Bank Dunia: Waspadai Inflasi Melambung dan Turunnya Pendapatan
Bank Dunia memperkirakan ekonomi global pada 2021 tumbuh sebesar 5,6 persen setelah tumbuh minus 3,5 persen pada 2020. Bank Dunia juga meminta setiap negara mewaspadai melambungnya inflasi di tengah penurunan pendapatan.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Dunia memproyeksikan ekonomi global pada 2021 akan tumbuh positif. Kenaikan harga komoditas global, pemulihan sejumlah negara yang ditopang vaksinasi, serta mulai menguatnya permintaan global dan domestik menjadi faktor utama. Kendati demikian, Bank Dunia meminta setiap negara mewaspadai melambungnya inflasi di tengah penurunan pendapatan masyarakat.
Presiden Grup Bank Dunia David Malpass mengatakan, meskipun tanda-tanda pemulihan ekonomi global membaik, pandemi Covid-19 yang masih berlangsung ini terus menimbulkan kemiskinan dan ketidaksetaraan. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya koordinasi global untuk mempercepat distribusi vaksin dan pengurangan utang, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah.
”Ketika krisis kesehatan mereda, pembuat kebijakan perlu mengatasi dampak pandemi yang berlangsung lama dan mengambil langkah-langkah untuk memacu pertumbuhan yang hijau, tangguh, dan inklusif sambil menjaga stabilitas makroekonomi,” ujar Malpass di Washington DC, Amerika Serikat, melalui siaran pers, Selasa (8/6/2021).
Ketika krisis kesehatan mereda, pembuat kebijakan perlu mengatasi dampak pandemi yang berlangsung lama dan mengambil langkah-langkah untuk memacu pertumbuhan yang hijau, tangguh, dan inklusif sambil menjaga stabilitas makroekonomi.
Dalam laporan bertajuk ”Prospek Ekonomi Global” periode Juni 2021, Bank Dunia memperkirakan ekonomi global pada 2021 tumbuh 5,6 persen setelah tumbuh minus 3,5 persen pada 2020. Khusus Indonesia, ekonominya pada tahun ini diperkirakan tumbuh 4,4 persen.
Pertumbuhan ekonomi AS dan China akan menopang pertumbuhan ekonomi global. Ekonomi AS dan China pada 2021 diperkirakan tumbuh masing-masing 5,8 persen dan 8,5 persen. Permintaan kedua negara tersebut yang selama ini tertunda akan kembali meningkat sehingga menggerakkan perdagangan global.
Perdagangan global diperkirakan tumbuh 8,3 persen tahun ini. Selain itu, pertumbuhan perdagangan global itu juga ditopang dengan perbaikan harga sejumlah komoditas global, seperti minyak mentah yang harganya di kisaran 62 dollar AS per barel pada tahun ini, harga baja naik 36 persen, serta harga beras dan produk pertanian lain yang diperkirakan meningkat 16 persen.
Laju pertumbuhan perdagangan tersebut akan terhambat oleh biaya perdagangan yang tinggi dari sisi transportasi logistik dan masih rumitnya prosedur kepabeanan. Di sisi lain, sejumlah negara masih menerapkan proteksi perdagangan, terutama kebijakan mengontrol bahan pangan dan produk medis.
Bank Dunia juga menyebutkan, gelontoran stimulus di sejumlah negara, serta kenaikan harga pangan dan komoditas global akan mengerek inflasi. Pada 2021, inflasi global diperkirakan 3,9 persen, jauh lebih tinggi ketimbang inlfasi global pada 2020 yang sebesar 2,5 persen.
Inflasi ini akan berpengaruh pada tingkat daya beli masyarakat global yang saat ini pendapatannya masih belum pulih. Kasus Covid-19 di banyak negara berkembang masih belum mereda, bahkan meningkat dengan semakin merebaknya varian-varian virus baru. Peningkatan kasus ini bisa menghambat laju pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan jumlah pengangguran dan kemiskinan.
Bank Dunia memperkirakan 100 juta penduduk global akan jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem pada tahun ini lantaran kehilangan pekerjaan dan penurunan pendapatan. Sekitar dua pertiga dari ekonomi pasar negara berkembang juga masih belum menutupi kerugian pendapatan per kapita tahun lalu.
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia pada 2020 sebesar 3.911,7 dollar AS atau setara Rp 56,9 juta. Pendapatan per kapita ini turun dari tahun 2018 dan 2019 yang masing-masing sebesar 3.927 dollar AS dan 4.174,5 dollar AS. Pendapatan per kapita ini turun karena pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi dan jumlah penduduknya bertambah.
”Pada 2021, ekonomi Indonesia memang akan tumbuh positif sebesar 4,4 persen, bahkan akan menguat menjadi 5 persen pada 2022. Namun banyak orang di Indonesia yang kehilangan banyak pekerjaan dan pendapatan, terutama di sektor perdagangan, transportasi, serta hospitality (hotel, restoran, dan pariwisata),” sebut laporan Bank Dunia.
Pada 2021, ekonomi Indonesia akan tumbuh positif sebesar 4,4 persen, bahkan akan menguat menjadi 5 persen pada 2022. Namun banyak orang di Indonesia yang kehilangan banyak pekerjaan dan pendapatan, terutama di sektor perdagangan, transportasi, dan hospitality.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional 2020 BPS menggambarkan, 54 persen dari angkatan kerja yang menganggur selama pandemi adalah masyarakat yang selama ini berpendapatan rendah sehingga menghasilkan orang-orang miskin baru. Jumlah penduduk miskin per September 2020 naik 2,76 juta orang. Jumlah itu sejalan dengan naiknya angka pengangguran sebanyak 2,67 juta orang yang sekitar 96 persen di antaranya korban pemutusan hubungan kerja.
Untuk menjaga inflasi dan daya beli masyarakat, Prospects Director Grup Bank Dunia Ayhan Kose menyarankan agar setiap negara berfokus pada peningkatan program jaring pengaman sosial, peningkatan logistik, dan ketahanan pasokan pangan lokal dari dampak perubahan iklim.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menyebutkan, kendati masih di zona pesimistis atau di bawah ambang batas 100, persepsi konsumen terhadap pendapatan dan kesempatan kerja berangsur-angsur mulai membaik. Hal itu tampak dari Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang dirilis BI, Rabu (9/6/2021).
Pada Mei 2021, persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini membaik dari bulan sebelumnya meski masih berada pada zona pesimis. Hal ini tecermin dari IKE Mei 2021 sebesar 86,8, meningkat dari April 2021 yang sebesar 80,3. Meningkatnya IKE didorong oleh kenaikan seluruh komponen pembentuknya, terutama Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja yang naik 9,4 poin menjadi 77,4.
”Persepsi konsumen terhadap perbaikan penghasilan juga membaik. Hal ini sejalan dengan tambahan penghasilan berupa tunjangan hari raya bagi para pekerja dan peningkatan omzet pelaku usaha pada periode Ramadhan-Lebaran,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono.
BI mencatat, kendati masih berada di zona pesimistis, Indeks Penghasilan Saat Ini meningkat pada mayoritas kategori pengeluaran, terutama pada kelompok responden dengan tingkat pengeluaran Rp 1 juta-Rp 2 juta per bulan. Indeks Penghasilan Saat Ini pada kelompok tersebut meningkat dari 79,6 pada April 2021 menjadi 94,1 pada Mei 2021.
Adapun rata-rata proporsi pendapatan konsumen yang digunakan untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) pada Mei 2021 relatif tidak jauh berbeda dibandingkan April 2021, yaitu dari 75,5 persen menjadi 75,8 persen. Proporsi pendapatan konsumen yang disimpan (saving to income ratio) juga masih relatif stabil, yaitu 14,6 persen pada Mei 2021 dan 14,8 persen pada April 2021. Demikian juga rata-rata rasio pembayaran cicilan atau utang (debt to income ratio) yang sebesar 9,6 persen pada Mei 2021 dan 9,7 persen pada April 2021.
Berdasarkan kelompok pengeluaran, rata-rata porsi konsumsi terhadap pendapatan meningkat pada responden dengan pengeluaran Rp 1 juta-Rp 3 juta per bulan dan Rp 4,1 juta-Rp 5 juta per bulan. Sementara itu, porsi tabungan terhadap pendapatan turun, terutama pada responden dengan pengeluaran Rp 2,1 juta-Rp 3 juta per bulan dan di atas Rp 5 juta per bulan.