Efek Rambatan Ekonomi AS Bayangi Kinerja APBN 2022
Perubahan kebijakan moneter di Amerika Serikat berpotensi menciptakan efek rambatan berupa volatilitas dan ketidakpastian di sektor keuangan Indonesia.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja APBN 2022 masih akan dibayangi oleh sejumlah tantangan, antara lain efek rambatan dari pemulihan negara-negara maju dan fluktuasi harga komoditas. Di samping itu, ekonomi Indonesia tahun depan juga masih bergantung pada penanganan kesehatan dan vaksinasi Covid-19.
”Pemulihan negara-negara berpengaruh seperti Amerika Serikat (AS) dan China memiliki efek rambatan yang berimplikasi terhadap perekonomian global. Itu yang mungkin kita harus waspadai,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama anggota Komisi XI DPR, Selasa (8/6/2021).
Pemerintah bersama DPR telah menyepakati prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2022 berkisar 5,2 persen hingga 5,8 persen. Selain itu, inflasi diperkirakan berada di kisaran 2 persen-4 persen dengan tingkat suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun di kisaran 6,32 persen-7,27 persen. Sementara nilai tukar rupiah sebesar Rp 13.900 hingga Rp 15.000 per dollar AS.
Pemulihan negara-negara berpengaruh seperti Amerika Serikat dan China memiliki efek rambatan yang berimplikasi terhadap perekonomian global. Itu yang mungkin kita harus waspadai.
Di hadapan anggota DPR, Sri Mulyani menekankan, proyeksi kenaikan inflasi yang meningkat di AS berpotensi mengancam momentum pemulihan ekonomi apabila diikuti dengan pengetatan kebijakan moneter oleh bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed).
Pengetatan kebijakan, lanjutnya, berpotensi menciptakan efek rambatan berupa volatilitas dan ketidakpastian di sektor keuangan akibat dinamika arus modal global seperti saat terjadinya fenomena taper tantrum pada 2013.
Taper tantrum bisa diartikan gejolak pasar ketika bank sentral mulai mengetatkan kebijakan. Kala itu, The Fed mengurangi porsi pembelian surat utang yang dikeluarkan oleh Pemerintah AS (US Treasury) sehingga likuiditas di pasar global mengetat.
Di luar situasi global, Sri Mulyani menegaskan, ekonomi tahun depan masih akan sangat dipengaruhi oleh keberlangsungan penanganan kesehatan dan vaksinasi. Faktor penanganan kesehatan masih menjadi penentu dinamika perekonomian 2022 meski saat ini tanda-tanda ekonomi sudah membaik.
Gejolak keuangan
Dalam kesempatan berbeda, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, bank sentral AS berpotensi mengerek suku bunga acuan jika inflasi AS terus meningkat. Kebijakan itu akan berdampak pada suku bunga acuan negara lain, termasuk Indonesia.
”Inflasi di AS ini terus menguat dan ekspektasi inflasi ini yang kami waspadai. Ini sudah mulai menimbulkan kekhawatiran di pasar,” ucap Febrio.
Ekonom sekaligus Rektor Unika Atma Jaya A Prasetyantoko mengingatkan, perekonomian AS yang diperkirakan pulih lebih cepat punya implikasi jangka pendek dengan munculnya potensi risiko gejolak di pasar keuangan, khususnya nilai tukar.
”Pasar keuangan domestik yang selama beberapa bulan terakhir diuntungkan aliran valuta asing akan mengalami fase pembalikan. Situasi ini mirip ketika tahun 2013, The Fed mulai menormalkan kebijakan moneter sehingga memunculkan kepanikan,” ujarnya.
Jika pasar keuangan bergejolak, menurut Prastyantoko, Bank Indonesia juga harus merespons dengan kenaikan suku bunga acuan. Saat ini, suku bunga acuan BI atau BI-7 Day Repo Rate sebesar 3,5 persen atau terendah dalam sejarah.
Meskipun kenaikan suku bunga tidak sesuai dengan semangat mendorong pertumbuhan kredit, Prasetyantoko menilai, saat ini tidak banyak pilihan karena porsi modal asing jangka pendek di pasar keuangan Indonesia relatif tinggi.
”Meski menghadapi persoalan kompleks, tak boleh kehilangan fokus pada persoalan utama, yaitu menyelesaikan masalah kesehatan. Prioritas adalah mempercepat program vaksinasi,” ujarnya.
Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto mengatakan, untuk mengejar target ekonomi yang termaktub dalam RAPBN 2022, pemerintah diharapkan dapat mengoptimalkan momentum saat ini yang ditandai dengan menguatnya nilai tukar, meningkatnya aliran masuk modal asing, dan membesarnya cadangan devisa.
Ekstensifikasi pajak
Sri Mulyani mengakui, sejumlah tantangan yang akan dihadapi pada tahun 2022 berpotensi memengaruhi pendapatan negara. Meski demikian, potensi penerimaan negara tetap dibidik melalui ekstensifikasi perpajakan dengan mengoptimalkan data program pengampunan pajak atau tax amnesty 2016.
Dalam Rancangan APBN 2022, penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp 1.499,3 triliun-Rp 1.528,7 triliun. Angka tersebut meningkat 8,37-8,42 persen dibandingkan target dalam APBN 2021 yang sebesar Rp 1.229,58 triliun.
Untuk mendorong penerimaan pajak pada 2022, pemerintah mengajukan revisi kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang menurut rencana dibahas oleh pemerintah dan parlemen pada tahun ini. Revisi UU KUP tersebut sudah ditetapkan dalam Program Legislas Nasional (Prolegnas) 2021.