Kenaikan Harga Jual Alat Bantu Penerima Siaran Menjadi Sorotan
Ketersediaan alat bantu penerima siaran digital bagi kelompok masyarakat kurang mampu merupakan hal krusial yang harus dibahas pemerintah dan pelaku industri penyiaran.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketersediaan alat bantu penerima siaran digitalkrusial dalam proses migrasi penyiaran televisi analog ke digital yang sekarang mulai berlangsung. Suplai alat bantu itu diperkirakan terkendala isu kekurangan cip yang berlangsung secara global. Ada potensi harga jualnya meroket sehingga semakin membebani masyarakat dengan daya beli rendah.
Sesuai Pasal 64 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran, penyediaan alat bantu penerima siaran digital atau set top box (STB) kepada rumah tangga miskin berasal dari komitmen penyelenggara multipleksing. Pemerintah membantu penyediaan STB kepada rumah tangga miskin agar dapat menerima siaran televisi secara digital melalui terestrial. Sumber dananya bisa berasal dari APBN atau sumber lain yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Senior Manager Business Development PT Hartono Istana Teknologi (Polytron) Joegianto saat dihubungi, Senin (7/6/2021), di Jakarta menceritakan, pemerintah sempat mengestimasikan harga jual STB DVBT2 di pasaran mencapai Rp 150.000. Estimasi itu tidak memperhitungkan pandemi Covid-19 serta fenomena kekurangan cip global. Harga jual STB DVBT2 telah naik menjadi Rp 300.000 per unit.
”Jika kondisi global belum lekas membaik, ada potensi harga STB DVBT2 naik hingga menjadi Rp 600.000 per unit. Dengan potensi kenaikan harga STB, kelompok masyarakat menengah ke bawah akan terbebani. Apalagi, di tengah pandemi Covid-19, kelompok itu akan mengutamakan kebutuhan pokoknya terlebih dulu,” kata Joegianto.
Dengan potensi kenaikan harga STB, kelompok masyarakat menengah ke bawah akan terbebani.
STB DVBT2 sudah jadi arahan kebijakan pemerintah sejak lama. Oleh karena itu, perusahaan manufaktur elektronik, seperti Polytron, sudah memulai produksi alat tersebut. Jumlah penjualan masih kurang dari 5.000 unit meskipun ada peningkatan tajam akhir-akhir ini karena menguatnya proses migrasi penyiaran televisi analog ke televisi digital (analog switch off/ASO).
Namun, amanat proses ASO sesuai UU No 11/2020 mewajibkan produksi dan peredaran STB DVBT2 memenuhi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang diatur Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 22 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN Produk Elektronika dan Telematika. Alat bantu penerima siaran digital itu juga harus mengantongi sertifikasi postel sesuai ketentuan dalam Permenkominfo No 4/2019 tentang Persyaratan Teknis Alat dan/atau Perangkat Telekomunikasi untuk Keperluan Penyelenggaraan Televisi Siaran dan Radio Siaran.
”Tantangannya sekarang, STB DVBT2 dijual bebas di pasaran, terutama lokapasar yang kebanyakan impor dan diragukan tidak mengantongi legalitas dari Pemerintah Indonesia. Ini karena sebelum ada regulasi proses ASO yang sekarang, STB DVBT2 sudah diproduksi dan diperdagangkan,” ujar Joegianto.
CEO PT Panggung Electric Citrabuana Lukito Wijaya menyampaikan pandangan senada. Kalangan manufaktur elektronik nasional seperti perusahaannya mengkhawatirkan maraknya STB DVBT2 ilegal yang tidak memenuhi regulasi Pemerintah Indonesia, lalu barang tersebut dibeli oleh konsumen.
Alat bantu penerima siaran digital itu juga harus mengantongi sertifikasi postel sesuai ketentuan dalam Permenkominfo No 4/2019 tentang Persyaratan Teknis Alat dan/atau Perangkat Telekomunikasi untuk Keperluan Penyelenggaraan Televisi Siaran dan Radio Siaran.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Nasional Indonesia Mochamad Riyanto mengatakan, komitmen lembaga penyiaran penyelenggara multipleksing untuk menyediakan STB kepada rumah tangga miskin tidak akan langsung terpenuhi semuanya. Dari sisi investasi, dia memperkirakan lembaga penyiaran akan menambah anggaran jika manufaktur elektronik menaikkan harga jual STB.
Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia Kamilov Sagala berpendapat, kebijakan digitalisasi penyiaran di tengah kondisi seperti sekarang (pandemi Covid-19) semestinya tidak membebani masyarakat, khususnya kelompok rentan miskin dan miskin. Siaran televisi masih menjadi alat hiburan utama mereka.
”Pemerintah melalui Kemenkominfo diharapkan mempersiapkan kematangan ASO, bukan semata-mata dari aspek infrastruktur, melainkan juga masyarakat sebagai pemirsa. Masyarakat kelompok kurang mampu jangan dibebani biaya penyediaan STB DVBT2, apalagi masalah produk dekoder sisa dari negara lain,” ujarnya.
Menurut Kamilov, pemerintah perlu membantu mengatasi masalah tersebut. Bagi kelompok masyarakat kurang mampu, dia memandang, pemerintah perlu melanjutkan komitmen penyediaan dekoder STB DVBT2. Pemerintah juga harus berani menjamin garansi keamanan dekoder STB DVBT2 yang kini banyak beredar di pasar, baik toko elektronik fisik maupun daring.
Kemudian, kepada lembaga penyiaran, dia berpendapat, pemerintah perlu memberikan insentif, misalnya keringanan atau penghapusan pajak, baik bagi badan usaha maupun pribadi karyawan.