direktur Penilaian BEI, I Gede Nyoman Yetna, menyebutkan, masih ada 21 perusahaan dalam rencana IPO di pasar modal. Namun, otoritas bursa belum dapat membuka ke publik sampai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan persetujuan atas penerbitan prospektus awal kepada publik.