Beda dari asumsi umum, di tengah semarak Revolusi Industri 4.0, lapangan kerja yang dinilai berprospek cerah di Indonesia justru tidak harus berasal dari sektor bernilai tambah tinggi. Reformasi struktural masih panjang.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Survei Bank Dunia dan Bappenas menunjukkan pekerjaan prospektif di Indonesia umumnya bukan di sektor bernilai tambah tinggi yang membutuhkan kualifikasi kerja khusus. Tantangan ke depan bukan hanya seputar tuntutan meningkatkan kapasitas pekerja, melainkan juga menciptakan lapangan kerja yang berkualitas dan bernilai tambah tinggi.
Laporan Outlook Lapangan Pekerjaan Indonesia 2020 oleh Bank Dunia dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyurvei 3.839 perusahaan manufaktur, bernilai tambah tinggi (menengah-besar), dan bernilai tambah rendah (mikro-besar) di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sumatera Utara, Banten, dan Sulawesi Selatan.
Laporan yang dirilis pada 21 Mei 2021 itu mengumpulkan informasi tentang kondisi pasar kerja untuk memetakan jenis pekerjaan yang memiliki prospek cerah hingga redup di Indonesia.
Hasil analisis menggarisbawahi bahwa berbeda dari asumsi umum, di tengah semarak revolusi industri 4.0, lapangan kerja yang dinilai berprospek cerah di Indonesia tidak harus berasal dari sektor bernilai tambah tinggi yang membutuhkan kualifikasi kerja tinggi.
Sembilan dari 42 jenis pekerjaan yang termasuk kategori ”proyeksi cerah” berasal dari perusahaan yang bergerak di sektor bernilai tambah rendah, berskala kecil, bahkan bersifat informal. Misalnya, petugas kebersihan, agen penjual (sales person), kurir, pengemudi taksi, buruh pertanian dan perkebunan, serta buruh pabrik manual.
Sementara itu, 18 dari 42 pekerjaan berkategori cerah yang bergerak di sektor bernilai tambah tinggi hanya membutuhkan kapasitas pendidikan standar minimum tingkat SMA. Antara lain, wartawan, agen pemasaran dan iklan, teknisi mesin dan komputer, mandor konstruksi, sekretaris, petugas entri data, dan teknisi servis pendingin ruangan.
Hanya 21 persen dari jenis pekerjaan ”cerah” yang membutuhkan pendidikan tinggi, setingkat diploma dan sarjana. Di satu sisi, dengan kualifikasi kerja yang rendah, lebih banyak orang bisa terserap di pasar kerja. Di sisi lain, pekerjaan bernilai tambah dan berkualifikasi rendah umumnya memberi bayaran upah pas-pasan atau di bawah standar kelayakan.
Laporan itu menilai, perjalanan Indonesia melakukan reformasi struktural ekonomi serta reindustrialisasi masih panjang. Dinamika pasar kerja tidak cukup hanya disikapi dari sisi permintaan atau demand (kapasitas tenaga kerja), tetapi juga dari sisi penawaran atau suplai (lapangan kerja yang disediakan).
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia (Core) Mohammad Faisal, Minggu (6/6/2021), pemerintah kerap menggaungkan pentingnya reformasi struktural, yang salah satunya diwujudkan lewat Undang-Undang Cipta Kerja. Namun, faktanya, hal itu tidak diiringi dengan strategi investasi, perdagangan, dan industri yang terintegrasi.
”Strategi perdagangan justru sering bertentangan dengan industri, yang menyebabkan daya saing industri manufaktur kita menjadi rendah. Kalau mau mendorong penciptaan lapangan kerja yang prospektif dan bernilai tambah tinggi, harus ada strategi yang lebih komprehensif,” kata Faisal saat dihubungi di Jakarta.
Saat ini, investasi juga masih lebih banyak masuk di sektor tersier yang padat modal ketimbang sektor sekunder (manufaktur) yang padat karya dan bernilai tambah. Data Kementerian Investasi menunjukkan, investasi pada triwulan I-2021 investasi di sektor sekunder Rp 88,3 triliun masih lebih rendah dari sektor tersier (padat modal) senilai Rp 104,8 triliun meskipun lebih tinggi dari sektor primer (ekstraktif) senilai Rp 26,6 triliun.
Faisal menilai, tantangan menciptakan lapangan kerja tidak hanya secara kuantitas, tetapi juga kualitas. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menunjukkan, struktur angkatan kerja masih surplus di kalangan berpendidikan menengah. Tingkat pengangguran justru tinggi di kalangan berpendidikan SMK/SMA dan lulusan universitas.
Mereka umumnya memiliki posisi tawar dan ekspektasi lebih tinggi terhadap kerja dengan upah dan perlindungan layak. Oleh karena itu, mereka tidak dengan mudah terserap ke sektor informal sebagaimana pekerja berpendidikan rendah.
”Ini menunjukkan, problem pengangguran bukan selalu karena mismatch keterampilan, melainkan karena keterbatasan lapangan kerja yang layak. Ini disayangkan karena sebenarnya potensi kita cukup besar jika diiringi dengan kebijakan yang tepat,” ujar Faisal.
Perlindungan pekerja
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menilai, proyeksi bahwa pekerjaan masa depan umumnya ada di sektor non-produktif memunculkan kekhawatiran bahwa lapangan kerja yang tercipta tidak cukup berkualitas untuk memperbaiki taraf hidup pekerja.
”Perusahaan belum mau berganti ke mesin karena menilai tenaga kerja kita yang murah masih lebih efisien dibandingkan jika mereka berinvestasi ke mesin dan teknologi. Apalagi, di tengah tekanan dampak pandemi sekarang. Meski mesin bisa lebih produktif, biaya yang dikeluarkan untuk itu bisa jadi lebih besar,” katanya.
Timboel juga menyoroti pekerjaan lepas dan informal yang tergolong cerah di masa depan, seperti kurir dan pengemudi taksi. Umumnya, mereka berstatus sebagai mitra dalam ekonomi gig atau start up digital. Regulasi ketenagakerjaan yang ada saat ini tidak bisa dipakai untuk melindungi hak-hak mereka, baik sebagai mitra maupun pekerja.
Dengan kata lain, ada kekosongan regulasi saat ini untuk melindungi para pekerja berkedok mitra itu. ”Kalau jenis pekerjaan seperti ini yang akan menjamur di masa depan, tentu harus segera diantisipasi karena mereka tetap subyek yang harus dilindungi dan bekerja dengan layak,” kata Timboel.
Lebih lanjut, ia menilai, peningkatan kapasitas dan keahlian pekerja tetap menjadi keniscayaan meski dampaknya mungkin baru akan dirasakan secara jangka panjang. Saat ini, 56 persen angkatan kerja nasional masih lulusan SD-SMP dan umumnya terjun ke sektor informal atau berupah rendah. Mereka harus disiapkan menghadapi pasar kerja masa depan.
”Selain untuk persiapan menghadapi dunia kerja yang otomatisasi, meski mungkin masih jauh, upskilling reskilling juga penting untuk meningkatkan posisi tawar serta kualitas pekerjaan yang layak bagi mereka,” ujar Timboel.