Pelaku UMKM perlu memahami berbagai etika digital. Di era keterbukaan informasi, tanggung jawab UMKM tidak hanya sebatas menciptakan produk yang laku di pasaran, tetapi juga cara memasarkannya.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM perlu memahami berbagai etika digital. Di era keterbukaan informasi, tanggung jawab UMKM tidak hanya sebatas menciptakan produk yang sesuai kebutuhan pasar, tetapi juga kejujuran demi menjaga reputasi.
Berbagai pendekatan batasan-batasan penggunaan digital tersebut mengemuka dalam webinar bertajuk ”Kiprah UMKM di Era Pandemi Covid-19” di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (8/6/2021). Sejumlah praktisi ataupun dosen perguruan tinggi mencermati kemampuan UMKM Indonesia yang tak sepenuhnya memahami pengembangan bisnis, terlebih cara menggunakan media sosial.
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP pada Universitas Sam Ratulangi, Manado, Levianne JH Lotulung, yang melihat dari sisi budaya digital, mengatakan, ”Mau tidak mau, setuju atau tidak, pandemi membuat semua manusia perlu beradaptasi. Begitu pula dengan pelaku UMKM yang ingin bertahan di tengah situasi yang sangat berat.”
Muhammad Bima Januri, Co-founders Localin, mencermati keterampilan berdigital pelaku UMKM menjadi bekal untuk menentukan produk. Penentuan target produk UMKM ditentukan oleh cara pandang spesifik produk, pola yang terukur, dapat diterima pasar, bersikap realistis, dan mampu menentukan ketepatan waktu menuju eksekusi.
Sejumlah praktisi ataupun dosen perguruan tinggi mencermati kemampuan UMKM Indonesia yang tak sepenuhnya memahami pengembangan bisnis, terlebih cara menggunakan media sosial.
Bima mengatakan, bisnis UMKM umumnya memiliki kesamaan produk. Karena itu, pelaku UMKM perlu belajar dari lawan dan kesalahan produk lain sehingga bisa menentukan titik pembedanya yang bisa diterima pasar. Mencari keunggulan lawan dalam menciptakan produk menjadi modal untuk bisa memodifikasi dan menambahkan atau mengurangi unsur lainnya.
”Ide itu murah. Yang mahal adalah eksekusinya. Kalaupun ide yang kita hasilkan dibagikan, lalu dengan cepat dibuat oleh orang lain, hal itu bukan berarti idenya dicuri, melainkan cara eksekusinya yang lambat,” kata Bima.
Paradhika Yunik Nurhayati, dosen Universitas Gadjah Mada, mengatakan, selain keterampilan digital, UMKM yang tergugah untuk go digital pun perlu memahami etika digital. Sebesar 65 persen penduduk Indonesia sudah terhubung dengan internet. Ini merupakan peluang sangat besar dalam menggarap potensi pasar di Indonesia.
”Perlu diingat, berjualan sistem daring memiliki etika tersendiri. Komunikasi digital tanpa batas, lintas budaya, waktu, ataupun tempat. Tidak ada sekat, realitas virtual yang bebas tanpa kontrol. Antara mereka yang memiliki literasi digital rendah hingga tinggi berbaur dalam ruang digital yang sama,” ujar Paradhika.
Sebesar 65 persen penduduk Indonesia sudah terhubung dengan internet. Ini merupakan peluang sangat besar dalam menggarap potensi pasar di Indonesia.
Menurut Paradhika, manfaat teknologi digital bagi UMKM adalah memperluas jangkauan pangsa pasar, mempercepat proses bisnis, mendapatkan informasi lebih cepat, dan memudahkan dalam memberikan umpan balik yang dilakukan dalam interaksi secara langsung. Selain itu, teknologi digital juga memudahkan UMKM mendapatkan referensi untuk meningkatkan daya saing produk sehingga pemasaran produk bisa lebih mudah dan hemat biaya.
Namun, imbuh Paradhika, beberapa tata krama berjualan secara daring tak boleh diabaikan. Keramahan terhadap pembeli adalah kunci utama. Kemudian, perlu juga penggunaan kata yang sopan, sikap responsif terhadap pertanyaan ataupun kesulitan konsumen, menjaga kerahasiaan data pembeli, dan kejujuran dalam menuliskan diskripsi produk.