Indonesia Kehilangan Ratusan Triliun Rupiah akibat Sampah dan Ceceran Pangan
Masih ada ketimpangan antara keterbatasan ketersediaan pangan di Indonesia dan kebutuhannya. Untuk memperkecilnya, potensi ceceran dan sampah pangan mesti ditekan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Imbas ceceran dan sampah pangan, Indonesia kehilangan nilai ekonomi sebesar Rp 213 triliun-Rp 551 triliun per tahun sepanjang 2000-2019. Oleh sebab itu, kebijakan pengelolaan ceceran dan sampah pangan berbasis data berperan krusial.
Nilai ekonomi yang hilang itu mengemuka dalam laporan ”Food Loss and Waste” di Indonesia yang diluncurkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) secara daring, Rabu (9/6/2021). Angka tersebut merupakan dampak dari timbulan ceceran dan sampah pangan di Indonesia yang sebanyak 23-48 juta ton per tahun atau 115-184 kilogram (kg) per kapita per tahun sepanjang 2000-2019.
Padahal, kehilangan kandungan energi dari timbulan ceceran dan sampah pangan itu dapat memberi makan 61 juta-125 juta orang atau 29-47 persen populasi Indonesia. Selain itu, timbulan ceceran dan sampah pangan menimbulkan emisi total gas rumah kaca sebanyak 1.702,9 ton karbon dioksida.
Menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, masih ada ketimpangan antara keterbatasan ketersediaan pangan di Indonesia dan kebutuhannya. ”Untuk memperkecil gap tersebut, potensi ceceran dan sampah pangan mesti ditekan,” ujarnya saat peluncuran laporan.
Kehilangan kandungan energi dari timbulan ceceran dan sampah pangan itu dapat memberi makan 61 juta-125 juta orang atau 29-47 persen populasi Indonesia.
Pencegahan dan pengelolaan ceceran dan sampah pangan juga menjadi salah satu upaya transisi Indonesia dari ekonomi konvensional ke ekonomi sirkular (circular economic). Dia menilai laporan yang diluncurkan dapat menjadi landasan kebijakan yang turut menunjang pembangunan rendah karbon di Indonesia.
Sebagai langkah konkret pencegahan dan pengelolaan tersebut, dia mendorong edukasi mengenai ceceran dan sampah pangan kepada pelaku rantai pasok pangan dan kepada masyarakat agar mengubah pola konsumsi. Pemerintah juga akan mengembangkan regulasi terkait, baik di tingkat daerah maupun nasional.
Sementara itu, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi menyebutkan, rata-rata sepertiga dari pangan yang diproduksi tiap tahun susut dan terbuang. Berdasarkan jenisnya, proporsi sayur dan buah yang susut dan terbuang menempati posisi pertama, yakni 39-44 persen.
Proporsi tanaman jenis serealia yang susut dan terbuang mencapai 22 persen dari total produksi. Contohnya, ceceran beras mencapai sedikitnya 20,92 persen dari proses panen, pengumpulan, perontokan, pengeringan, dan penyimpanan. Ceceran tertinggi timbul saat panen.
Berdasarkan jenisnya, proporsi sayur dan buah yang susut dan terbuang menempati posisi pertama, yakni 39-44 persen.
Demi menekan ceceran pangan di hulu, Agung menyatakan, pemerintah mendorong petani menerapkan praktik budidaya yang baik (good agricultural practices). Setelah panen, praktik penanganan pangan yang baik (good handling practices) juga patut diimplementasikan.
Dalam kesempatan yang sama, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins menyebutkan, ceceran dan sampah pangan merupakan isu dunia karena dampak yang ditimbulkan melintasi batas-batas negara. Berdasarkankan data yang dihimpun, di balik ceceran dan sampah pangan, ada sekitar 9 persen jiwa dari populasi dunia yang kelaparan.
Pada 2019, jumlah ceceran dan sampah pangan dunia mencapai 931 juta ton. ”Ceceran dan sampah pangan tersebut juga turut membuang sumber daya yang digunakan untuk memproduksi. Jumlah itu setara dengan 250 kilometer kubik air bersih dan 1,4 miliar hektar lahan,” ujarnya.