Pertumbuhan ekonomi triwulan kedua tahun ini kemungkinan besar akan positif sehingga Indonesia bisa keluar dari resesi. Namun, setelah itu, masih banyak tantangan yang harus diantisipasi.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
Secara teori, suatu negara dikatakan resesi apabila minimal dua triwulan berturut-turut mencatat pertumbuhan ekonomi yang negatif. Mengacu hal itu, Indonesia saat ini sedang resesi karena belum lagi mencatat pertumbuhan ekonomi yang positif sejak triwulan II-2020.
Saat itu, perekonomian Indonesia terkontraksi minus 5,32 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terkontraksi, yakni minus 3,49 persen pada triwulan III-2020, minus 2,19 persen pada triwulan IV-2020, dan minus 0,74 persen pada triwulan I-2021.
Meski masih minus, kontraksi ekonomi terus mengecil dan diperkirakan mulai triwulan kedua tahun ini Indonesia akan ”pecah telur” kembali ke pertumbuhan ekonomi positif.
Triwulan kedua tahun ini menyisakan kurang dari sebulan lagi. Apabila pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) triwulan kedua tahun ini menunjukkan pertumbuhan positif dibandingkan periode yang sama tahun lalu, Indonesia secara teori telah keluar dari resesi.
Sepertinya mencapai pertumbuhan PDB yang positif pada triwulan kedua tahun ini bukan perkara sulit. Ini didasarkan PDB atas dasar harga konstan pada triwulan kedua tahun lalu pada posisi yang sangat rendah, yakni Rp 2.589,7 triliun.
Pada triwulan pertama tahun ini saat pertumbuhan ekonomi minus 0,74 persen saja, PDB atas dasar konstan Indonesia mencapai Rp 2.683,1 triliun. Dengan asumsi capaian triwulan II-2021 setara dengan triwulan I-2021 saja, pertumbuhan ekonomi triwulan kedua tahun ini bisa tumbuh paling tidak 3,63 persen. Artinya, Indonesia sudah bisa lepas dari resesi.
Padahal, berbagai indikator menunjukkan kinerja triwulan II-2021 tahun ini bakal lebih baik dari triwulan pertama. Misalnya, Indeks Manajer Pembelian (PMI) mencapai level 54,6 pada April 2021 dan meningkat lagi menjadi 55,3 pada Mei 2021. Level tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tiga bulan pertama 2021 yang berturut-turut sebesar 52,2; 50,9; dan 53,2.
Nilai PMI di atas 50 menunjukkan tingkat ekspansi yang dilakukan sektor usaha, baik dalam belanja kebutuhan produksi maupun investasi. Sebaliknya, angka PMI di bawah 50 menunjukkan terjadinya kontraksi pada sektor usaha. Dengan demikian, pada triwulan II-2021, sektor riil makin mengeliat.
Pada triwulan kedua ini, Indonesia juga merayakan bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Secara historis, perayaan keagamaan tersebut akan mendorong konsumsi masyarakat, yang pada gilirannya akan mendorong pula produksi barang dan jasa. Hal itu juga ditopang oleh cairnya tunjangan hari raya (THR) untuk kalangan pekerja yang pasti bakal merangsang pertumbuhan konsumsi.
Dengan indikator-indikator itu, rasanya memang tidak sulit mencatat pertumbuhan ekonomi yang positif pada triwulan kedua ini. Bahkan, pemerintah dalam berbagai kesempatan menyampaikan optimismenya bahwa triwulan II-2021 perekonomian bakal tumbuh 6 persen-7 persen.
Apakah ini berarti setelah resesi ekonomi Indonesia langsung drastis berubah menjadi baik? Belum tentu. Justru, setelah melewati resesi, Indonesia harus segera bersiap dengan berbagai tantangan ke depan.
Dari dalam negeri, meski sudah menunjukkan pemulihan, masih ada sektor yang mengalami kontraksi karena pandemi, salah satunya sektor ritel. Satu per satu supermarket ritel bertumbangan dan menutup gerainya akibat pandemi Covid-19. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat, selama pandemi terdapat lebih dari 400 minimarket yang menutup usahanya.
Industri penerbangan dan jasa wisata juga belum kembali bergairah. Maskapai pelat merah kebanggaan Indonesia, Garuda Indonesia, masih terus berbenah memperbaiki ponten merah dalam laporan keuangannya. Senada, industri jasa pariwisata juga masih terus berjuang mendorong tingkat okupansinya.
Di sektor keuangan, permintaan kredit juga masih rendah. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan kredit secara tahunan (year on year/yoy) pada April 2021 masih terkontraksi minus 2,28 persen. Padahal, selama periode yang sama, dana pihak ketiga (DPK) industri perbankan tumbuh sebesar 10,94 persen.
Artinya, likuiditas perbankan sangat melimpah, tapi penyalurannya masih minim. Di satu sisi, perbankan masih sangat berhati-hati menyalurkan kredit. Di sisi lain, permintaan kredit juga masih rendah.
Dari luar negeri, pemulihan ekonomi Amerika Serikat dan China yang cukup pesat berpotensi memicu larinya investasi portofolio dari pasar keuangan Indonesia. Investor tentu akan memilih menaruh investasinya di negara yang prospek ekonominya lebih baik. Apabila ini terjadi, kestabilan nilai tukar rupiah dan sistem keuangan domestik akan terguncang sehingga mengganggu pemulihan ekonomi.
Upaya pemerintah dengan berbagai kebijakannya untuk keluar dari resesi memang perlu apresiasi. Namun, jangan terburu terlena karena masih ada sejumlah tantangan yang sudah menanti dan perlu segera diantisipasi.
Yang lebih penting, proses vaksinasi yang terus berjalan dan pengendalian jumlah kasus Covid-19 merupakan kunci guna membangkitkan kepercayaan dunia usaha dan masyarakat untuk kembali beraktivitas secara normal. Vaksinasi yang disertai upaya pengendalian Covid-19 yang baik akan menjadi game changer dalam proses pemulihan ekonomi Indonesia.