Sudahkah inovasi teknologi benar-benar memecah kebuntuan dalam mengatasi kebergantungan kita pada bahan bakar yang berasal dari fosil? Bahan bakar B30 membuat pemain kendaraan komersial serasa ditantang mencari solusi.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·3 menit baca
Di pengujung 2019, Presiden Joko Widodo di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum, di Jakarta, menggulirkan tantangan mandatori atau kewajiban penggunaan biodiesel 30 persen. Tantangan itu disampaikan langsung di hadapan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin, dan direksi Pertamina.
Ringkasnya, tantangan meluncur di saat meningkatnya impor minyak dan defisit neraca perdagangan negara. Menurut Presiden, Indonesia harus mencari sumber energi terbarukan. Kurangi ketergantungan pada energi fosil, tambahkan kadar biodiesel ke dalam solar dari 20 persen (B-20) menjadi 30 persen (B-30). Artinya, sumber bahan bakar nabati dari minyak kelapa sawit (CPO) dapat mengurangi pemakaian solar murni.
Payung hukum pemakaian solar B-30 adalah Keputusan Menteri ESDM Nomor 227K/10/MEM/2019 tentang Pelaksanaan Uji Coba Pencampuran Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel 30 Persen (B-30) ke Dalam Bahan Bakar Minyak Jenis Solar Periode 2019. Surat keputusan ini ditandatangani pada 15 November 2019.
Menurut Presiden, Indonesia harus mencari sumber energi terbarukan. Kurangi ketergantungan pada energi fosil, tambahkan kadar biodiesel ke dalam solar dari 20 persen (B20) menjadi 30 persen (B30).
Dari data Pertamina, penjualan solar B-30 tahun 2019 mencapai 27,8 juta kiloliter. Tahun 2020 serapannya turun 11,15 persen atau menjadi 24,7 juta kiloliter. Pandemi Covid-19 boleh jadi dianggap sebagai pemicunya sehingga penggunaan solar B-30 di pasaran menurun.
Berbagai cara memenuhi mandatori B-30 terus dilakukan oleh industri otomotif, khususnya produsen mesin kendaraan bertenaga diesel. Umumnya adalah kendaraan komersial atau niaga dan berbagai alat berat yang berbahan bakar solar.
Sebutlah United Tractors, Hino, dan Isuzu. Bahkan, UD Trucks selaku penyedia solusi transportasi kendaraan komersial Jepang memanfaatkan inovasi dan teknologi sejak 2018 melalui pengembangan mesin untuk penggunaan solar B-30. Semua transmisi dan filter dikembangkan agar dapat beradaptasi dengan bahan bakar jenis ini. Langkah tersebut selaras dengan arahan pemerintah dalam penerapan bahan bakar berstandar emisi Euro 4 untuk mesin diesel di Indonesia.
Kendaraan niaga yang dipasarkan United Tractors (UT) pun diklaim sudah disiapkan untuk pemakaian solar B-30. Hasil uji ketahanan mesin dalam jangka panjang menunjukkan, pemakaian B-30 tidak menimbulkan dampak negatif, baik performa tenaga maupun kinerja mesin.
UT mengirimkan sampel solar B-30 ke pabriknya untuk diuji kecocokannya dengan teknologi mesin dan hasilnya masih bisa diterima (acceptables). Dari sisi kandungan sulfur solar B-30, besaran tipikal 900-1200 part per million (ppm) masih sesuai pada mesin Euro 3 yang sekarang dipasarkan UT yang persyaratan maksimal kandungan sulfurnya 2.000 ppm.
Berbagai cara terhadap mandatori B30 terus dilakukan oleh industri otomotif, khususnya produsen mesin kendaraan bertenaga diesel.
Mesin Scania Euro 4 pun membolehkan solar B-30 dengan syarat maksimal sulfur 350 ppm atau sesuai produk solar Pertamina Dex. Namun, selalu ada cara. Pengguna Scania Euro 4 tetap bisa memakai produk solar B-30. Dengan kandungan sulfur B-30 lebih tinggi, kompensasinya diukur dengan jarak penggantian oli mesin yang dipercepat menjadi 12.000 kilometer dari sebelumnya 20.000 kilometer.
Lain halnya Hino Indonesia yang lebih menonjolkan produksi teknologi mesin berbasis commonrail dengan standar Euro 4. Ekspor tahun 2010-2021 tercatat lebih dari 13.000 bus dan truk yang dikirim ke 15 negara, termasuk di antaranya lebih dari 6.000 unit berstandar emisi Euro 4 dikirim ke Filipina dan Vietnam sebagai tuntutan persyaratan pasar ekspor.
Isuzu Astra menyatakan kesiapannya menyambut kebijakan emisi Euro 4. Selain produsen menyiapkan mesin teknologi commonrail yang mampu mengimplementasikan kebijakan Euro 4, kesiapan juga dilakukan dari sisi layanan purnajual (servis dan suku cadang) dan fasilitas pendukung, seperti karoseri dan mitra leasing.
Di saat pemain kendaraan berbasis diesel menunjukkan cara-cara berbasis teknologi, penerapan standar emisi Euro 4, sebagaimana tertuang dalam surat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S786/MENLHK-PPKL/SET/PKL.3/5/2020 tertanggal 20 Mei 2020, ternyata akan dilaksanakan pada April 2022. Mundur satu tahun dari jadwal sebelumnya, April 2021.
Tantangan global beralih ke teknologi Euro-4. Kini, bukan hanya ”selalu ada cara”, tetapi kelonggaran tersedia dengan ”selalu ada waktu” di Indonesia untuk terus berinovasi dalam kompetisi menuju lingkungan yang bersih dan berkelanjutan.